Senin, 2 Mei 2016, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (Sps UGM) menggelar acara seminar dengan tema “Angela McRobbie: Postfeminisme dan Popular Culture”. Acara ini merupakan bagian acara dari program Great Thinkers Sps UGM yang diadakan setiap 2 bulan sekali membahas pemikiran tokoh-tokoh besar di dalam maupun luar negeri. Seminar yang bertujuan untuk mengkaji pemikiran Angela McRobbie ini mendatangkan Dr. Gadis Arivia (Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan) dan Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan Dr. Suhadi Cholil (Dosen Prodi CRCS Sps UGM) sebagai moderator. Dr. Suhadi membuka acara ini dengan mengenalkan para pembicara terlebih dahulu, kedua pembicara yang merupakan bagian penting dari Jurnal Perempuan (JP), jurnal akademis feminis satu-satunya di Indonesia. “Saya sangat kagum terhadap JP, karena JP bukan jurnal akademis di universitas namun nafasnya panjang, dan saya juga ucapkan selamat kepada JP yang menginjak usia 20 tahun pada september mendatang, saya rasa ini prestasi yang patut diteladani oleh jurnal akademis lainnya di dalam lingkup universitas”, tutur Dr. Suhadi. Pada kesempatan pertama Dr. Gadis Arivia dipersilakan memberikan paparanya terlebih dahulu perihal pemikiran Angela McRobbie yaitu postfeminisme dan budaya populer. Gadis Arivia membuka presentasinya dengan mengatakan bahwa pemikiran McRobbie ini atau postfeminisme sangat menarik sekali meskipun banyak menuai kontroversial. Gadis menjelaskan bahwa pada awalnya pemikiran ini hadir dengan gambaran perempuan-perempuan mandiri dan independen seperti yang divisualkan dalam film Sex and The City. Film seri ini menggambarkan keempat tokohnya sebagai perempuan yang mandiri dan berlatar belakang pendidikan tinggi, namun juga feminin (pesolek, memerhatikan busana dan penampilan) serta mengisahkan kehidupan perempuan-perempuan metropolitan yang memiliki berbagai persoalan relasi percintaan, karir dan keluarga. Gambaran kehidupan yang ditampilkan oleh perempuan-perempuan di Sex and the City dan Bridget Jones Diary didudukkan dalam konteks budaya populer, budaya konsumer, individualisme dan ketidakpedulian pada institusi politik dan aktivisme. “Inilah yang oleh Brooks disebut postfeminisme yakni feminisme dalam situasi sekarang”, tutur Gadis. Situasi apakah yang dihadapi oleh perempuan dalam era keterbukaan dan kemajuan yang cukup signifikan seperti di dalam film Sex and the City dan Bridget Jones Diary, apakah yang mereka cari? Situasi sekarang adalah situasi fluiditas (cair) yaitu tidak adanya tekanan dari luar melainkan pilihan-pilihan diri dalam menentukan hidup, self-management, self-discipline (era do it yourself) dan bahkan menciptkan diri kembali (era reality show), berpenampilan “cool” dan narsistik (era selfie) dan sadar akan eksotisme kulutral atau multikultural yang dikemas serta kesehatan wellness being (era yogies) Istilah postfeminisme (dulu dituliskan post-feminisme untuk menekankan tidak ada feminisme lagi) mengemuka karena peranan media di tahun 1980an yang membesar-besarkan keresahan perempuan akan artinya menjadi perempuan bebas dan mandiri. Saat perempuan telah memiliki segalanya, perempuan kemudian menjadi galau dan tidak bahagia. Perempuan yang telah memiliki karir, pendidikan, menjadi superwomen, dan menolak menikah misalnya dikatakan cemas. Sebab tiba-tiba menyadari umur untuk memiliki anak sudah dan kegelisahan karena telah keluar dari jalur ibu. “Hal itu lah yang dimainkan oleh media sehingga seakan-akan feminisme kebablasan, dan feminisme sudah tidak kontekstual lagi”, tutur Gadis. Faludi menegaskan bahwa sebenarnya istilah postfeminisme telah dipakai sebelumnya, pertama kali pada tahun 1920an untuk mendeskreditkan pergerakan perempuan pada watu itu. Postfeminisme memberikan kritik terhadap cara feminisme gelombang kedua memaknai seksualitas dan tubuh. Seksualitas menjadi pembicaraan sehari-hari dan penekanan pada pilihan pribadi (personal choice). Berbeda dengan Faludi yang melihat postfeminisme sebagai reaksi dan penolakan feminisme yang dihembus oleh politik pecah belah media masa, McRobbie melihatnya sebagai hal yang positif. Perempuan muda menurut McRobbie keluar dari komunitas yang menganggap bahwa peranan gender itu tetap. Kemudian karena struktur sosial lama semakin lama semakin menghilang, individu semakin terpanggil untuk membuat strukturnya sendiri. Mereka melakukannya secara internal dan mandiri, memonitor diri sendiri (melalui agenda, rencana hidup dan karir) mendobrak cara-cara yang sudah ada atau tetap. Kemudian Gadis Arivia memberikan contoh Inul Daratista yang kontroversial dengan goyangan ngebornya. Ia mengungkapkan bahwa ketika Inul di wawancarai oleh Times ketika goyangan ngebornya dicekal oleh para agamawan dan tokoh agama, Inul menjawab bahwa kenapa saya yang harus malu, seharusnya mereka yang malu karena punya pikiran jorok. Gadis menjelaskan bahwa dalam kasus ini Inul telah mendapatkan subjektifitasnya atas tubuhnya, atas pantatnya, atas goyangannya, dan jawaban Inul amat cerdas. Hal itu menunjukkan bagaimana media dan budaya pop secara kontekstual berkembang dan feminisme tentunya juga ikut tumbuh. Menurut Gadis Arivia ada sebuah pertanyaan besar apakah postfeminisme melemahkan atau menguatkan feminisme? Pertanyaan ini penting dan terus diperdebatkan oleh kaum feminis. “Bagi saya postfeminisme telah menyumbang sebuah gagasan baru dari cara berada baru (era internet, konsumerisme, budaya selebriti dan selfie) yang tentu menuntut pemikiran baru. Feminisme pada dasarnya terbuka dan terus melebarkan ruangnya untuk berbagai cara berada feminis, yang tentu harus inklusif”, tutur Gadis Arivia. Setelah paparan dari Gadis Arivia, moderator mempersilakan Dewi Candraningrum untuk berbicara. “Sangat bagus sekali penjelasan Gadis Arivia tentang postmodernisme dalam kerangka teori yang cukup komprehensif, sekrang kita persilakan pada mbak Dewi, bagaimana postmodernisme dalam aktivisme gerakan perempuan”, tutur Dr. Suhadi. Ia juga menjelaskan bahwa Dewi Candraningrum juga aktif dalam advokasi kasus Kendeng, dan selain menjadi akademisi dan aktivis, Dewi juga seorang pelukis dan kemarin telah mendonasikan lukisan-lukisannya untuk Kendeng. Dewi menjelaskan bahwa McRobbie menuliskan tentang kewarganegaraan konsumen, dimana bukan hanya individu-individu namun juga bangsa, negara, pemerintahan, dan masyarakat telah terhubung dalam mesin besar kapitalisme. “Jadi neoliberalisme menciptakan apa yang disebut kewarganegaraan konsumen, dengan menjebak dalam budaya konsumer yang semakin pintar”, tutur Dewi. Misalnya pemutih bukan hanya untuk wajah saja, sekrang sudah ada pemutih leher, kaki hingga vagina, semua tubuh kita dikondisikan sedemikian rupa, sesungguhnya kita terhubung dalam mega mesin kapitalisme yang begitu masif dan sistematis. “Konsumen sesungguhnya mengalami kenaikkan tingkat refleksifitas ketika ia memakai produk, tetapi sesungguhnya dalam rangka menegaskan kembali hierarki ketidakadilan”, tutur Dewi. Dewi melanjutkan, bahwa McRobbie juga menulis satu chapter tentang postmodernisme, McRobbie juga cukup cerewet mempertanyakan apa sebenarnya postmodernisme. “Beyonce dibilang empowering our girls, tapi apakah bisa anak-anak kita memakai pakaian seperti dia? Apakah pantas anak-anak kita pakai heels setinggi itu? Jadi sebenarnya dus mega machine mengintai kita setiap saat”, jelas Dewi. Dalam salah satu bab McRobbie menulis tentang disartikulasi dan menurut saya ini sangat indah, sangat bermakna sekali. Sejak saya kecil ketika saya dijari tentang tokoh perempuan yang saya dapat hanya itu-itu saja, sisanya saya harus cari sendiri. Salah satu contohnya adalah S.K Trimurti, dia lahir di Boyolali dan dia mendirikan majalah, dia keluar masuk penjara gara-gara dia menolak poligami. Lalu saya mempertanyakan pada mahasiswa saya apakah mau berdonasi untuk Kendeng atau beli sepatu baru? Baju baru? Jadi Disartikulasi adalah keterceraian antara generasi yang lalu dengan generasi sekarang. “Ini terjadi pada anak-anak kita, remaja kita terputus oleh sejarah, terputus dari solidaritas, terputus dari gerakan-gerakan sebelumnya, ada disartikulasi gerakan sosial”, ungkap Dewi. Menurut Dewi, McRobbie juga amat sinis terhadap postmodernisme, McRobbie mengungkapkan bahwa postmodernisme adalah feminisme maskara, palsu, dan membajak. Didalam Indonesian Feminist Journal (IFJ) Dewi mengatakan bahwa Ratna Noviani menulis tentang green advertising. Misalnya lebih alami mana botol minuman jahe dengan tulisan ‘herbal’ dibandingkan dengan jahe diparut? 80 persen menjawab botol dengan tulisan ‘herbal’. Ini telah erjadi pembajakan, dan kita harus terus waspada sekalipun pada konsep keadilan. Industrik kecantikan, industri pakaian, industri kosemetik bekerja sangat keras bagaimana menstabilkan pasar. “Jadi yang bekerja keras bukan hanya aktivis saja, kapitalisme juga bekerja keras”, tegas Dewi. Dengan demikian Dewi mengungkapkan bahwa kemarahan-kemarahan pada remaja seperti mereka tidak menyukai tubuhnya, wajahnya, rambutnya merupakan kemarahan yang kadang kala mereka juga tidak mengerti, ini disebabkan karena remaja kita kerap kali berdiri dalam identitas yang palsu. Angela McRobbie menuliskan perihal ini dalam chapter sendiri, mengenai kemarahan-kemarahan remaja pada dirinya sendiri. Hal ini yang kemudian Angela disebut “pribadi yang tidak kokoh”, karena tidak tahu apa yang benar-benar para remaja itu sukai sebenarnya, solidaritas pun hilang. McRobbie juga menulis bagaimana di media tersebar bahasa-bahasa feminisme palsu. Jadi bahasa-bahasa feminisme diambil dan dipreteli untuk mempertahankan status quo konsumsi. Dewi melanjutkan bagaimana efeknya ini terhadap kebijakan. Gadis Arivia menulis dalam Tempo, kalimat yang paling saya ingat adalah “lipstick dalam suprastruktur kebijakan”, jadi McRobbie juga menuliskan bahwa gender mainstreaming itu gagal. Dalam JP 81 kita bisa temukan data bahwa 80% politisi adalah perempuan pengusaha, jadi wajar kondisi perpolitikan Indonesia menjadi transaksional. Menurut temuan CSIS pada bulan Februari bahwa perpindahan posisi divisi P2TP2A ke divisi-divisi lain menyumbang besarnya Angka Kematian Ibu (AKI). Hal ini dikarenakan tenaga ahli gender yang harus dipindah-pindahkan ke divisi lain. “Saya pernah berbicara kepada walikota solo bahwa tolong jangan didisposisi pejabat-pejabat ahli gender sehingga AKI dan isu-isu perempuan bisa ditangani dengan cepat dan serius”. Pada bab terakhir McRobbie mengatakan, “The Idea of feminist content is disappeared and was replaced by aggresive by individualism, by a hedonistic female phallicism in the field of sexuality, and by obsession with consumer culture”. Maka dari itu McRobbie berduka. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |