Rabu (20/10) Departemen Kebijakan Daerah, Badan Eksekutif Mahasiswa, Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Universitas Udayana menyelenggarakan diskusi online kemahasiswaan dengan tema “Budaya Patriarki dan Diferensiasi Gender di Bali”. Diskusi tersebut menghadirkan Budawati (LBH Bali WCC) dan Retno Daru Dewi G. S. Putri (Jurnal Perempuan). Membuka diskusi ini, Budawati menyampaikan mengenai permasalahan patriarki di Bali yang merugikan perempuan seperti kawin kasta, hak waris, dan garis keturunan yang mengikuti laki-laki. Diskriminasi kerap terjadi walaupun tidak ada agama dan budaya yang membenarkan penindasan perempuan. Dalam menghadapi situasi ini, Budawati mengharapkan bahwa perempuan terus bisa bersuara di lingkungan sekitarnya untuk menghentikan kekerasan dan budaya yang merugikan perempuan. Peran ini tidak hanya dapat dilakukan oleh perempuan saja, tetapi juga oleh semua pihak. Paparan selanjutnya disampaikan oleh Retno Daru Dewi G. S. Putri terkait dekonstruksi gender dan patriarki. Daru menjelaskan bahwa gender dan jenis kelamin adalah hal yang berbeda. Jika masyarakat di Indonesia pada umumnya hanya mengenal gender sebatas perempuan dan laki-laki. Hal ini jauh berbeda jika kita melihat konstruksi gender di Sulawesi yang mengenal lima jenis pembagian gender: Makkunrai, Oroani, Calalai, Calabai, dan Bissu.
Walaupun ada budaya yang mengakui lebih dari dua gender, dampak konstruksi dua gender yang tradisional menyebabkan terbatasnya kesempatan. Akses yang terbatas, terutama untuk perempuan, mencakup hal-hal yang terkait edukasi, pekerjaan, aktivitas, perbedaan upah, serta potensi perkawinan anak dan marital rape. Daru menambahkan bahwa budaya patriarki hadir bukan untuk melindungi, tetapi untuk mengurung perempuan; tidak untuk kesetaraan, tetapi untuk mengekang. Selaras dengan Budawati, Daru menyampaikan bahwa agama maupun budaya tidak melanggengkan budaya patriarki atau kekerasan terhadap perempuan. Akan tetapi, pihak-pihak yang menginterpretasi agama dan budayalah yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya tersebut. Kesimpulan diskusi ini mengajak kita semua untuk mendekonstruksi konsep gender tradisional. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mulai berbicara, atau speak up!, untuk memberdayakan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Selain itu, dekonstruksi konsep gender yang tradisional juga dapat dilakukan dengan bersikap empati. Empati dapat diterapkan dengan menempatkan diri di posisi orang lain. Sehingga kita dapat berusaha memahami perasaan dan perjuangan orang lain dalam mencapai kesetaraan. Dengan demikian, ide mengenai konstruksi gender tradisional dapat didobrak agar mencapai kesetaraan di dalam kehidupan bermasyarakat. (Octania Wynn) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |