Setelah menggelar peluncuran dan diskusi novel The Crocodile Hole di Jakarta pada Selasa (27/10), Jurnal Perempuan kembali menggelar diskusi dan launching novel karya Saskia Wieringa tersebut pada Kamis (29/7) di Ubud, Bali. Acara yang berlangsung di Warung Nuri di kawasan Ubud tersebut diawali dengan penyerahan novel The Crocodile Hole versi bahasa Indonesia dari Saskia kepada ibu-ibu penyintas yang pernah ditahan di kamp Plantungan. Saskia menyebut pemberian novel tersebut sebagai “kado untuk ibu”—yang juga merupakan judul sebuah dokumenter pendek tentang tahanan politik di kamp Plantungan—dan merupakan versi novel yang diterbitkan pada tahun 2003 yang mana ketika itu tidak ada pelarangan atas novel tersebut, namun ketika novel yang sama diterbitkan kembali pada tahun 2015 dalam versi bahasa Inggris, peluncurannya di Bali justru dilarang. Sebelum acara diskusi dimulai empat orang intel mendatangi tempat kegiatan dan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait acara diskusi dan peluncuran novel. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menjelaskan dengan sangat tenang kepada keempat lelaki tersebut bahwa kegiatan yang akan diselenggarakan pada siang hari itu merupakan acara kumpul dan makan bersama yang sangat dimungkinkan terjadi diskusi dan pembicaraan dan tidak terkait dengan sesi acara dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang sebelumnya dilarang. Lalu Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People Tribunal (IPT) 1965 memberikan kartu nama dan nomor teleponnya. Para intel tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka perlu mengklarifikasi kegiatan peluncuran buku tersebut lalu mereka pun meminta maaf karena telah mengganggu dan kemudian meninggalkan tempat kegiatan. Sejumlah peserta sudah datang ke acara bahkan satu jam sebelum dimulai. Gadis Arivia yang bertindak sebagai moderator membuka acara dan mempersilakan Saskia untuk memaparkan novelnya termasuk kaitan antara fakta dan fiksi dalam novel tersebut. Saskia mengatakan bahwa peluncuran novelnya siang itu merupakan momen bersejarah mengingat sebagai orang asing dia bisa meluncurkan novelnya di sini dan para peserta dapat mengambil foto para intel yang mendatangi dan memotret kegiatan peluncuran bukunya, yang nantinya foto tersebut dapat dikirim ke Pengadilan Rakyat Internasional untuk peristiwa 1965 sekaligus memperlihatkan bahwa ancaman masih terus berlangsung dari tahun 1965 hingga hari ini. Saskia kemudian menjelaskan cerita dalam novelnya secara singkat, yakni kisah Tommy, seorang jurnalis muda dari Belanda yang bertemu dengan para perempuan penyintas dari anggota organisasi perempuan yang dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan para jenderal dengan melakukan tarian dan kastrasi. Sebuah fitnah seksual yang kemudian mengakibatkan pembantaian terhadap anggota Gerwani dan PKI dan yang dianggap PKI. Saskia juga memaparkan aspek fakta dan fiksi yang terdapat dalam novelnya yang didasari oleh penelitian ilmiah yang dilakukannya ketika menyusun disertasi. Usai paparan tersebut, Saskia kemudian membacakan nukilan novelnya. Sekitar 15 menit setelah acara dimulai, polisi kembali mendatangi tempat kegiatan, kali ini dalam jumlah yang lebih banyak. Negosiasi pun kembali terjadi antara Gadis Arivia, Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis—pengacara senior sekaligus aktivis yang datang ke diskusi buku dan mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut—dengan aparat polisi. Mereka bertiga berkukuh bahwa polisi tidak mempunyai hak dan dasar hukum untuk membubarkan kegiatan tersebut. Maka sepanjang acara polisi berada di lokasi dan terus mengawasi serta masuk ke dalam ruangan. Tak hanya itu, polisi juga melakukan intimidasi dengan menanyakan izin usaha Warung Nuri, yang dikenal dengan nama Nuri Nacho’s Mama tersebut, kepada pemiliknya. Namun keberadaan polisi selama acara berlangsung sama sekali tidak menyurutkan antusiasme peserta untuk mengikuti diskusi. Usai paparan dari Saskia, sejumlah peserta mengajukan pertanyaan. Salah satunya seorang cucu korban tragedi 65, Dini Rachmawati, yang membagikan cerita tentang pengalaman keluarganya menanggung diskriminasi, stigma dan tekanan, mulai dari kakeknya yang ditangkap paksa, orang tuanya yang juga merasakan kehidupan dan penghidupannya dirampas, bahkan dirinya pun sempat harus menjalani pemulihan akibat tekanan psikologis yang dialami. Gadis mengungkapkan bahwa berbagi cerita dan pengalaman juga merupakan salah satu upaya healing. Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Nursyahbani Katjasungkana yang membahas tentang Pengadilan Rakyat Internasional (International People Tribunal) tentang peristiwa 1965. Nur menjelaskan tentang latar belakang dan pentingnya penyelenggaraan IPT 1965. Sejumlah pertanyaan juga dilontarkan peserta. Usai tanya jawab, acara dilanjutkan dengan penandatanganan novel oleh Saskia dan bincang-bincang. Para peserta baik dari Indonesia maupun luar negeri tak ingin kehilangan momen dengan meminta Saskia membubuhkan tanda tangannya dan berfoto bersama. Acara siang itu juga diikuti dengan pameran foto para perempuan penyintas 1965 oleh AJAR (Asia Justice and Rights) yang juga batal tampil dalam ajang UWRF. Sejumlah aktivis perempuan juga tampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan ada yang khusus datang untuk mengikuti peluncuran dan diskusi buku ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap pelarangan yang dilakukan polisi, seperti misalnya Sita Aripurnami dan Edriana Noerdin dari Women Research Institute (WRI). Tak ketinggalan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dari Bali dan kota lain juga ikut bergabung termasuk juga sejumlah figur publik. Seperti diketahui, sedianya peluncuran dan diskusi The Crocodile Hole menjadi salah satu sesi dalam ajang Ubud Writers and Readers Festival, namun kemudian dibatalkan karena panitia dilarang menampilkan sesi acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965 oleh polisi. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |