KAFFE 7 (Kajian Filsafat dan Feminisme 7) berlangsung di kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada hari Kamis, 6 Juli 2017. KAFFE ke-7 membahas mengenai Feminis Laki-Laki. Narasumber KAFFE pada pertemuan pertama adalah Rocky Gerung. Pada kesempatan itu Rocky membahas tentang Etika Feminis. Persoalan utama yang hendak dipaparkan dalam kuliah tersebut adalah adakah kemungkinan laki-laki untuk menjadi seorang feminis dan mampukah laki-laki menerapkan etika feminis? Pertanyaan ini bergulir sebagai reaksi atas anggapan bahwa feminisme identik dan eksklusif pada perempuan. Kuliah sesi pertama KAFFE 7 diikuti oleh 35 peserta yang datang dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi yang berbeda. Rocky membuka kuliah KAFFE dengan pernyataan bahwa, “Diskusi tentang feminis laki-laki merupakan sebuah tema yang licin, kita bisa tergelincir dalam arogansi bila kita dengan mudah memproklamasikan diri sebagai feminis setelah mempelajari teori feminis”. Mempelajari metodologi feminisme tidak sama dengan menjadi feminis, kuliah KAFFE 7 bertujuan untuk mencegah arogansi semacam itu. Rocky menyatakan bahwa menjadi laki-laki feminis bukan soal kecerdasan akademik belaka, menjadi feminis adalah sebuah panggilan etis. Mempelajari metodologi feminis tidak serta-merta menjadikan seseorang sebagai feminis, sebaliknya karena kita dipanggil oleh peradaban untuk memperbaiki konstruksi keadilan, maka kita berupaya untuk menghadirkan metodologi. Teori feminis dielaborasi karena ada semacam imperatif etis. Eksistensi laki-laki feminis masih dipertanyakan oleh masyarakat, ada keragu-raguan tentang kemungkinan tersebut. Rocky mengatakan bahwa masih banyak pandangan yang menyamakan antara menjadi feminis dengan menjadi perempuan atau menjadi feminis sama dengan menjadi feminin. Menurut Rocky menjadi feminis berarti mengadopsi feminisme. Feminisme tidak hanya mempelajari teori keadilan, belajar feminisme artinya memahami secara konseptual jenis-jenis ketidakadilan yang tidak dipahami oleh teori filsafat, ekonomi, budaya dan ilmu lainnya. Hanya di dalam tubuh perempuan segala ketidakadilan bermukim. Ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik dan ketidakadilan seksual bersamaan melekat pada tubuh perempuan. Status perempuan di dalam peradaban selalu dihargai dengan sangat rendah. Menurut Rocky problem utama dari perbincangan mengenai feminis laki-laki adalah bahwa seorang laki-laki menikmati surplus secara ekonomi, politik dan seksual. Persoalan berikutnya adalah maukah seorang laki-laki melepas surplus tersebut demi mencapai keadilan gender? Rocky menambahkan bahwa menjadi feminis artinya mengadopsi politik feminis dalam upaya untuk menghasilkan alam pikran baru dalam bernegara, misalnya mengadopsi feminis dalam sistem APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan memberi sentuhan feminis pada retorika politik. Etika feminis bukanlah sebuah etika yang sudah selesai, ia adalah pegangan awal agar lahir etika baru untuk memproduksi keadilan. Menurut Rocky etika feminis adalah on going ethic. Membincang etika feminis artinya berbicara soal etika kepedulian. Rocky menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun belakangan semua pembahasan berkerumun pada pembahasan etika kepedulian, isu ekonomi misalnya, saat ini kita bisa bicara soal indeks kebahagian, kita tidak sekadar membahas soal GDP (Gross Domestic Product). Indeks kebahagiaan mempersoalkan apakah distribusi keadilan sudah berdasarkan pendekatan gender, hal ini dapat dilihat dalam pengarusutamaan gender dalam gender budgeting. Etika kepedulian juga hadir dalam membincang persoalan lingkungan, menurut Rocky tanpa sentuhan ekofeminisme, eksploitasi terhadap bumi tidak akan pernah berakhir, sehingga menjadi penting untuk mengekspansi etika kepedulian ke dalam berbagai aspek kehidupan. Rocky menjelaskan bahwa etika kepedulian hadir sebagai respons dari ethic of right, sebuah etika yang basisnya adalah hak. Etika berbasis hak bersifat universal, berbeda halnya dengan etika kepedulian yang basisnya adalah kondisi konkret. Ia berpihak pada situasi konkret dan bukan pada doktrin universal. Etika kepedulian berbeda dengan etika utilitarian atau deontologi. Ethic of right yang bersifat universal menghasilkan praktik moral. Praktik moral diuji berdasarkan ethic of right. Prinsip moral menjadikan kehidupan konkret ditakar. Sebaliknya, etika kepedulian berangkat dari problem ketidakadilan. Problem ketidakadilan yang dibincang oleh etika feminis adalah model persoalan yang tidak selesai dalam analisis ethic of right alasannya adalah karena kode dalam ethic of right berdasarkan virtue. Menurut Rocky virtue dalam ethic of right ditulis dalam perspektif laki-laki sehingga ia mengandung bias laki-laki. Persoalan keadilan misalnya, feminisme memahami ketidakadilan bukan dari abstraksi melainkan dari pengalaman konkret atas ketidakadilan itu sendiri karena perempuan mengalami ketidakadilan. Rocky menggarisbawahi bahwa etika kepedulian adalah koreksi terhadap ethic of right yang bersifat universal sekaligus patriarkis. Perbedaan mendasar antara ethic of right dengan etika feminis adalah perspektif dalam melihat persoalan. Yang pertama mengandaikan bahwa masalah yang dihadapi manusia sifatnya universal, yang kedua mengandaikan bahwa respons terhadap problem yang dihadapi manusia tidaklah universal. Etika feminis selalu bersifat situated knowledge, artinya pengetahuan perempuan selalu berlokasi pada situasi konkret, ia tumbuh dari pengalaman kebertubuhan perempuan, sedangkan pengetahuan laki-laki selalu berasal dari abstraksi dan diformulasikan menjadi nilai yang universal. Etika kepedulian adalah respons dari kebutuhan akan sebuah etika jenis baru. Tahun 1982, Gilligan menghadirkan sebuah teori etika kepedulian dalam buku yang berjudul In a Different Voice. Gilligan melihat bahwa tidak mungkin prinsip-prinsip pengatur moral dibuat sama antara laki-laki dan perempuan. Gilligan dalam buku tersebut menunjukkan kekhususan perempuan dalam melihat dan menerapkan etika. Etika kepedulian hadir bukan untuk melengkapi ethic of right, tapi ia memanfaatkan ethic of right untuk menghasilkan sebuah etika jenis baru. Etika publik adalah ethic of right tapi etika sosial adalah etika kepedulian. Etika kepedulian melihat situasi-situasi konkret dalam persoalan sehingga ia mampu menyentuh persoalan secara lebih radikal. Rocky menutup kelas dengan menyatakan bahwa kita harus terus-menerus melakukan refleksi kritis, karena refleksi adalah cara yang paling baik untuk menjadi dekat dengan etika kepedulian. Jangan sampai kita sekadar paham teori, terlatih secara akademik, namun defisit dalam moral etis. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |