Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
Warta Feminis

Perempuan Nelayan Di Tengah Konflik Agraria

26/11/2018

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Perempuan Nelayan Di Tengah Konflik Agraria
“Perempuan nelayan tidak dapat bekerja dan memberi makan anak-anak bila laut tercemar, kontaminasi lumpur pada laut membuat suami-suami kami tidak dapat bekerja ke laut”, ungkap Fitriyati, seorang perempuan nelayan Banyuawangi. Kecemasan ini disampaikan Fitriyati pada diskusi umum yang diselenggarakan oleh KIARA (Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Perikanan) di Ruang Ke:Kini, Jakarta pada hari Senin (19/11).

Konflik agraria dan kerusakan lingkungan berdampak langsung pada hidup perempuan nelayan. Fitriyati menyatakan bahwa proyek tambang emas di Gungung Tumpang Pitu, Banyuwangi telah memicu sejumlah bencana ekologis. Pasalnya di tahun 2016 telah terjadi banjir lumpur yang disebabkan oleh proyek tambang emas, menyebabkan tangkapan laut, khususnya gurita menurun drastis. Banjir lumpur membuat para nelayan berhenti melaut.  Selain menderita kerugian ekonomis, Fitria beserta warga lain terus dihantui ketakutan akan  terjadinya banjir lumpur yang lebih dahsyat lagi. 

Menurut Fitriyati, protes dan penolakan terhadap proyek tambang Tumpang Pitu telah dilakukan oleh warga setempat,  alih-alih aspirasi mereka diakomodasi oleh negara, malah banyak diantara para perempuan nelayan yang dikriminalisasi dengan tuduhan memprovokasi masyarakat.  Persoalan yang dilontarkan oleh Fitria adalah salah satu potret perempuan nelayan dalam konflik agraria. 

Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan bahwa terdapat beberapa permasalahan agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain adalah marginalisasi masyarakat pesisir dari pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) untuk investasi pembangunan wisata bahari. KIARA menemukan bahwa proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) membutuhkan biaya yang amat besar yang tidak dapat diakomodir oleh APBN. Sehingga pemerintah kemudian menggunakan skema utang luar negeri untuk membiayai proyek tersebut. 
Dalam diskusi umum tersebut, Susan Herawati, Sekjen KIARA menyatakan bahwa pola perampasan ruang hidup masyarakat pesisir termanifestasi dalam beragam wajah, yakni proyek reklamasi, pertambangan pesisir, laut dan proyek pariwisata. 

Menurut Susan ada persoalan besar dalam memaknai dan menerapkan reforma agraria dalam relasinya terhadap masyarakat pesisir dan masyarakat pulau-pulau kecil.  Bagi Susan ada kegagapan negara dalam mengartikulasikan konsep reforma agraria karena gagasan tersebut hanya sekadar dipahami dan diterapkan dalam praktik pembagian atau pemberian sertifikat lahan, padahal reforma agraria sejatinya harus berani mengubah struktur kepemilikan lahan baik di darat maupun laut.

“Reforma agraria dalam konteks pesisir,  negara harus mengakui empat hak konstitusional masyarakat pesisir yaitu hak untuk melintas, hak untuk mengelola, hak untuk mendapatkan manfaat, dan hak untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sehat”, tutur Susan.

Konflik agraria berdampak pada kehidupan para perempun nelayan. Perempuan nelayan menghadapi ketidakadilan berlipat. Selain harus berjuang di tengah konflik agraria, perempuan nelayan juga berada dalam pertarungan memperjuangkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan.  UU No. 7 Tahun 2016 belum mengakomodasi pengakuan atas perempuan nelayan.  Implilasinya adalah hanya 21.793 asuransi yang diberikan kepada perempuan nelayan, dari 1.108.852 asuransi nelayan yang ada. Padahal ada 3,9 juta perempuan nelayan terlibat dalam produksi perikanan, mulai dari praproduksi hingga pascaproduksi.

KIARA mencatat bahwa hingga saat ini terdapat 37 daerah pesisir Indonesia yang direklamasi. Proyek tersebut telah merenggut hak konstitusional 500.000 masyarakat pesisir.  Tumpang tindih peruntukan wilayah pesisir yang bias, pada akhirnya merugikan dan memiskinkan masyarakat pesisir, khususnya perempuan. Permasalahan utama dalam isu agraria adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan dan siapa yang diuntungkan dari keberlangsungan sebuah proyek.

Susan menyatakan bahwa konflik agraria yang dihadapi oleh masyarakat pesisir terjadi karena terenggutnya akses dan wilayah masyarakat terhadap laut karena proyek tambang, reklamasi, dan pariwisata yang tak jarang berimplikasi pada kerusakan lingkungan.   Merespons isu perempuan nelayan dalam konflik agraria, Yustus Maturbongs, Asisten Ombudsman RI bidang agraria mengatakan bahwa penting agar aspirasi dan kepentingan masyarakat pesisir termasuk perempuan diakomodasi.  Artinya, perempuan perlu diberikan akses pada informasi terkait dokumen pertanahan juga administrasi. Selain itu, perempuan juga harus dilibatkan dalam public hearing dan pengambilan keputusan bersama. Masih menurut Yustus, penting juga untuk melakukan analisis dampak lingkungan yang mempertanyakan dampak kerusakan ekologis terhadap perempuan dan anak. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya menjamin aksesibilitas sumber daya alam secara adil. (Abby Gina)


Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023