“Salah satu ciri khas yang menarik dari relasi antara majikan dan PRT adalah relasi sosial yang dibangun bukan relasi pekerjaan”, tutur Ida Ruwaida Noor Penulis JP 94 pada acara Pendidikan Publik dan Peluncuran JP 94 Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran di Gedung Rektorat Universitas Lampung (29/08/2017). Ida Ruwaida Noor yang merupakan Dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini menjadi salah satu pembicara dalam acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan dan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dalam acara ini Ida memaparkan beberapa temuan penting dari hasil studi lapangan yang ia lakukan di 3 wilayah yaitu Makassar, Surabaya dan Bandung—hasil kerja sama Pusat Kajian Sosiologi UI dengan International Labour Organization (ILO). Ia menjelaskan bahwa sering kali relasi yang dibangun antara majikan dan PRT adalah relasi kekeluargaan sehingga apa yang dikerjakan PRT tidak dianggap sebagai aktivitas bekerja, misalnya beban dan waktu kerja yang tak berbatas. Menurut Ida relasi antara majikan dan PRT perlu dikaji karena berkaitan dengan upaya untuk mendorong lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang semangatnya adalah untuk pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja. Garis penting studi yang dilakukan Ida Ruwaida adalah untuk menumbuhkan kesadaran publik, majikan menjadi salah satu stakeholders yang disasar. Ida menjelaskan bahwa ada 3 aktor utama yaitu PRT, negara dan majikan, sehingga relasi majikan dengan PRT juga penting untuk diangkat guna menumbuhkan kesadaran publik yang diasumsikan dapat mendorong negara untuk mewujudkan UU Perlindungan PRT. “Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang hak-hak PRT kepada majikan penting karena tanpa kesadaran dari mereka situasi kerja layak tidak mungkin terwujud”, tutur Ida. Selanjutnya Ida menjelaskan secara umum kondisi yang dihadapi PRT Indonesia saat ini yang belum mendapatkan situasi kerja layak, masih mengalami kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan diskriminasi hukum. Misalnya PRT korban kekerasan seksual ketika diperiksa oleh Polisi malah disalahkan, dianggap perempuan nakal dan sebagainya. Hal-hal seperti ini yang sebetulnya sedang diperjuangkan. “UU Perlindungan PRT bukan hanya melindungi PRT tapi juga majikan”, tegas Ida. Lebih jauh Ida menjelaskan bahwa Intervensi struktural melalui advokasi kebijakan yang dilakukan teman-teman aktivis selama ini mengalami hambatan berupa isu kultural atau budaya, yaitu masih banyak anggapan bahwa PRT adalah pembantu, bukan sebagai pekerja, dan dianggap pekerjaan yang tidak membutuhkan kompetensi. Ida menjelaskan bahwa faktor sistem kepribadian juga menjadi tantangan, ia tidak memungkiri bahwa PRT yang bekerja asal-asalan itu memang ada, tapi menurutnya kita tidak bisa menggenaralisasi perihal itu. Bahkan ketika misalnya UU Perlindungan PRT ini berhasil diwujudkan maka teman-teman PRT harus siap karena sudah dianggap sebagai pekerja, maka di dalam dunia kerja ada usaha untuk meningkatkan kompetensi. Perubahan sistem kepribadian ini diharapkan dapat mengubah sistem kebudayaan tadi, jadi relasi yang dibangun adalah relasi pemberi kerja dan pekerja, relasi yang setara dan berkeadilan. “Seringkali kita bilang bahwa TKW yang dikirim ke Arab Saudi itu sebagai bentuk perbudakan, padahal yang kita lakukan di dalam rumah sendiri adalah hal yang sama, dengan tidak memenuhi hak-hak PRT sebagai pekerja maka itu adalah bentuk perbudakan”, jelas Ida. Temuan penting dari studi Ida Ruwaida yang berjudul “Kondisi Kerja Layak bagi PRT di Mata Majikan: Hasil Studi di Makassar, Surabaya, dan Bandung” dalam JP 94 antara lain, 1) PRT sebagian besar adalah perempuan muda dalam rentang usia 18-20 tahun dan untuk Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) 15-17 tahun; 2) Ibu muda biasanya mempekerjakan PRT live-in (tinggal di rumah majikan) dengan alasan untuk menjaga sekaligus menjadi teman untuk anaknya; 3) Rata-rata pendidikan PRT adalah Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP); 4) Sebagian majikan menganggap PRT sebagai pekerja, mereka mengakui kerja-kerja PRT namun jika ditanya mengenai hak-hak pekerja seperti kontrak kerja, gaji minimum, jaminan kesehatan dan jam kerja, sebagian besar majikan tidak setuju dan tidak melakukan kontrak kerja tertulis. Dari temuan tersebut Ida mengungkapkan bahwa profesi PRT sangat bias gender dan kelas, dengan demikian sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Hal lain yang juga penting adalah, temuan bahwa sebagian majikan masih menerapkan double standart pada PRT, di satu sisi PRT dianggap sebagai pekerja, tapi dalam hal pemenuhan hak-hak sebagai pekerja, majikan cenderung memilih-milih. Alasannya juga bervariasi, ada yang mengatakan bahwa PRT bukan pekerjaan yang membutuhkan keahlian jadi tidak perlu ada kontrak kerja, jam kerja tidak perlu dibatasi dan jenis pekerjaan tidak perlu dinegosiasi, mereka menganggap bahwa pekerjaan domestik bisa dilakukan perempuan dengan mudah. “Isu asuransi dan jaminan kesehatan juga menjadi tanda tanya besar, tidak banyak majikan yang mendaftarkan BPJS untuk PRT”, tutur Ida. Lebih jauh menurutnya jika ada persoalan kekerasan yang terjadi antara majikan dan PRT, maka PRT tidak bisa melaporkan persoalan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja karena PRT belum masuk dalam defisini pekerja, bukan wilayah Disnakertras untuk menyelesaikannya. Persoalan lain seperti hak untuk berserikat juga menjadi salah satu yang diperjuangkan. “Ada kecenderungan majikan tidak konsisten, double standart, yaitu mengakui PRT sebagai pekerja namun memperlakukan PRT berbeda dengan pekerja lainya, mulai dari beban kerja, jam kerja, kualifikasi bekerja, itu yang membedakan kondisi PRT dengan pekerja lainnya”, ungkap Ida. Sehingga menurutnya pemupukan pengetahuan dan kesadaran bagi majikan juga harus berjalan beriringan dengan advokasi di level struktural. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |