Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Warta Feminis

RUU KUHP dapat Membuat Semua Orang Menjadi Tersangka

12/2/2018

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Rabu, tanggal 7 Februari 2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan media briefing tentang “Potret Perlindungan Perempuan dalam RUU KUHP”. Acara yang berlangsung di kantor Komnas Perempuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan alasan Komnas Perempuan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rencana pengesahan RUU KUHP yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2018 membuat sejumlah pihak merasa dirugikan khususnya Komnas Perempuan. Pasalnya RUU KUHP adalah rancangan undang-undang yang dapat membuat semua orang menjadi tersangka. Posisi Komnas Perempuan yang menolak pengesahan RUU KUHP atau pasal zina sering dianggap sebagai bentuk persetujuan atas perzinaan. Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan, “Saat ini banyak orang-orang yang mengambil kesimpulan dengan melompat, saat kita mengkritisi pasal zina maka kita langsung dianggap pro terhadap perzinaan, ini yang sering menimbulkan kekacauan sosial.” Lebih lanjut Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan “Kami butuh ruang untuk menjelaskan tanpa adanya miskonsepsi terhadap pandangan kami tentang RUU KUHP dan LGBT. Seringkali kami dianggap mendukung sesuatu yang tidak bermoral.” Untuk itu, Komnas Perempuan mencoba menjelaskan secara detail tentang permasalahan pada RUU KUHP dan posisi mereka dalam melihat permasalahan di dalamnya.
 
RUU KUHP secara umum bermasalah, karena membuat hukum terkesan mengatur urusan pribadi terlalu jauh. Banyak isu yang muncul ke permukaan terkait masalah yang ada di dalam RUU KUHP, tetapi Komnas Perempuan mengkhususkan bahasannya dengan menyoroti empat isu utama yaitu perluasan makna zina, kriminalisasi hidup bersama, perluasan makna cabul dan hukum yang hidup di masyarakat. Dalam perluasan makna zina terdapat overspel yaitu dengan menyamakan makna zina pada hukum adat dengan hukum Islam, padahal keduanya berbeda. Pada pasal 484 ayat 1 huruf e dinyatakan bahwa makna zina adalah “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan”. Apabila kita mengacu pada kalimat “pernikahan yang sah” tentunya terdapat multitafsir di dalamnya, karena banyak warga negara Indonesia yang menikah dengan sistem penghayat kepercayaan dan banyak pula orang yang tidak bisa menjangkau instansi pencatatan sipil karena kemiskinan. Dengan begitu semua orang yang menikah tanpa pencatatan sipil bisa saja terjerat pasal zina. Selain itu, Komnas Perempuan juga merasa bahwa perluasan makna zina akan berujung pada kriminalisasi perempuan korban perkosaan dengan tuduhan melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Dengan adanya penguatan pada pasal 484 ayat 2 yang berbunyi “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilakukan penentuan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar” justru membawa dimensi yang membuat perempuan korban perkosaan menjadi takut untuk melapor.
 
Selain itu, perluasan makna pencabulan yang tertera pada pasal 490 ayat 2, pasal 496 dan pasal 498 ayat 2 berkali-kali disebutkan bahwa seorang pelaku pencabulan akan dipidana jika dilakukan terhadap seorang yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin. Kalimat ini menuai kritik dari berbagai pihak seperti disampaikan Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan yang fokus membahas hak anak. Menurut Magdalena, status kawin dan tidaknya seorang anak korban pencabulan akan menjadi masalah. Jika seorang anak sudah kawin maka akan berpotensi menimbulkan impunitas pelaku. “Anak bukan persoalan sudah kawin atau belum kawin, anak adalah anak,” tutur Magdalena. Seharusnya pemerintah mengambil langkah konkret misalnya dengan menghapus perkawinan anak, karena status kawin dan tidak kawin menunjukkan adanya legitimasi atas perkawinan anak.
 
Azriana Rambe Manalu, Ketua Komnas Perempuan yang juga hadir dalam media briefing menyatakan pendapatnya tentang upaya pemerintah dalam membuat pasal zina dengan keluaran hukuman pidana. “Daripada berusaha memenjarakan orang, lebih baik anggaran masuk ke pembangunan budaya dan pendidikan, sebab lapas yang ada tidak akan cukup untuk menampung orang-orang yang nantinya terjerat RUU KUHP jika disahkan,” tutur Azriana. Dengan adanya RUU KUHP hukum seolah-olah bekerja dengan mempermasalahkan hal yang sifatnya pribadi. Hukuman tidak melulu soal pidana atau hukuman mati, tetapi ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan cara lain misalnya melalui budaya dan pendidikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pemerintah menggunakan dana pembesaran lapas untuk pengembangan budaya dan pendidikan. (Iqraa Runi)


Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa