Sebagai bentuk dukungan untuk pembahasan lebih lanjut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Panja dan Pemerintah, Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) pada Rabu (07/08) mengadakan acara bertema “Fakta Kekerasan Seksual adalah Urgensi Disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Gedung LBH Indonesia. Acara ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Umi Lasminah (Warta Feminis), Dewi Astuti (Rumah Faye), Oki Wiratama (LBH Jakarta), dan perwakilan dari LBH APIK. Sesuai dengan temanya, acara ini membahas urgensi disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didukung fakta-fakta lapangan dan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan, khususnya lansia. Seperti yang diungkap Umi Lasminah, pihaknya menerima banyak laporan kasus kekerasan seksual yang dialami lansia. “Juli kemarin, di Aceh ada seorang nenek berumur 74 tahun yang diperkosa,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Parahnya, si pelaku menyatakan akan bertanggung jawab bila korban hamil”. Ia menilai hal ini tentu suatu penghinaan yang luar biasa pada perempuan lansia, karena mereka yang telah menopause tentu sedikit kemungkinan akan hamil. Kasus kekerasan seksual yang dialami lansia seperti ini jelas menjadi fakta yang harus menjadi pertimbang serius. Kasus ini juga mematahkan stigma yang melekat selama ini bahwa korban kekerasan seksual hanyalah mereka yang masih muda dan kekerasan seksual terjadi diakibatkan perilaku atau pakaian seseorang. Dewi Astuti kemudian menambahkan fakta lainnya. “Dari kasus-kasus yang dilaporkan dan diterima oleh Rumah Faye, 80% adalah kasus kekerasan seksual,” ujarnya. Ia menggarisbawahi bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual karena perempuan dianggap lemah, terlebih mereka yang lansia. Hal ini juga tentu berkaitan dengan relasi kuasa. Contoh lain yang ia paparkan adalah relasi antara orangtua (ayah) dan anak. Rumah Faye pernah menangani kasus anak perempuan berumur 12 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh sang ayah kandung dan ayah angkat. Dengan adanya relasi kuasa ini, mereka merasa memiliki hak dan kuasa lebih untuk melakukan kekerasan seksual kepada sang anak, sebaliknya sang anak tak kuasa melawan relasi kuasa tersebut. Di lain sisi, Oki Wiratama menjelaskan kasus yang pernah ditanganinya, yaitu kasus lansia yang diperkosa bahkan hingga meninggal. Kilas balik ke belakang berdasarkan kasus-kasus yang ditanganinya itu, ia menekankan bahwa sudah saatnya kita harus menghilangkan stigma kepada korban, berhenti melakukan viktimisasi kepada korban. “Hilangkan stereotipe ‘Oh, dianya saja kali yang centil’, ‘Pakai baju seksi sih’, ‘Kayaknya dia yang kegatelan’, dan lainnya”. Hal ini membuat beban yang ditanggung korban semakin berat, dan karena sudah terbukti pula kasus kekerasan seksual tidak hanya dialami para perempuan muda, melainkan juga menimpa mereka yang lansia. Dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan pula akan mengatur beban pembuktian yang tidak lagi diberatkan kepada korban. Oki Wiratama menuturkan, “Kalau di dalam KUHAP, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Ini sudah pasti memberatkan. Lain halnya dengan di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur cukup satu saja alat bukti yang sah”. Kemudian, ia menyayangkan belum ada secara menyeluruhnya struktur Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di setiap Polsek. Hal ini tentu akan menyulitkan dan meribetkan korban karena harus melapor ke Polda. Selain itu, hal lain yang meresahkan adalah masih banyaknya penyidik yang tidak berperspektif pada korban, mereka justru sering kali menyudutkan korban. Perwakilan dari LBH APIK pun sependapat dengan paparan Oki bahwa perspektif penegak hukum harus lebih mengarah pada korban. Ia menambahkan, “Terkadang laporan mengenai kekerasan seksual yang dialami lansia ini tidak percaya, mereka memandangnya sebelah mata”. Sulitnya pembuktian secara non-fisik pun menjadi hambatan tersendiri bagi korban. Padahal, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik. Dengan terus meningkatnya kasus kekerasan seksual ini, bahkan menimpa pada lansia, tentu mengindikasikan keurgensian disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar tidak muncul perempuan korban lainnya. Tapi, perlu diperhatikan pula dan dikaji secara komprehensif setiap pasal-pasalnya agar tidak menjadi pasal karet, bahkan sampai merugikan korban. Supaya dengan begitu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu mengakomodasi kebutuhan para korban. (Shera Ferrawati) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |