Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Warta Feminis

Kriminologi Universitas Indonesia diskusikan Pemenuhan Hak atas Reparasi Bagi Korban Kejahatan

27/11/2018

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Rabu (21/11) Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia mengadakan acara seminar nasional dan lokakarya viktimologi  “Mendorong Negara Memenuhi Hak atas Reparasi bagi Korban Kejahatan” bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Depok. Acara ini dihadiri oleh Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan), Muhammad Joni (Tenaga Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia), Abdul Haris Semendawai (Ketua Perlindungan Saksi dan Korban), dan Amirudin Al Rahab (Komisioner Komnas HAM).

Pada acara tersebut Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa status korban sering kali dikeluarkan pada hukum pidana, mereka difungsikan sebagai saksi. Padahal menurut Haris korban harus menerima perlakuan yang baik. Apalagi korban dirugikan secara fisik, materi, psikologi dan sosial. Hilangnya perhatian atas korban, membuat disiplin viktimologi memberi perhatian khusus dalam pembahasan hak korban. Menurut Haris selama ini korban tidak jelas definisinya, baik definisi kekerasan yang dialami maupun ukuran kerugian yang dialami. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi yang secara spesifik membahas status korban. “Di PBB korban bukan hanya dimaknai sebagai perorangan tetapi juga kelompok. Korban bukan hanya mendapatkan reparasi tetapi juga hak korban mendapatkan keadilan, informasi dan pelakuan yang manusiawi. Hak korban pelanggaran HAM berat untuk Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002. Hak korban pelanggaran HAM berat meliputi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, menurut Haris pada praktiknya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban membutuhkan prasyarat yang menyulitkan korban mendapatkan haknya” tutur Haris.

Sementara itu, Azriana Rambe Manalu menyampaikan persoalan yang dihadapi jika korban adalah perempuan. Menurutnya selama ini masyarakat telah lupa tentang konstruksi sosial, padahal konstruksi sosial yang membentuk posisi perempuan tersubordinasi. Ia menjelaskan bahwa pada kasus kekerasan, perempuan sering kali menjadi korban yang tertindas dua kali lebih parah daripada laki-laki karena adanya stigma tentang perempuan. Fungsi reproduksi yang dilekatkan kepada perempuan membentuk pemahaman bahwa perempuan adalah objek seksual. Azriana menambahkan bahwa perempuan dianggap simbol harga diri suatu kelompok tertentu, sehingga pada saat konflik penaklukan suatu kelompok dapat dilakukan dengan menyerang baik secara fisik maupun seksual perempuan pada kelompok tersebut. “Kekerasan yang diadalami oleh perempuan biasanya meliputi kekerasan, fisik, emosional, dan seksual, kekerasan tersebut terjadi hampir setiap hari dan di manapun baik di ruang publik maupun privat” tutur Azriana. Azriana juga menekankan bahwa peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan kebijakan diskriminatif yang mengatur tubuh perempuan.

Lebih jauh, menurut Azriana Indonesia perlu memiliki hukum dan skema pemulihan korban yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. “Skema pemulihan harus bersifat komprehensif dan holistik, reparasi korban tidak perlu persetujuan pengadilan, sebab perlu diingat bahwa bagian yang paling kuat dari reparasi adalah tanggungjawab negara untuk memulihkan, sehingga, untuk melakukan reparasi korban sejatinya tidak membutuhkan prasyarat terlebih dahulu”, tutur Azriana.

Berbeda dengan Azriana, Muhammad Joni justru banyak bicara menyoal hak anak sebagai korban. Menurut Joni, semua manusia pernah menjalani fase sebagai anak-anak. Dengan begitu, sebenarnya orang dewasa lebih memahami kebutuhan anak-anak. Joni juga mengingatkan bahwa hak atas reparasi korban seharusnya tidak diurus oleh warga negara, melainkan menjadi urusan dan tanggungjawab negara untuk memenuhi hal tersebut. “Ketika berbicara mengenai anak maka berbeda dengan orang dewasa, sebab ada perbedaan kebutuhan dan kemampuan, untuk itu negara perlu mengatur penguatan sistem hukum dan kelembagaan untuk perlindungan yang spesifik untuk anak”, tutur Joni.

Sementara itu, Amirudin Al Rahab menekankan pada aspek budgeting. Menurut Amirudin Kementerian Keuangan tidak pernah menganggarkan dana untuk reparasi korban. “Reparasi korban masih menjadi persoalan, karena Undang-Undang tidak secara literal menyebutkan bahwa korban adalah tanggungjawab negara, hanya Undang-Undang terorisme yang menyebutkan bahwa korban adalah sepenuhnya tanggungjawab negara”, tutur Amirudin. Menurut Amirudin adanya ketidakjelasan status korban membuat hak kompensasi, reparasi, dan rehabilitasi digantungkan pada keputusan pengadilan. Kemudian, Muhammad Mustofa selaku penanggap lebih menekankan bahwa perlu adanya perumusan perundang-undangan yang mengatur hak korban secara jelas. Mustofa juga menjelaskan bahwa perlu ada penyebarluasan, sosialisasi, dan mekanisme dalam menuntut hak korban. Hal ini berguna untuk mengupayakan pemahaman korban atas hak yang dimiliki. (Iqraa Runi)



Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa