Putri Sulung Reformasi, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), merayakan hari jadinya yang ke-20 pada tanggal 15 Oktober 2018. Untuk memperingati usianya yang telah menginjak dua dasawarsa, Komnas Perempuan mengadakan diskusi "Refleksi 20 Tahun Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia", pada hari Rabu, 31 Oktober 2018 di Hotel Sari Pacific Jakarta. Acara tersebut dibuka dengan sambutan dari Azriana Manalu, Ketua Komisioner Komnas Perempuan, dan pidato kunci dari Jaleswari Pramodhawardhani (Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden Republik Indonesia). Pada pidato pembukanya, Azriana menyampaikan bahwa tidak ada perubahan apapun terkait kondisi perempuan pasca dua puluh tahun reformasi. Lebih jauh, Azriana menjelaskan bahwa perlindungan terhadap hak-hak perempuan mengalami kemajuan dalam satu sisi dan juga kemunduran di sisi lainnya. Menurutnya, hal positif dapat dilihat dari terdapat sejumlah peraturan tingkat nasional maupun regional yang melindungi hak-hak perempuan. Namun, Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 421 kebijakan diskriminatif di daerah yang menjadi faktor penghambat bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Azriana juga menyoroti mengenai perempuan pembela HAM (Women Human Rights Defender/WHRD) yang tersebut dalam empat Undang-Undang namun tidak ada satupun yang menyebutkan mengenai perlindungan dalam bentuk jaminan keamanan maupun hukum bagi para perempuan pembela HAM secara spesifik. Jaleswari dalam pidato kuncinya memberikan penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu kekerasan yang berdampak bagi aspek kehidupan sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan politik perempuan. Namun, perlindungan bagi perempuan dalam dua puluh terakhir sangat jauh dari kata tercukupi atau bahkan mumpuni. Menurutnya, dua puluh tahun merupakan perjalanan yang panjang dan berliku bagi Komnas Perempuan untuk bekerja dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Jaleswari mengatakan bahwa perkembangan teknologi dan juga keterlibatan media memiliki peranan penting dalam membantu kerja Komnas Perempuan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ke depannya. Pada acara inti yakni, Refleksi 20 Tahun Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, diadakan diskusi panel yang terbagi menjadi tiga tema, yaitu, "Reformasi Hukum dan Kebijakan untuk Pemenuhan HAM Perempuan dalam Dua Dekade Reformasi"; "Dua Dekade Reformasi dan Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan"; dan "Perlindungan Perempuan Pembela HAM dalam Dua Dekade Reformasi". Diskusi panel yang dilaksanakan serentak dan diikuti oleh para tamu undangan--yang merupakan para aktivis gerakan perempuan--tersebut diharapkan dapat memberikan suatu resolusi untuk masing-masing topik. Dalam diskusi panel tema ketiga yang difasilitasi oleh Tati Krisnawati, menghadirkan Hasto Atmojo Suroyo (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) dan Arimbi Heroepoetri (Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan) sebagai pemantik diskusi. Tati membuka diskusi dengan menyampaikan terlebih dahulu mengenai perempuan pembela HAM yang luput dari perhatian negara, padahal beban kerja yang dimiliki oleh para perempuan pembela HAM sangat berat dan juga penuh tantangan. Arimbi memantik diskusi dengan menyampaikan definisi dari perempuan pembela HAM yang dapat diartikan sebagai siapapun yang melakukan pembelaan kepentingan perempuan tanpa melihat batasan gender. Diskusi pun dimulai dengan pembahasan mengenai kerentanan perempuan pembela HAM yang berawal dari isu tentang rendahnya kesadaran perempuan pembela HAM akan bahaya yang mengancam mereka. Para perempuan pembela HAM sering kali tidak menyadari bahwa dirinya pun manusia biasa yang dapat jatuh sakit dan juga memiliki keterbatasan lainnya, hal ini diungkapkan oleh para aktivis perempuan yang hadir dalam diskusi tersebut. Para peserta forum menyampaikan beberapa poin permasalahan bagi perempuan pembela HAM yang berasal dari diri mereka sendiri, antara lain, lupa untuk menjaga kesehatan, tidak bijak dalam mengatur keuangan pribadi, dan tidak peduli akan waktu. Selain itu, faktor eksternal yang menjadi penyebab kerentanan perempuan pembela HAM adalah para pelaku pelanggar HAM seperti korporasi, negara, maupun Aparat Penegak Hukum (APH) yang seringkali menyudutkan dan bersikap sewenang-wenang pada perempuan pembela HAM. Sehingga masyarakat yang mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dipolitisasi pun juga menjadi ancaman bagi para perempuan pembela HAM yang dapat membahayakan hidup mereka dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kaitannya mengenai perlindungan bagi para perempuan pembela HAM, Hasto menyampaikan bahwa negara melalui LPSK telah berupaya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM tanpa melihat gendernya. "Tidak ada yang berbeda (antara perempuan dan laki-laki) untuk perlindungan bagi para pembela HAM", ujar Hasto. Hal tersebut dinilai menjadi polemik tersendiri bagi forum karena perempuan memiliki kerentanan yang spesifik dan tidak bisa disamakan kebutuhan perlindungannya dengan laki-laki. Peserta forum mengidentifikasi bahwa ada kebutuhan utama bagi para perempuan pembela HAM adalah pengetahuan yang komprehensif akan bahaya yang mengancam dirinya dalam melakukan pekerjaannya, seperti mendapatkan ancaman dari pihak tidak dikenal hingga serangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Sehingga dibutuhkan suatu kesadaran bagi para perempuan pembela HAM akan risiko pekerjaan yang dijalaninya. Di akhir diskusi para peserta forum sepakat bahwa perlindungan dari negara unyuk para perempuan pembela HAM sangat diperlukan demi menjamin keselamatan para perempuan pembela HAM yang rela mempertaruhkan hidupnya dalam menjalankan pekerjaannya. Strategi yang diusulkan forum dalam upaya perlindungan bagi perempuan pembela HAM adalah upaya penegasan definisi dari perempuan pembela HAM untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan masyarakat. Hal tersebut dibutuhkan agar elemen negara dan masyarakat tidak menjadi pihak yang membahayakan para perempuan pembela HAM ketika mereka melakukan pekerjaannya. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |