Kekerasan domestik terhadap perempuan menyamar dalam banyak wujud, salah satunya adalah pemaksaan perkawinan. Budaya kerap kali dijadikan alasan untuk membenarkan praktik keji ini. Di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), praktik kawin paksa ini dikenal dengan nama kawin tangkap. Guna membahas budaya ini, pada Sabtu (16/10) lalu, telah dilaksanakan webinar bertajuk “Menghapus Praktik ‘Kawin Tangkap’ dan Upaya Pemulihan Korban”. Acara ini diselenggarakan oleh Prodi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Webinar ini menghadirkan Sulis Seda (Yayasan Kemanusiaan DONDERS Sumba Barat Daya), Martha Hebi (Perkumpulan SOPAN Sumba Timur), serta Dr. Irene Lolo (Pendeta dan aktivis PERUATI Sumba) sebagai narasumber. Ketiganya merupakan perempuan asli Sumba yang memahami budaya kawin tangkap. Dermawan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memberikan pembuka untuk webinar ini. Ia memaparkan dampak dari kawin tangkap terhadap perempuan yang dapat memperparah kesenjangan gender di Sumba. Selain itu, kawin tangkap kerap dilakukan pada anak di bawah umur. Akibatnya, Indeks Pembangunan Gender (IPG) NTT masih berada di bawah rata-rata nasional.
Selanjutnya, Sulis Seda memberikan paparan terkait kawin tangkap dalam perspektif budaya Sumba. Ia menerangkan bahwa terdapat dua jenis perkawinan di Sumba, yaitu perkawinan konsensual dan nonkonsensual, alias kawin tangkap. Salah satu alasan kawin tangkap adalah perjodohan oleh orang tua—di mana, anak-anak mereka yang dijodohkan tidak tahu-menahu perihal ini. Ada pula situasi dimana pihak laki-laki menginginkan pernikahan dengan perempuan dan memaksanya menikah. Kawin tangkap sendiri dilakukan secara tidak manusiawi. Biasanya, perempuan korban kawin tangkap akan ‘diculik’ oleh segerombolan laki-laki di tempat publik, seperti pasar. Perempuan yang ditangkap akan sulit sekali melawan kekuatan fisik segerombolan laki-laki. Sama halnya dengan keluarga korban yang tidak dapat melawan. Lemahnya perlawanan keluarga diakibatkan oleh kondisi terperangkap dalam situasi yang mendesak mereka untuk mengiyakan perkawinan anak perempuannya yang terlanjur diculik oleh pihak laki-laki. Sulis menuturkan, kebebasan perempuan korban kawin tangkap akan hilang dalam perkawinan tersebut, karena mereka akan hidup dalam otonomi laki-laki dan harus menerima keadaannya. Irene Lolo kemudian melanjutkan materi dengan mengecam adanya praktik ini. Sebagai perwakilan dari komunitas agama, menurutnya, praktik ini menyebabkan penderitaan yang panjang bagi korban serta keluarganya. “Praktik kawin tangkap menyebabkan banyak perempuan Sumba—baik itu korban, saksi, dan para pendamping—menderita lahir dan batin,” ujarnya. Ia menjelaskan, saat ‘diculik’, perempuan korban kawin tangkap akan diperlakukan dengan kejam. Mereka akan ditarik, dicengkram, dan dibawa paksa menuju kediaman pelaku. Perempuan korban kawin tangkap kerap mendapat pelecehan fisik, berupa sentuhan bernuansa seksual, yang dilakukan oleh para penculiknya. Bahkan, setelah di rumah lelaki, perempuan korban kawin tangkap akan langsung dimasukkan ke dalam satu kamar dengan pelaku dan dihasut untuk segera lamaran. Pada beberapa kasus, pelaku kerap memerkosa korban agar korban terpaksa mengiyakan lamarannya. Praktik ini menempatkan perempuan sebagai objek negosiasi atau objek incaran, bukan sebagai subjek yang merdeka. Korban juga terluka dari segi seksualitas, fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Narasumber terakhir, Martha Hebi, membahas konteks sosial dari praktik kawin tangkap. Ia menjelaskan, sebetulnya istilah kawin tangkap tidak ada dalam terminologi Sumba. Istilah tersebut dicetuskan oleh Salomi Rambu Iru, aktivis Sumba yang juga Direktur Forum Perempuan Sumba, pada awal tahun 2000-an. Praktik ini muncul akibat manipulasi adat. Pada awalnya, praktik menculik mempelai perempuan pada kawin tangkap dilakukan atas persetujuan pihak perempuan. Artinya, penculikan ini merupakan bagian dari ritual perkawinan. Namun, praktiknya kian melenceng dan menjadi penuh intimidasi. Berdasarkan penuturan Martha, kawin tangkap jarang diselesaikan secara hukum. Hal ini disebabkan oleh sistem sosial Sumba yang lebih mengutamakan harmoni serta menjaga relasi antar keluarga. Akibatnya, perempuan korban kawin tangkap harus menurut pada pemaksaan tersebut. Namun, adanya hukum positif memberikan keberanian bagi perempuan atau korban untuk menolak praktik ini. Sudah banyak pula relawan nonpemerintah, seperti LSM maupun tokoh adat, yang turun tangan untuk menghentikan praktik ini. Praktik budaya kawin tangkap menunjukkan bagaimana kuasa laki-laki masih dominan. Karena dominasi tersebut, muncul banyak varian kekerasan baru yang berlindung di balik budaya. Pun begitu, sudah banyak pihak yang terdorong untuk menghentikan situasi ini. Pemerintah harus merangkul seluruh pihak untuk menghentikan kawin tangkap yang tidak sesuai dengan norma kemanusiaan. “Kalau kita berpihak pada kemanusiaan, maka kita akan katakan tidak pada kawin tangkap—dan itu harus dihapus dari bumi Sumba,” tutup Irene. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |