Perempuan Nelayan Di Tengah Konflik Agraria “Perempuan nelayan tidak dapat bekerja dan memberi makan anak-anak bila laut tercemar, kontaminasi lumpur pada laut membuat suami-suami kami tidak dapat bekerja ke laut”, ungkap Fitriyati, seorang perempuan nelayan Banyuawangi. Kecemasan ini disampaikan Fitriyati pada diskusi umum yang diselenggarakan oleh KIARA (Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Perikanan) di Ruang Ke:Kini, Jakarta pada hari Senin (19/11). Konflik agraria dan kerusakan lingkungan berdampak langsung pada hidup perempuan nelayan. Fitriyati menyatakan bahwa proyek tambang emas di Gungung Tumpang Pitu, Banyuwangi telah memicu sejumlah bencana ekologis. Pasalnya di tahun 2016 telah terjadi banjir lumpur yang disebabkan oleh proyek tambang emas, menyebabkan tangkapan laut, khususnya gurita menurun drastis. Banjir lumpur membuat para nelayan berhenti melaut. Selain menderita kerugian ekonomis, Fitria beserta warga lain terus dihantui ketakutan akan terjadinya banjir lumpur yang lebih dahsyat lagi. Menurut Fitriyati, protes dan penolakan terhadap proyek tambang Tumpang Pitu telah dilakukan oleh warga setempat, alih-alih aspirasi mereka diakomodasi oleh negara, malah banyak diantara para perempuan nelayan yang dikriminalisasi dengan tuduhan memprovokasi masyarakat. Persoalan yang dilontarkan oleh Fitria adalah salah satu potret perempuan nelayan dalam konflik agraria. Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan bahwa terdapat beberapa permasalahan agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain adalah marginalisasi masyarakat pesisir dari pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) untuk investasi pembangunan wisata bahari. KIARA menemukan bahwa proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) membutuhkan biaya yang amat besar yang tidak dapat diakomodir oleh APBN. Sehingga pemerintah kemudian menggunakan skema utang luar negeri untuk membiayai proyek tersebut. Dalam diskusi umum tersebut, Susan Herawati, Sekjen KIARA menyatakan bahwa pola perampasan ruang hidup masyarakat pesisir termanifestasi dalam beragam wajah, yakni proyek reklamasi, pertambangan pesisir, laut dan proyek pariwisata. Menurut Susan ada persoalan besar dalam memaknai dan menerapkan reforma agraria dalam relasinya terhadap masyarakat pesisir dan masyarakat pulau-pulau kecil. Bagi Susan ada kegagapan negara dalam mengartikulasikan konsep reforma agraria karena gagasan tersebut hanya sekadar dipahami dan diterapkan dalam praktik pembagian atau pemberian sertifikat lahan, padahal reforma agraria sejatinya harus berani mengubah struktur kepemilikan lahan baik di darat maupun laut. “Reforma agraria dalam konteks pesisir, negara harus mengakui empat hak konstitusional masyarakat pesisir yaitu hak untuk melintas, hak untuk mengelola, hak untuk mendapatkan manfaat, dan hak untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sehat”, tutur Susan. Konflik agraria berdampak pada kehidupan para perempun nelayan. Perempuan nelayan menghadapi ketidakadilan berlipat. Selain harus berjuang di tengah konflik agraria, perempuan nelayan juga berada dalam pertarungan memperjuangkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan. UU No. 7 Tahun 2016 belum mengakomodasi pengakuan atas perempuan nelayan. Implilasinya adalah hanya 21.793 asuransi yang diberikan kepada perempuan nelayan, dari 1.108.852 asuransi nelayan yang ada. Padahal ada 3,9 juta perempuan nelayan terlibat dalam produksi perikanan, mulai dari praproduksi hingga pascaproduksi. KIARA mencatat bahwa hingga saat ini terdapat 37 daerah pesisir Indonesia yang direklamasi. Proyek tersebut telah merenggut hak konstitusional 500.000 masyarakat pesisir. Tumpang tindih peruntukan wilayah pesisir yang bias, pada akhirnya merugikan dan memiskinkan masyarakat pesisir, khususnya perempuan. Permasalahan utama dalam isu agraria adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan dan siapa yang diuntungkan dari keberlangsungan sebuah proyek. Susan menyatakan bahwa konflik agraria yang dihadapi oleh masyarakat pesisir terjadi karena terenggutnya akses dan wilayah masyarakat terhadap laut karena proyek tambang, reklamasi, dan pariwisata yang tak jarang berimplikasi pada kerusakan lingkungan. Merespons isu perempuan nelayan dalam konflik agraria, Yustus Maturbongs, Asisten Ombudsman RI bidang agraria mengatakan bahwa penting agar aspirasi dan kepentingan masyarakat pesisir termasuk perempuan diakomodasi. Artinya, perempuan perlu diberikan akses pada informasi terkait dokumen pertanahan juga administrasi. Selain itu, perempuan juga harus dilibatkan dalam public hearing dan pengambilan keputusan bersama. Masih menurut Yustus, penting juga untuk melakukan analisis dampak lingkungan yang mempertanyakan dampak kerusakan ekologis terhadap perempuan dan anak. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya menjamin aksesibilitas sumber daya alam secara adil. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |