Selasa, 18 Juli 2017 Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) mengadakan seminar umum yang berjudul “Seminar Pendekatan Alternatif dalam Menangani Permasalahan Narkotika di Indonesia”. Seminar yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini bertujuan untuk mengangkat urgensi pendekatan alternatif dalam menangani permasalahan narkotika di Indonesia. Landasan yang digunakan MaPPi FHUI dan PKNI atas gagasan pendekatan alternatif untuk menangani permasalahan narkotika di Indonesia khususnya pecandu/pengguna narkotika adalah catatan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyebutkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika menambah deretan eksploitasi pecandu dalam bentuk pemerasan. Hal ini ditambah dengan pernyataan dari Global Commission on Drugs Policy (GCDP) yang menyatakan bahwa perang terhadap narkotika (war on drugs) dinyatakan gagal, karena lebih banyak memberikan dampak negatif. Padahal sebagaimana kita tahu, Indonesia sudah sejak lama menyatakan perang terhadap narkotika dan salah bentuk pembuktiannya adalah kriminalisasi bagi pengguna narkotika. Seminar ini terbagi menjadi dua sesi. Sesi I seminar tersebut berjudul “Pendekatan Alternatif dalam Menangani Permasalahan Narkotika di Indonesia: Public Health Approach”. Pembicara pada seminar sesi I adalah Prof. Irwanto, Ph.D selaku dosen dan Senior Advisor PPH dan LPPM Unika Atmajaya, Brigjen Polisi dr. Budiyono, MARS selaku Direktur Pascarehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), Suhendro Sugiharto perwakilan dari PKNI. Pada sesi I seminar para pembicara diberi kesempatan mengemukakan gagasannya mengenai pendekatan alternatif untuk penanganan permasalahan narkotika berupa rehabilitasi untuk pecandu narkotika. Suhendro sebagai perwakilan dari PKNI menyampaikan gagasannya dari perspektif mantan pengguna narkotika atas gagasan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Menurutnya, rehabilitasi jauh lebih manusiawi daripada memberikan tuntutan pidana bagi para pecandu narkoba karena sesungguhnya mereka adalah korban yang jauh lebih butuh rehabilitasi dan perbaikan hidup untuk masa depannya daripada dibebani dengan masa tahanan. Suhendro menambahkan, sekali saja seseorang tertangkap tangan menggunakan narkotika, maka selamanya ia akan mempunyai catatan kriminal dan akan sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak ke depan. Dr. Budiyono kemudian menanggapi pernyataan Suhendro dengan memaparkan fakta bahwa pecandu narkotika di Indonesia berbeda dengan pecandu narkotika di negara lain. Menurutnya, pecandu narkotika sering berperan ganda sebagai pengedar sehingga tidak mungkin hanya direhabilitasi atas sebuah kejahatan yang mereka lakukan. Rehabilitasi sebenarnya diperbolehkan dan merupakan hak yang diberikan oleh negara namun ia bukanlah opsi utama untuk menangani kasus pecandu narkotika. Prof. Irwanto kemudian menengahi dengan mengatakan bahwa rehabilitasi sebagai alternatif untuk penanganan permasalahan narkotika sangat dimungkinkan karena selama ini pendekatan untuk kasus narkotika adalah pendekatan moralitas sehingga hanya menghasilkan residual policy making. Sesi II seminar diisi dengan pembahasan mengenai “Dekriminalisasi Pecandu Narkotika” dengan pembicara Prof. Drs. Adrianus E. Meliala Ph.D., M.Si., M.Sc beliau adalah Guru Besar Kriminologi FISIP UI, Darmawel Aswar, M.H selaku Direktur Hukum BNN, dan Choky R, Ramadhan S.H., LL.M selaku Ketua Harian MaPPi FHUI. Pemaparan pertama seminar sesi II dimulai dengan paparan dari Choky yang menyatakan terdapat pendekatan filosofis mengapa pengguna narkotika tidak perlu dipidanakan. Ia merujuk pada Douglas Husak, seorang filsuf dalam bidang hukum, yang menyampaikan bahwa kondisi adiksi seharusnya bisa dijadikan alat defensif untuk keadaan keterpaksaan sehingga membuat dia seharusnya tidak bisa dipidana karena ketika seseorang terjebak dalam keadaan adiksi, sulit untuk menentukan tindakan yang benar ataupun salah sehingga dekriminalisasi bagi pengguna narkotika lebih masuk akal untuk diterapkan. Seminar kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Darmawel yang mengungkapkan bahwa setidaknya ada 72 titik peredaran narkoba di Indonesia. Dengan demikian, sudah pasti akan banyak sekali pengedar dan pengguna narkotika di Indonesia. Darmawel melihat setidaknya ada 2 alasan mengapa dekriminalisasi pengguna narkotika tidak efektif. Pertama, prosedur dan sistem penyembuhan panti rehabilitasi narkotika di Indonesia belum memiliki standar yang jelas. Kedua, hukum tidak mengatur dengan tegas para pengedar yang bisa saja mengaku-ngaku sebagai pengguna karena berhasil menunjukkan surat keterangan dokter bahwa ia adalah pengguna sehingga bisa direhabilitasi tanpa dipenjarakan. Prof. Adrianus melengkapi seminar ini dengan pemaparannya tentang sistem dan prosedur yang baik dan benar untuk menerapkan aturan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika. Menurut beliau, dekriminalisasi bagi pengguna narkotika sangat mungkin dilakukan apabila segala syarat, ketentuan dan fakta memang mendukung. Dua sesi seminar yang dihadirkan oleh MaPPi dan PKNI ini pada akhirnya bertujuan agar masyarakat menjadi terbuka bahwa di balik segala pro dan kontra mengenai penanganan alternatif atau dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika, penghapusan diskriminasi terhadap individu adalah yang sesungguhnya ingin disampaikan melalui seminar ini. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |