Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak cenderung meningkat. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2014 terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan terus bertambah hingga mencapai 321.752 kasus pada tahun 2015. Itu artinya setiap hari ada 20 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual, sama dengan setiap 3 jam, ada 2 perempuan menjadi korban. Prihatin dengan peristiwa kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi akhir-akhir ini di Bengkulu, Surabaya, Banten, Manado, Aceh, Bogor dan daerah lainnya, Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Melawan Kejahatan Seksual yang terdiri dari beberapa lembaga dan komunitas se-Solo Raya seperti: SPEK-HAM, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Surakarta, Talita-Kum, Forum Paralegal, dan Komunitas Masyarakat Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya melakukan aksi di Solo Car Free Day, Minggu (15/5). Aksi melawan kejahatan seksual adalah bagian dari pendidikan publik, dengan tujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kejahatan seksual dan pentingnya payung hukum. Aksi ini mendorong negara untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual dan penolakan hukuman kebiri dan hukuman mati. “Kita selama ini mendorong upaya penegakan hak asasi manusia. Dalam konteks hukuman, bagaimana membuat hukuman yang manusiawi, yang hukumannya komprehensif, menyelesaikan persoalan dan rehabilitatif bagi pelaku kejahatan seksual terutama yang pelakunya anak,” tutur Endang Listiani, Direktur SPEK-HAM sekaligus koordinator aksi. Aksi melawan kejahatan seksual juga mendorong aparat penegak hukum untuk membuat terobosan-terobosan hukum yang memberikan hukuman yang optimal dan maksimal kepada aparat hukum. Mestinya apabila itu dijalankan akan memberikan efek jera dan memberikan penyelesaian terhadap akar persoalannya yaitu pola pikir, sehingga membuat orang akan berpikir seribu kali untuk melakukan kejahatan seksual. Aksi juga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan memasyarakatkan bahaya tindakan kejahatan seksual. Endang Listiani menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan desakan tertulis kepada DPR RI juga kepada presiden yang dilakukan secara berjejaring nasional. “Kami melakukan jejaring pada forum-forum pengada layanan yang selama ini memberikan pendampingan kepada korban kejahatan seksual. Jaringan ini meliputi 33 provinsi yang didalamnya ada 115 lembaga atau forum pengada layanan di seluruh Indonesia,” terang Endang Listiani. Menjawab pertanyaan para wartawan yang mewawancarainya usai melakukan aksi, mengapa memilih membunyikan peralatan rumah tangga, Endang Listiani menjawab bahwa alat-alat rumah tangga adalah simbolisasi genderang perang melawan kejahatan seksual. Bahwa ancaman kejahatan seksual bisa terjadi di dalam keluarga, dalam rumah tangga. Dirinya menambahkan bahwa hukuman yang manusiawi adalah seumur hidup atau memaksimalkan hukuman yang sudah diatur dalam undang-undang, dan mungkin bisa ditambah, yang menimbulkan aspek keadilan bagi korban, itu sudah cukup. “Jadi tidak hanya berorientasi kepada penghukuman tetapi bagaimana melakukan upaya pencegahan, penanganan dan juga pemulihan bagi korban dan itu menjadi tanggung jawab negara yang penting,” imbuhnya. Endang Listiani menandaskan bahwa akar persoalan yang sebenarnya bukan pada pemberian hukuman saja tetapi persoalan yang mengakar adalah pola pikir masyarakat, pola pikir pengambil kebijakan yang memberikan diskriminasi ataupun tidak memberikan penghormatan kepada perempuan dan anak sehingga perempuan dianggap lemah, perempuan layak diperkosa perempuan menjadi warga kelas dua sehingga masyarakat tidak menghargai perempuan. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |