Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, pada Selasa (24/07) bertempat di Bakoel Koffie Cikini, Koalisi Perempuan Indonesia mengadakan konferensi pers berjudul “Anak Muda Bicara Perkawinan Anak”. Acara ini menghadirkan Mega Puspitasari (Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Kabupaten Bogor), Ramdan Setiawan (Sahabat KPI Desa Banjarsari), Deviana (Jaringan Forum Anak Wahana Visi Indonesia), dan Lia Anggiasih (Staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia) sebagai pembicara, dan moderator Ria Yulianti, yang juga staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia. “Berikan anak ijazah, bukan buku nikah. Biarkan anak bermain, bukan kawin. Tunjang pendidikan anak, jangan rampas hak anak.” Adalah tagline dari kampanye #STOPPERKAWINANANAK, yang juga menjadi kalimat pembuka dalam slide yang dipaparkan pada awal acara. Perkawinan anak adalah isu global, yang sebagian besar korbannya adalah anak perempuan. PBB melansir bahwa di seluruh dunia setiap hari sekitar 37.000–39.000 anak perempuan di bawah usia 18 tahun menjadi korban perkawinan anak. Indonesia sendiri berada di urutan tujuh dunia dan urutan dua di Asia Tenggara dalam kategori perkawinan anak. Perkawinan anak merampas hak anak. Seperti disebutkan Mega, salah satu hak anak itu adalah hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, hak atas pencapaian kesehatan yang tertinggi, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas istirahat dan waktu luang, hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua, hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, dan hak atas keberlangsungan hidup dan berkembang. Menyadari akan hal itu, ketiga pembicara muda—Mega, Ramdan, dan Deviana—tergerak untuk turut serta menjadi agen perubahan. Mereka terlibat aksi nyata untuk memerangi perkawinan anak di daerahnya masing-masing. Mulai dari mengadakan diskusi dan workshop guna memperkuat kapasitas diri anak muda, melakukan sosialisasi dampak dari perkawinan anak, hingga memproduksi film pendek bertemakan “Stop Perkawinan Anak”. Di samping ekonomi, budaya dan stigma yang mengakar pada perempuan (yang notabenenya menjadi korban yang lebih banyak dibanding laki-laki) turut melanggengkan praktik ini. “Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi?”, “Sudah nikah saja, urusanmu nanti hanya sumur, dapur, dan kasur”, “Perempuan itu tempatnya di rumah” adalah konstruksi yang melekat pada perempuan. Upaya sosialisasi kepada orang tua, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama menjadi salah satu kunci dalam mengubah konstruksi sosial ini. Dalam hal kebijakan, Koalisi Perempuan Indonesia mendorong pemerintah dan legislatif mengesahkan perubahan terbatas UU Perkawinan Pasal 7 dengan menaikkan usia batas minimal usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun (sama dengan usia minimal laki-laki), sebelumnya untuk laki-laki sekurangnya 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Adapun prosesnya telah sampai pada tahap penyerahan naskah akademik dan draft RUU Perubahan UU No. 1/1974 kepada pemerintah dan Badan Legislatif pada 25 Juni 2019 lalu. Baleg berjanji akan membahasnya dan mengusahakan untuk disahkan pada September ini (sebelum pergantian anggota parlemen periode berikutnya). Selain mengenai kematangan reproduksi perempuan, pengajuan menaikkan usia batas minimal usia perkawinan bagi perempuan ini juga untuk menghilangkan diskriminasi gender. Seseorang yang berusia 16 tahun, meskipun laki-laki atau perempuan, mereka masih tergolong kategori anak. Meminjam semangat Ramdan yang juga mewakili anak Indonesia lainnya, “Jangan rampas hak kami, karena kami masih ingin bermain, belajar, tumbuh, dan berkembang bersama teman-teman kami agar bisa menggapai harapan dan cita-cita kami untuk ikut membangun negeri.” Mari gerak bersama hentikan perkawinan anak. (Shera Ferrawati) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |