“Peran domestik itu mulai terjadi saat terbentuknya keluarga, ada pembagian peran antara ruang domestik dan publik”, tutur Syaldi Sahude dalam acara Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada Kamis (20/07/17). Dalam pertemuan ketiga Kelas Kaffe 7: Feminis Laki-Laki ini, tema yang didiskusikan ialah “Laki-Laki dan Kerja-Kerja Domestik”. Kelas Kaffe yang dihadiri oleh sekitar 18 orang peserta ini diampu oleh Syaldi Sahude, ia adalah sosok yang aktif menyuarakan kesetaraan gender melalui Aliansi Laki-Laki Baru, sebuah gerakan pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan perempuan di Indonesia. Syaldi menjelaskan bahwa meskipun pembagian peran domestik sangat terlihat pada level keluarga, namun menurutnya peran domestik memiliki sejarah yang panjang dan hampir berada di semua level masyarakat bukan hanya pada level keluarga. Mengutip dari bukunya Friedrich Engels The Origin of Family Private Property and the State, Syaldi menjelaskan bahwa sebelumnya manusia tidak melakukan pembagian peran domestik maupun publik. Ia meneruskan bahwa di era savages ada 3 tahapan yaitu lower, middle, upper. Pada lower stage manusia bersama-sama mencari makanan, baik laki-laki maupun perempuan, kemudian pada middle stage manusia sudah mengetahui cara menangkap ikan, lalu pada upper stage manusia sudah mulai berburu, pada level inilah sudah ada pembagian peran berdasarkan jenis kelamin, perempuan menjaga tempat tinggal sedangkan laki-laki pergi ke hutan untuk berburu. Lebih jauh Syaldi menjelaskan bahwa setelah itu, manusia masuk dalam zaman barbarians dimana di zaman ini keramik dan besi sudah mulai ditemukan dan sudah ada konsep tentang keluarga sebagai pelindung properti. Dalam konteks Indonesia sendiri, Syaldi menjelaskan bahwa pembagian peran gender dilekatkan dengan dikotomi kerja publik-domestik, rasional-emosional, yaitu kerja-kerja di ruang publik kerap kali dilekatkan dengan kerja yang maskulin dan kerja di ruang domestik dilekatkan dengan kerja yang feminin seperti membesarkan anak, merawat dan mengurus rumah. Bahkan profesi sebagai perawat pun dilekatkan dengan pekerjaan perempuan, meskipun pekerjaan tersebut berada di ruang publik. Lebih jauh Syaldi menjelaskan bahwa peran gender sudah dimulai sejak manusia lahir, yaitu dengan mengidentifikasi jenis kelamin mereka, jika memiliki penis maka manusia secara otomatis dalam kultur patriarki mendapatkan privilege bahkan telah ditentukan jenis-jenis pekerjaan yang dianggap oleh masyarakat sesuai. Ia mencontohkan beberapa pekerjaan yang bias terhadap perempuan, misalnya pekerjaan sekretaris, bendahara yang bias pada perempuan karena ada anggapan bahwa perempuan lebih teliti. Lebih jauh Syaldi menjelaskan bahwa ada internalisasi nilai-nilai patriarki yang dimulai dari dalam individu, kemudian keluarga melalui pengasuhan, masyarakat melalui norma-normanya, media massa dengan produk iklan dan kemudian negara melalui kebijakan publik. Menurut Syaldi kesemuanya memiliki pengaruh satu sama lain dalam mengonstruksi nilai-nilai patriarki dalam kehidupan manusia, sehingga perlu perubahan yang masif mulai dari level individu hingga negara. Syaldi menjelaskan bahwa untuk melakukan perubahan bahkan di level individu tidaklah mudah, laki-laki harus siap merelakan privilege yang dimiliki sejak lahir, perempuan harus membukan ruang bagi laki-laki untuk masuk dan terlibat dalam kerja-kerja domestik yang selama ini menjadi domain perempuan. Syaldi menuturkan pengalamannya ketika ia belajar untuk menggendong anaknya, ia akui itu adalah pekerjaan yang sulit jadi tidak bisa disepelakan, namun bukan berarti laki-laki tidak bisa melakukannya. Dalam relasi suami-istri misalnya, laki-laki dan perempuan harus bernegosiasi dalam pembagian kerja domestik agar ada kepedulian atau ethics of care di dalam pembagian peran kerja tersebut. Perubahan di level individu juga harus diikuti dengan perubahan di level masyarakat, maka menurut Syaldi role model di dalam masyarakat juga penting. Dengan demikian akan ada kesadaran bahwa sebenarnya pengasuhan di dalam keluarga adalah tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Di Indonesia sendiri belum ada kebijakan yang mendukung pelibatan laki-laki dalam pengasuhan keluarga secara maksimal, misalnya belum adanya cuti melahirkan secara khusus untuk ayah, sedangkan di Swedia telah ada cuti melahirkan panjang untuk ayah, karena memang platform kebijakannya adalah feminist policy. Syaldi melanjutkan bahwa apa yang disebut laki-laki baru adalah bukanlah label semata tapi sebuah gerakan yang terus menerus dalam proses untuk melakukan perubahan, wujudkan kesetaraan dan keadilan gender. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |