Senin (8/7), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan konferensi pers dalam rangka merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan BN. Mariana Amiruddin, Budi Wahyuni, dan Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan) dan Livia Iskandar (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) hadir untuk memberikan pernyataan dalam konferensi pers. BN merupakan korban pelecehan seksual yang merekam tindak pelecehan yang ia alami sebagai bukti untuk mencari keadilan. Namun BN justru dilaporkan oleh pelaku dan dijerat dengan UU ITE karena membuat rekaman tersebut. Nurherwati menjelaskan bahwa BN dijerat pasal dalam UU ITE yang mengatur tentang transmisi yang memiliki muatan atau konten yang melanggar kesusilaan (pasal 27 ayat 1). Padahal menurutnya, di zaman era digital saat ini, banyak perempuan korban pelecehan seksual yang belum terlindungi oleh hukum dan kerap kali menggunakan media elektronik untuk menyimpan bukti-bukti. Namun disayangkan, menurut Nurherawati pasal UU ITE tersebut, tindakan ini (jika tersebar) dapat dikategorikan sebagai penyebaran konten-konten yang melanggar kesusilaan. “Kalau nanti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini disahkan dan salah satunya adalah memuat soal elektronika sebagai salah satu alat bukti maka itu bagian dari kesetaraan perlindungan sehingga tidak dengan mudah perempuan korban kemudian dikriminalkan dengan menggunakan UU ITE,” jelas Nurherwati. Dengan demikian menurutnya, penegak hukum juga akan lebih mudah melihat bagaimana sebenarnya posisi korban dan bagaimana sebenarnya posisi sebagai pelaku yang sesungguhnya (terdakwa sebagai pelaku sesungguhnya) dalam penegakan hukum. Nurher menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan bagaimana pada akhirnya perempuan korban yang berupaya membuktikan dirinya sendiri tapi kemudian tidak mendapatkan kesetaraan di depan hukum, dihadapkan dengan hukum yang pada akhirnya dia harus dipidanakan. Dalam pernyataan persnya, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN. Disampaikan oleh Nurherwati betapa biasnya penanganan perkara kasus BN. Hakim memandang bahwa (tindakan) pencabulan harus melalui kontak fisik sementara alat bukti yang ada berupa rekaman telepon, yang membuktikan tidak ada kontak fisik. Terdapat bias cara pandang dalam hal ini, pertama, bias di dalam cara membaca perbuatan cabulnya sendiri, dan yang kedua bias dalam cara membaca UU ITE-nya sendiri, karena itu ada frasa “tanpa hak” di sana. Kalau hakim melihatnya sebagai korban, maka tidak akan ada lagi frasa “tanpa hak” yang terpenuhi. Hakim tidak melihat latarbelakang BN sebagai korban dalam mempertimbangkan dan memutuskan. Menyinggung hal tersebut, Mariana menyebutkan “banyak pihak yang masih belum paham terhadap kekerasan seksual”, namun menurutnya jika banyak pihak, termasuk wartawan dan media banyak mengangkat soal hal ini, maka akan dapat mempengaruhi opini publik bahwa tidak hanya BN yang mengalami hal ini tapi juga kita. Mengenai langkah hukum yang akan ditempuh berikutnya, Komnas Perempuan dan LPSK menyatakan mendukung upaya dalam mengajukan permohonan amnesti kepada presiden. Disampaikan juga oleh Livia Iskandar bahwa wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik sudah menyatakan akan memberikan dukungan dan akan memberikan dukungan pertimbangan kepada presiden dalam memberikan amnesti kepada BN. Mereka optimis jika anggota DPR melihat bagaimana proses ketidaksetaraan di depan hukum ini terjadi maka amnesti akan dikabulkan. “Alat bukti sudah cukup, tinggal bagaimana cara membaca situasi dan kondisinya, proses hukumnya, kemudian kasusnya sendiri maka kita akan melihat bahwa dia (BN) benar adalah korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan” ujar Nurherwati. (Dewi Komalasari). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |