Kamis (15/11) bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) yang ke-12 dengan tema “Moral Politik” diselenggarakan. Pada pertemuan kedua kelas diampu oleh Robertus Robet (Ketua Jurusan Sosiologi UNJ) dengan topik “Moral Politik Machiavellian”. Di awal kelas, Robertus Robet memulai pembahasan dengan menjelaskan perbedaan moral dan etika. Robet menjelaskan bahwa moral lebih mengarah pada pemahaman atas ide kebaikan, sedangkan etika menyoal pertimbangan tindakan atau perbuatan baik. “Berbicara mengenai moral, kita harus terlebih dahulu membahas moral Kantian, sebab moral Kantian yaitu deontologis adalah cikal bakal perkembangan bahasan moral selanjutnya” tutur Robet. Robertus Robet mengungkapkan bahwa moral Kantian bersifat mengikat batin seseorang dan juga berlaku mutlak. Misalnya jika ada seorang pengemis, maka kita harus memberikannya uang tanpa mengintrogasi terlebih dahulu. Dengan sifatnya yang mutlak tersebut, biasanya moral deontologis dikenal sebagai moral yang tidak memisahkan cara dan tujuan seseorang dalam berbuat baik. Misalnya, jika seseorang melakukan hal baik untuk mencapai tujuan yang baik maka tindakan tersebut bisa dikatkan bermoral. Sedangkan jika seseorang ingin mencapai tujuan baik melalui cara yang buruk maupun sebailknya, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan bermoral. Moral deontologis biasanya digunakan oleh politik libertarian. Berbeda dengan deontologis, moral teleologis menurut robet lebih mengacu pada tujuan. Moral telelologis tergantung pada cara, melainkan berfokus pada tujuan. Selama sebuah tindakan dilakukan untuk tujuan yang baik, maka tindakannya bisa dibenarkan sebagai yang bermoral. Moral telelologis biasanya digunakan oleh politik komunitarian. Selain itu, Robertus Robet juga menjelaskan tentang moral politik Machiavellian yang selama ini sering dianggap sebagai moral politik yang durjana. Dalam buku The Prince yang ditulis oleh Nicolo Machiavelli dapat dikatakan bahwa moral politik Machiavellian cenderung menghalalkan segala cara. Moral politik yang digunakan oleh Machiavelli bahkan bisa dikatakan berada di luar paham deontologis maupun teleologis. Menurut Robet, selama ini Machiavellian berupaya membangun politik yang memiliki satu tokoh sentral. Tokoh sentral ini yang nantinya akan memberi keputusan baik maupun buruk. Sebab menurut moral politik Machiavellian, politik adalah menyoal keputusan. Oleh karena itu, diperlukan adanya tokoh sentral yang dapat memainkan perannya di dalam politik. Selanjutnya, Robertus Robet juga menjelaskan tentang moral politik Machiavellian yang mengibaratkan politik sebagai virtue and fortuna. Menurutnya politik itu adalah sebuah ketidakpastian. Seperti virtue and fortuna yang berarti di antara kebajikan dan perempuan. Mengapa perempuan? Karena dalam sejarah yang misoginis selama ini perempuan dianggap sebagai sebuah ketidakpastian. Robet juga menjelaskan bahwa politik memiliki paradoksnya sendiri. Sebab seseorang sering merasa jengah dalam politik namun juga selalu ada keinginan untuk ikut serta dalam politik. Robertus Robet juga mengungkapkan bahwa moral politik Machiavellian sangat berpegang teguh pada tindakan penguasa. Sebab menurutnya, politik ada jika penguasa menentukan tindakan di antara virtue and fortuna. Politik yang dianggap bermoral adalah politik yang menentukan pilihan kendati pilihan tersebut membahayakan negaranya. Robet kembali menjelaskan bahwa di dalam buku The Prince terdapat penjelasan bahwa kebajikan setiap orang itu berbeda. Masyarakat akan mengatakan bahwa kebajikannya adalah liberty dan penguasa akan mengatakan bahwa kebajikannya adalah membuat keputusan walaupun gila. Robet menganggap bahwa perbedaan pandangan tentang kebajikan akan membuat keinginan penguasa dengan rakyat tidak bertemu. “Pernyataan dari Laclau itu benar tentang masyarakat atau society yang tidak pernah selesai dan berjalan terus, hal ini akibat adanya perbedaan pandangan tentang kebajikan si rakyat dan si penguasa”, Robet menjelaskan. Dalam pemaparannya, Robet menjelaskan bahwa moral politik Machiavellian menganggap suasana politik tidak selalu ada. Melainkan politik ada hanya saat terjadi tragedi besar. Misalnya, runtuhnya kekuasaan Soeharto baru bisa dikatakan sebagai suasana politik menurut Machiavellian. Kemudian, moral politik Machiavellian mengasumsikan adanya dua peran yakni the rule of law dan the rule of man. The rule of law akan berfungsi pada situasi baik-baik saja. Misalnya, negara bisa dengan mudah diatur menggunakan kebijakan dan peraturan daerah saat dalam masa baik-baik saja. Akan tetapi, perlu ada the rule of man saat situasi negara memburuk. The rule of man digunakan untuk memutuskan suatu tindakan yang dapat mengubah siatuasi politik maupun negara. Robet mengakui bahwa sampai hari ini dirinya belum menemukan tokoh Indonesia yang tindakannya sesuai dengan moral politik Machiavellian. Akan tetapi, penguasa yang sesuai dengan moral politik Machiavellian ada. “Abraham Lincoln adalah salah satu pemimpin yang sesuai dengan buku The Prince, pada saat itu ia berani menghapuskan perbudakan dan poligami, keputusan itu sangat gila pada masanya, terjadi banyak perang saudara tetapi Lincoln menjamin dengan keputusan tersebut Amerika akan menjadi negara yang baru”, pungkas Robet. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |