Hingga hari ini Indonesia belum memiliki payung hukum perlindungan pekerja rumah tangga (PRT). Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) yang diajukan ke DPR sejak 2004 belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Proses advokasi untuk mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi konvensi ILO 189 yang dilakukan oleh Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT) masih stagnan karena RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2018. Untuk itu pada Selasa (6/2) bertempat di kantor Kowani, Jakarta Pusat, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar diskusi untuk membahas evaluasi dan rencana tindak lanjut advokasi perlindungan PRT. Komisioner Komnas Perempuan Madgalena Sitorus mengungkapkan pada 2017 Komnas Perempuan dengan didukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah mengadakan empat kali pertemuan dengan melibatkan sejumlah pihak dan menghasilkan concept paper dan lembar fakta yang dapat digunakan sebagai bahan bersama dalam proses lobi dan advokasi. Ia menambahkan terkait ratifikasi konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT yang prosesnya seharusnya tidak serumit RUU, sejauh ini belum ada sinyal dari Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan ratifikasi. Koordinator Jala PRT Lita Anggraini menambahkan langkah untuk mendorong ratifikasi Konvensi ILO 189 membutuhkan political will dari Kemnaker mengingat konvensi ini mengatur soal ketenagakerjaan. Lebih lanjut Lita mengatakan perlu ada pendekatan dan lobi kepada partai politik termasuk anggota legislatif dan calon legislatif mengingat salah satu hambatan dalam penyusunan RUU Perlindungan PRT di DPR berasal dari anggota legislatif. Lita mengungkapkan terkait rencana yang digulirkan Lembaga Kerja Sama (LKS) untuk melakukan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka momentum tersebut hendaknya dapat digunakan untuk mendorong agar revisi Undang-Undang No 13 tahun 2003 tersebut juga dapat mewadahi PRT. Dengan demikian undang-undang tersebut tidak hanya mengakomodasi hubungan industrial antara perusahaan dan pekerja. Paling tidak diharapkan ada pengakuan bahwa PRT termasuk pekerja yang dilindungi di dalam undang-undang tersebut. Dari diskusi yang diikuti oleh sejumlah elemen seperti organisasi PRT, LSM, kementerian, organisasi buruh dan asosiasi pengusaha, disepakati sejumlah poin penting yakni perlunya memperluas jaringan dan mengajak lebih banyak elemen untuk mendukung RUU Perlindungan PRT. Selain itu, upaya advokasi, lobi dan kampanye perlu dilakukan dengan lebih intensif. Untuk itu disiapkan beberapa agenda untuk proses advokasi dan kampanye sepanjang tahun 2018. Forum tersebut menyepakati untuk menyiapkan penyusunan concept paper Konvensi ILO 189 dan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan; pembahasan pasal-pasal krusial dalam RUU Perlindungan PRT seperti terkait upah, sanksi dan kontrak kerja; juga pembahasan pasal-pasal krusial yang terkait dengan proyeksi lobi atau negosiasi ke luar dalam konteks negara-negara tujuan PRT migran. Setelah proses pembahasan tersebut selesai, maka akan diikuti dengan proses lobi kepada seluruh fraksi di DPR dan tenaga ahli (TA) fraksi dan/atau anggota DPR serta audiensi dengan menteri ketenagakerjaan. Langkah lain yang dipandang penting untuk dilakukan adalah membuat kampanye untuk membangun kesadaran dan memperluas dukungan. Sejak diajukan ke DPR pada 2004, RUU Perlindungan PRT belum mengalami kemajuan signifikan. RUU ini bahkan beberapa kali tersingkir dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Hingga masa jabatan DPR periode 2009-2014 berakhir, RUU ini masih terhambat di Badan Legislasi. Terakhir pada November 2017, RUU Perlindungan PRT juga tidak masuk daftar prolegnas prioritas 2018. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |