Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Warta Feminis

Fakta Kekerasan Seksual yang Dialami Lansia dan Anak

13/8/2019

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Sebagai bentuk dukungan untuk pembahasan lebih lanjut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Panja dan Pemerintah, Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) pada Rabu (07/08) mengadakan acara bertema “Fakta Kekerasan Seksual adalah Urgensi Disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Gedung LBH Indonesia. Acara ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Umi Lasminah (Warta Feminis), Dewi Astuti (Rumah Faye), Oki Wiratama (LBH Jakarta), dan perwakilan dari LBH APIK. 

Sesuai dengan temanya, acara ini membahas urgensi disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didukung fakta-fakta lapangan dan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan, khususnya lansia. Seperti yang diungkap Umi Lasminah, pihaknya menerima banyak laporan kasus kekerasan seksual yang dialami lansia. “Juli kemarin, di Aceh ada seorang nenek berumur 74 tahun yang diperkosa,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Parahnya, si pelaku menyatakan akan bertanggung jawab bila korban hamil”. Ia menilai hal ini tentu suatu penghinaan yang luar biasa pada perempuan lansia, karena mereka yang telah menopause tentu sedikit kemungkinan akan hamil. Kasus kekerasan seksual yang dialami lansia seperti ini jelas menjadi fakta yang harus menjadi pertimbang serius. Kasus ini juga mematahkan stigma yang melekat selama ini bahwa korban kekerasan seksual hanyalah mereka yang masih muda dan kekerasan seksual terjadi diakibatkan perilaku atau pakaian seseorang.

Dewi Astuti kemudian menambahkan fakta lainnya. “Dari kasus-kasus yang dilaporkan dan diterima oleh Rumah Faye, 80% adalah kasus kekerasan seksual,” ujarnya. Ia menggarisbawahi bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual karena perempuan dianggap lemah, terlebih mereka yang lansia. Hal ini juga tentu berkaitan dengan relasi kuasa. Contoh lain yang ia paparkan adalah relasi antara orangtua (ayah) dan anak. Rumah Faye pernah menangani kasus anak perempuan berumur 12 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh sang ayah kandung dan ayah angkat. Dengan adanya relasi kuasa ini, mereka merasa memiliki hak dan kuasa lebih untuk melakukan kekerasan seksual kepada sang anak, sebaliknya sang anak tak kuasa melawan relasi kuasa tersebut.

Di lain sisi, Oki Wiratama menjelaskan kasus yang pernah ditanganinya, yaitu kasus lansia yang diperkosa bahkan hingga meninggal. Kilas balik ke belakang berdasarkan kasus-kasus yang ditanganinya itu, ia menekankan bahwa sudah saatnya kita harus menghilangkan stigma kepada korban, berhenti melakukan viktimisasi kepada korban. “Hilangkan stereotipe ‘Oh, dianya saja kali yang centil’, ‘Pakai baju seksi sih’, ‘Kayaknya dia yang kegatelan’, dan lainnya”. Hal ini membuat beban yang ditanggung korban semakin berat, dan karena sudah terbukti pula kasus kekerasan seksual tidak hanya dialami para perempuan muda, melainkan juga menimpa mereka yang lansia. 

Dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan pula akan mengatur beban pembuktian yang tidak lagi diberatkan kepada korban. Oki Wiratama menuturkan, “Kalau di dalam KUHAP, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Ini sudah pasti memberatkan. Lain halnya dengan di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur cukup satu saja alat bukti yang sah”.

Kemudian, ia menyayangkan belum ada secara menyeluruhnya struktur Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di setiap Polsek. Hal ini tentu akan menyulitkan dan meribetkan korban karena harus melapor ke Polda. Selain itu, hal lain yang meresahkan adalah masih banyaknya penyidik yang tidak berperspektif pada korban, mereka justru sering kali menyudutkan korban.

Perwakilan dari LBH APIK pun sependapat dengan paparan Oki bahwa perspektif penegak hukum harus lebih mengarah pada korban. Ia menambahkan, “Terkadang laporan mengenai kekerasan seksual yang dialami lansia ini tidak percaya, mereka memandangnya sebelah mata”. Sulitnya pembuktian secara non-fisik pun menjadi hambatan tersendiri bagi korban. Padahal, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik.
​
Dengan terus meningkatnya kasus kekerasan seksual ini, bahkan menimpa pada lansia, tentu mengindikasikan keurgensian disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar tidak muncul perempuan korban lainnya. Tapi, perlu diperhatikan pula dan dikaji secara komprehensif setiap pasal-pasalnya agar tidak menjadi pasal karet, bahkan sampai merugikan korban. Supaya dengan begitu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu mengakomodasi kebutuhan para korban. (​Shera Ferrawati)


Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024