Empat perupa menggelar pameran bertajuk Kintsugi di Galeri Tugu Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta. Pameran dibuka pada Rabu (17/7) dan akan berlangsung hingga 15 Agustus mendatang. Pameran ini merupakan eksplorasi teknis dan estetis dari keempat perupa dengan menggali pengalaman personal mereka hingga memunculkan potensi-potensi yang mereka miliki. Keempat ilustrator tersebut adalah Elle Dhita, Dinan Hadyan, Jessie Tjoe, dan Sol Cai. Mereka berempat dipertemukan lewat program inkubasi ilustrasi Mixed Feelings 04 yang diselenggarakan oleh Atreyu Moniaga Project, sebuah kolektif seniman yang mengelola dan mendidik seniman muda sejak tahun 2013. Kintsugi merupakan proses menyatukan kembali keramik-keramik yang pecah dengan menggunakan pernis emas sehingga meski bekas retakannya tetap terlihat namun memberi kesan keindahan. Filosofi ini yang mendasari proses kreatif keempat perupa. Keterlibatan mereka dalam program Mixed Feelings 04 menjadi sebuah proses pembaruan, bahwa mereka telah melalui sejumlah proses yang tidak mengenakkan sebagai seorang ilustrator tetapi hal tersebut justru membuat mereka menjadi lebih baik. Karya-karya yang dipamerkan Dinan Hadyan, Sol Cai, Jessie Tjoe dan Elle Dhita terasa sangat personal. Karya-karya mereka bicara tentang kekhawatiran, ketakutan, juga kegelisahan yang mengungkap pergulatan dan pengalaman hidup yang mereka jalani. Karya-karya tersebut merupakan hasil refleksi sekaligus menyuarakan perasaan dan pikiran mereka. Dinan Hadyan yang sebelumnya berkecimpung di dunia fandom k-pop menampilkan karya dengan menggunakan material yang cukup beragam, mulai dari cat air, tinta, kertas kalkir, selotip atau pita perekat transparan dan kertas. Karya-karya yang ia tampilkan merupakan hasil eksplorasi sekaligus respons atas karya-karya yang ia buat sebelumnya. Dinan terbiasa dan terkondisikan menghasilkan karya yang rapi dan tanpa noda. Kali ini dia mempertanyakan dan mendobrak batasan-batasan dalam berkarya dan menghasilkan sepuluh karya yang menampilkan sosok-sosok dengan wajah, tubuh dan bentuk yang tak selalu “mulus”. Meski demikian ciri khas karyanya yang rapi dan halus tetap tampak. Dinan juga melakukan eksplorasi lewat materi yang digunakan. Ia biasa menggunakan cat air untuk pewarnaan dan senang dengan teknik layering (lapisan). Dalam proyek ini Dinan mengawinkan cat air dengan kertas kalkir dan selotip, dua material yang memiliki sifat yang serupa dengan cat air, transparan dan berlapis. Di sini Dinan berupaya untuk menunjukkan keseimbangan teknis dalam karyanya, ada eksplorasi yang dilakukan dengan penggunaan material baru namun tanpa meninggalkan ciri khas yang telah melekat pada karyanya. Yang menarik aspek keseimbangan ini juga muncul pada tokoh dalam lukisannya yang menunjukkan karakter androgini. Sol Cai, seorang ilustrator komersial yang bekerja untuk berbagai proyek game menampilkan karya yang menggambarkan pergulatannya dengan bipolar. Sol Cai biasa bekerja secara digital, namun kali ini dia menggunakan medium tradisional yakni cat air, akrilik, dan cat minyak. Hal ini kemudian membuatnya lebih menyukai medium tradisional. Penggunaan kanvas besar sebagai medium karyanya pada pameran ini menurut Sol Cai membuatnya menemukan kebebasan. Lewat sosok perempuan berambut putih, Sol Cai menggambarkan relasinya dengan bipolar. Karyanya menjadi media untuk berkomunikasi kepada publik tentang bipolar berdasarkan pengalamannya. Sepuluh karya yang ditampilkan dalam pameran ini bertutur mulai dari proses sebelum, saat dan sesudah diagnosis bipolar. Dengan latar lukisan berwarna biru tua, Sol Cai mendeskripsikan suasana kesedihan yang ia rasakan. Gangguan bipolar tipe dua membuatnya menjadi depresif, situasi kelam ini ia munculkan lewat pilihan warna latar lukisan. Selain itu ada pertimbangan estetis juga bahwa biru tua tidak membuat warna lain menjadi mati. Ia sekaligus sebagai penghormatan terhadap orang dengan gangguan bipolar yang kondisinya lebih buruk. Pada lukisan berjudul Obsession, Sol Cai membicarakan obsesinya pada obat. Gangguan bipolar membuatnya harus mengonsumsi obat secara rutin. Dalam lukisan tersebut si tokoh mendekap bunga-bunga opium berwarna merah muda. Warnanya yang lembut mengesankan sesuatu yang tak berbahaya, meski sebenarnya ia bisa membuat ketagihan. Sementara dalam Backbone, tokoh perempuan digambarkan dengan punggung terburai hingga tulang punggungnya yang terbuat dari besi tampak. Namun sebagian serpihan tubuhnya telah menyatu kembali dengan direkatkan oleh tinta emas dan bunga-bunga yang menjadi mahkota di kepalanya tampak bermekaran. Lukisan ini merupakan lukisan kesepuluh yang bertutur tentang kekhawatiran dan ketaknyamanan, namun sang perempuan merasa ia dapat mengatasinya karena memiliki tulang punggung dari besi. Jessie Tjoe yang sebelumnya merupakan seorang desainer grafis biasa membuat karya-karya yang indah dipandang mata. Pada pameran ini ia menampilkan subjek-subjek yang lebih “gelap” atau ganjil. Jessie menggali sisi-sisi rentan dalam dirinya, ketakutan-ketakutan yang selama ini dipendam ia keluarkan lewat sosok-sosok semacam monster dalam karya-karyanya. Lukisannya menjadi semacam potret diri, visualisasi atas emosinya. Pada lukisan berjudul Pampeliska misalnya, Jessie menggambarkan tokohnya seorang perempuan yang membawa beban emosi dalam hidupnya berupa rasa bersalah yang menghantui dalam wujud pertanyaan-pertanyaan seperti apakah dirinya sudah melukai seseorang, menyinggung perasaan seseorang, apakah dirinya sudah berbakti, dan seterusnya. Ia menggambarkannya dengan simbol kepala-kepala yang menggayuti tubuh si perempuan sementara kedua tangannya memegang sebilah pedang. Dalam Isabelle, Jessie menggambarkan sisi diri yang merasa tidak nyaman dan puas dengan bentuk tubuh dan penampilan fisiknya yang disimbolkan dengan sosok Perempuan yang memotong bagian-bagian yang cantik dari seekor burung untuk dijadikan bagian dari tubuhnya. Jessie menggunakan banyak simbol dan terinspirasi oleh karya seni gotik dan eksentrik. Ia memakai gouache dan tinda dalam karyanya. Gouache menjadi pilihan karena menurut Jessie dengan latar belakang studi desain komunikasi visual, ia terbiasa menggunakan cat poster dan gouache memiliki konsistensi yang mirip dengan cat poster sehingga memudahkannya untuk beradaptasi. Sementara penggunaan tinta hitam yang bisa menghasilkan gradasi warna mulai dari hitam, kebiruan, keunguan, juga kekuningan menurut Jessie menjadi hal yang menarik karena hasilnya tak selalu bisa diprediksi. Elle Dhita sebelumnya merupakan seorang seniman digital yang terinspirasi dengan estetika animasi disney dan ilustrasi Jepang pada pameran ini bereksperimen melalui medium tradisional dengan menggunakan cat air. Warna-warna pastel seperti merah muda dan biru mendominasi karya-karyanya. Sepuluh karyanya bertutur tentang pengalaman hidupnya tinggal seorang diri jauh dari keluarga di San Fransisco, Amerika. Hal yang menarik meski bicara tentang tema kesendirian, Elle tak menggunakan warna-warna monokrom dan gelap. Sebaliknya ia memilih warna-warna pastel yang cerah. Selain karena preferensinya pada warna-warna lembut, pilihan warna ini juga menyiratkan bahwa pengalaman kesendirian tak melulu berarti hal yang menyedihkan, tetapi ia bisa menjadi sesuatu yang indah bahkan pengalaman yang menarik. Dalam karyanya Elle menggambarkan tokoh perempuan yang selalu ditemani oleh binatang-binatang dengan tampilan unik dan imajinatif yang merupakan perpaduan dari beberapa jenis binatang. Mereka merepresentasikan sosok-sosok entah teman atau orang asing yang membantunya menghadapi kesulitan. Naga dalam lukisan Elle diwujudkan dalam dua macam bentuk dengan wajah yang bersahabat dan tak menyeramkan. Elle ingin menyampaikan pesan bahwa naga tak selalu punya konotasi negatif bahkan dalam kultur Asia naga berarti makhluk yang membawa peruntungan. Ini berbeda dengan kultur Barat yang menggambarkannya sebagai makhluk yang menyeramkan. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |