Dalam rangka Hari Keadilan Internasional, pada Kamis (25/07) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan diskusi publik bertema âPerempuan dan Akses Keadilanâ di Sari Pasific Jakarta. Pada awal diskusi, Azriana Manalu selaku moderator menyampaikan bahwa akses keadilan perempuan terhadap hukum masih belum maksimal. Hal ini dilihat karena hingga kini (setelah 21 tahun Reformasi), salah satu hambatan utama yang dihadapi perempuan adalah supremasi hukum pada keadilan dan perlindungan hak perempuan. Komnas Perempuan mencatat masih banyak persoalan-persoalan penting yang menjadi hambatan bagi perempuan dalam mendapatkan keadilan, seperti impunitas, tidak dijalankannya putusan pengadilan, dan kriminalisasi undang-undang yang diskriminatif dan multitafsir.
â Diskusi dimulai dengan penyampaian testimoni oleh kaum ibu dari Gereja HKBP Filadelfia Bekasi. âSudah sejak 19 tahun lalu kami beribadah secara berpindah-pindah,â ungkap Erry Sinaga. Meskipun semua berkas dan persyaratan secara hukum pendirian rumah ibadah telah dilengkapi dan telah pula diperoleh izin secara legal, penolakan justru tetap datang dari oknum-oknum setempat dimana gereja akan didirikan. Ketika akan beribadah di tempat tersebut, para jemaat mendapatkan perlakuan yang tidak patut, antara lain dilempari telur busuk dan air kencing. Namun, dengan lantang Erry Sinaga menuturkan bahwa hal ini tidak menyurutkan semangat mereka yang sebagian besarnya perempuan dalam memperjuangkan hak mendirikan rumah ibadah. Setiap dua minggu sekali mereka beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, sebagai bentuk protes dari tidak dijalankannya putusan pengadilan oleh negara yang berdampak pada pelanggaran hak kebebasan beragama. Hingga kini, belum ada kejelasan respons dari negara. âBesar harapan kami untuk negara bisa membuka segel Gereja HKBP Filadelfia, supaya kami bisa beribadah dengan damai dan aman,â tutur Erry Sinaga, seorang jemaat Gereja HKBP Filadelfia. Paparan selanjutnya dikemukakan Nani Nurani, sang survivor 65. Ia adalah seorang penyanyi istana yang dituduh simpatisan PKI. Ia menceritakan bahwa pada 1968 (ketika usianya masih 27 tahun), ia dimasukkan ke penjara Bukit Duri tanpa adanya proses hukum terlebih dulu, dan baru dikeluarkan pada 1975 dengan alasan keadaan kesehatan. Pada saat keluar dari penjara bukan berarti bebas lepas begitu saja dari bayang-bayang PKI, karena ia masih harus wajib lapor setiap bulan ke Kelurahan Rawa Badak Utara dan setiap 3 bulan sekali ke Kecamatan Koja, dan puncaknya ia tidak mendapatkan KTP seumur hidup. Kemudian pada 2003, ia berupaya âmelawanâ dengan mengajukan kasus ini ke PTUN Jakarta. âPutusannya, saya bukan anggota organisasi terlarang, tidak terlibat G30S, dan tidak pernah dinyatakan bersalah karena tidak pernah diadili,â, tuturnya. Kemudian, pada 2011 Nani mengajukan rehabilitasi nama dan ganti rugi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan status dan perkembangan kasusnya. âJangan sampai kasus ini (Peristiwa 1965) ditutup nantinya karena kami (para korban) telah meninggal,â ujar Nani Nurani. Kemudian, diskusi dilanjutkan dengan mendengarkan pendapat dari para narasumber, yaitu Nirwana (Anggota Pokja Perempuan dan Anak, Mahkamah Agung), AKBP Ayi Supardan, Sri Bhayangkari (Penyidik Unit PPA Bareskrim POLRI), Latifah Setyawati (Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata Agama, Mahkamah Agung), dan Sri Nurherawati (Komisioner Komnas Perempuan). Mereka sepakat bahwa langkah peradilan dalam meningkatkan akar keadilan terhadap perempuan perlu ditingkatkan. Perlu ada sinergi antara Mahkamah Agung, POLRI, lembaga lainnya, dan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut. Pada bagian kesimpulan dan penutup, Azriana Manalu mengemukakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi potret masih adanya pengabaian pengalaman dan suara perempuan ketika berhadapan dengan hukum, yang terjadi dari hulu hingga hilir. Mulai dari pra adjudikasi (pemeriksaan laporan kasus sebelum persidangan), adjudikasi (persidangan), hingga pos adjudikasi (putusan). Komnas Perempuan seringkali mendapatkan laporan dan pengaduan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan hakim, jaksa, atau penasehat hukum terkadang menyudutkan perempuan, bahkan tak jarang perempuan korban justru berujung menjadi terpidana. Karena itu, Komnas Perempuan menilai penting untuk melakukan pendampingan kepada perempuan yang menghadapi proses hukum, dan mensosialisasikan tahapan-tahapan yang bisa ditempuh perempuan dalam memperoleh keadilan hukum. Selain itu, undang-undang yang sudah ada pun perlu dikaji kembali supaya mengarah pada menjawab kebutuhan korban. Dan hal ini tentunya membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dan organisasi masyarakat sipil. (Shera Ferrawati) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |