Amrina Habibi: Absenya Perspektif Adil Gender Sebabkan Kasus Kekerasan Seksual Tidak Pernah Tuntas24/5/2016
Amrina Habibi, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh menjadi salah satu pembicara dalam pendidikan publik “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala, Humas Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) di Aula AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dengan dukungan Ford Foundation pada Senin, 23 Mei 2016. Dalam acara ini Amrina Habibi berbicara tentang bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan dan bagaimana korelasinya dengan regulasi yang telah ada. “Aparat penegak hukum sangat sedikit yang memiliki perspektif adil gender, mendengar suara korban dan membantu korban dalam proses hukum yang berjalan”, ungkap Amrina. Amrina menjelaskan bahwa pemerintah Aceh telah memberikan perhatian khusus terhadap isu ini, seperti telah adanya Qanun nomor 6 tahun 2009 tentang pemberdayaan perempuan, dan Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang perlindungan anak. Beberapa pasal disana menjelaskan tentang tanggung jawab dan kewajiban kepada pemerintah provinsi Aceh untuk memberikan dan mengembangkan pelayanan terpadu yang tentunya diharapkan dapat melayani, menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Secara spesifik ada satu Pergub yang menjadi panduan untuk pemerintah, yaitu Pergub no 109 tahun 2013 tentang standar pelayanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Aceh. Ini menegaskan bahwa bupati, gubernur, pemerintah daerah menetapkan anggaran dan kewajiban mengembangkan P2TP2A di seluruh kabupaten dan kota. Namun saat pelaksanaanya di lapangan, menurut Amrina masih banyak kendala teknis. “Kurangnya perspektif hakim terhadap korban dalam memeriksa perkara—seperti pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban dalam rangka memastikan bahwa korban dan pelaku tidak sama-sama menikmati—menjadi salah satu faktor yang akhirnya penyidikan kasus malah lagi-lagi menyudutkan korban”, ungkap Amrina. Kemudian lain hal yang menurut Amrina penting, dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan yang membuat banyak kasus ditutup ialah karena tidak cukupnya barang bukti. “Penyidik, kepolisian dan kejaksaan jarang yang bersedia menggunakan satu alat bukti untuk mengejar kasus tindak pidana”, tutur Amrina. Menurut Amrina, meskipun regulasi sudah dibuat oleh pemerintah Aceh, namun dalam pelaksanaanya perlu dilihat kembali, apakah sumber daya pendamping dan pengetahuan aparat penegak hukum sudah sesuai dengan misi regulasi pemerintah Aceh. Di daerah-daerah pelosok misalnya, menurut Amrina, masih kurang pendamping hukum atau pendamping sosial bagi korban saat persidangan, hal ini bisa dijadikan evaluasi bersama. Sehingga menurut Amrina perlu adanya kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan fakultas psikologi maupun fakultas hukum untuk meningkatkan jumlah Paralegal yang sensitif. Amrina Habibi, berharap forum ini bisa menjadi ruang untuk menghimpun berbagai solusi untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Aceh. (Andi Misbahul Pratiwi)
Sartiah Yusran
24/5/2016 04:45:58 pm
Setuju dengan ibu Amrina Habibi. Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |