Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan mengadakan Pendidikan Publik JP 95 dan Pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Acara yang berlangsung di ballroom lantai Mezzanine Hotel Aryaduta ini menghadirkan Dedi Supriadi Adhuri (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Andi Misbahul Pratiwi (Redaksi Jurnal Perempuan), dan Susan Herawati Romica (Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) sebagai pembicara serta Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Pendidikan Publik dan pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan ini dibuka oleh Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Dr. Ir. Rina, M.Si sebagai perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam sambutannya Rina mengungkapkan bahwa isu perempuan nelayan sudah menjadi isu yang mendapat perhatian lebih di KKP. Hal ini sesuai dengan amanat Ibu Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan agar memajukan kesejahteraan perempuan nelayan terutama pada sektor pengolahan dan pengawetan hasil tangkapan laut. Rina kemudian menambahkan sebenarnya akses untuk mendapatkan kartu dan asuransi nelayan tidak terbatas hanya pada nelayan laki-laki saja, perempuan juga diperbolehkan untuk mendapatkan kartu dan asuransi nelayan. Namun, ia mengakui memang perempuan nelayan lebih sulit dalam mengakses haknya tersebut dibandingkan nelayan laki-laki. Selanjutnya Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro, M.Sc memberikan pidato kunci terkait diskusi yang membahas isu dan problem perempuan nelayan. “Dalam kebudayaan yang umum, profesi nelayan dianggap sebagai profesi khas yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Anggapan ini muncul karena adanya pandangan bahwa tidak ada perempuan yang pergi melaut atau perempuan tidak memiliki kemampuan untuk pergi melaut. Jika seorang perempuan atau istri pergi melaut, maka ia dianggap hanya menemani suami. Pengabaian terhadap peran perempuan nelayan juga terjadi pada proses pengolahan dan pemasaran ikan–yang banyak dilakukan oleh perempuan–yang dianggap bukan bagian dari profesi nelayan”, ujar Atnike. Hasil dari stereotyping yang bias gender pada masyarakat kita, pada akhirnya membuat peran perempuan nelayan dalam rantai produksi perikanan dari praproduksi, produksi, dan pascaproduksi menjadi tidak terhitung sebagai kegiatan ekonomi ataupun dianggap sebagai pekerjaan profesional layaknya nelayan laki-laki. Atnike juga menyoroti polemik Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang hanya menempatkan perempuan dalam kategori ‘istri nelayan’ atau ‘keluarga nelayan’. Kombinasi antara pandangan budaya dan legislasi yang timpang ini berakibat pada pengabaian terhadap pengakuan, hak-hak, dan perlindungan bagi perempuan nelayan, seperti hak untuk dicantumkan profesinya sebagai nelayan dan hak untuk mendapatkan Kartu dan Asuransi Nelayan. Sementara seperti kita ketahui, perempuan nelayan juga memiliki risiko yang sama besarnya dengan nelayan laki-laki di dalam rantai produksi perikanan. Atnike juga menyoroti persoalan jumlah rumah tangga nelayan di Indonesia yang berkurang nyaris 50%. Hal ini diperkirakan karena kehidupan sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan untuk keberlangsungan hidup sebab, ikan-ikan di laut Indonesia mulai habis. Menurut Atnike hal ini tentu berdampak pada ekonomi keluarga nelayan dalam kehidupan sehari-hari. Peran domestik perempuan dalam mengelola anggaran rumah tangga, menempatkan perempuan nelayan sebagai kelompok yang paling merasakan kemiskinan di dalam komunitas nelayan sehingga menyebabkan kemiskinan struktural pada mereka. Hal ini cukup disayangkan mengingat 2/3 wilayah Indonesia adalah perairan dan profesi nelayan dan perempuan nelayan khususnya, belum mendapat perhatian lebih dari negara. Menurut Atnike kerja sama yang sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan dunia akademis perlu digalakkan untuk memajukan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak perempuan nelayan. “Perempuan nelayan mungkin bukanlah wonder woman, namun kontribusi mereka terhadap kehidupan keluarga bahkan juga perekonomian nasional tak boleh dilupakan. Sudah selayaknya pula, pemerintah, para pembuat kebijakan, dan dunia akademik memberikan perhatian lebih terhadap keberadaan perempuan nelayan. Karena mengabaikan keberadaan perempuan nelayan bukan hanya mengabaikan hak kewarganegaraan perempuan nelayan, tetapi juga mengabaikan problem kemiskinan yang masih dialami oleh negeri yang bercita-cita membangun poros maritim ini”, tutup Atnike dengan penuh harapan untuk keadilan perempuan nelayan. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |