“Selama ini hanya dilakukan pendekatan pada aspek keamanan moral atas konflik dan permasalahan di Papua,” demikian pendapat Sejarawan Institut Sosial Sejarah Indonesia, Hilmar Farid ketika berbicara tentang topik “Perang yang Terlupakan: HIV/AIDS di Papua” dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 pada Kamis, 15 Oktober 2015 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Hilmar membagikan data bahwa jumlah penduduk di Papua hanya 1,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia namun Papua memiliki tingkat penyebaran HIV/AIDS dan angka kematian karena HIV/AIDS tertinggi. Setiap 25 menit, satu orang terpapar HIV di Indonesia dan seperlimanya adalah anak-anak muda. Menurut Hilmar, selama ini upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS masih hanya berupa penyadaran dari perspektif moral yang seringnya dilandasi oleh asumsi. Contohnya, seringkali kultur di Papua dipandang lebih promiscuous, mereka dipandang seringkali berganti-ganti pasangan. Maka sering pula tindakan preventif yang diterapkan adalah berupa nasihat-nasihat untuk menjauhi hubungan seksual. Hilmar menceritakan mengenai salah satu penelitian koleganya yang membahas mengenai perbandingan penyebaran HIV di Papua dengan penyebaran HIV di Jakarta. Penyebaran HIV di Papua, sekitar 98,7 persennya disebabkan oleh hubungan seksual bukan karena transfusi darah dan jarum suntik seperti yang terjadi di Jakarta. Di Jakarta, tingkat penggunaan kondom rendah dan ini menunjukkan bahwa tingkat negosiasi perempuan rendah serta menjadi contoh nyata dari adanya ketimpangan kekuasaan. Hubungan seksual yang tidak aman seperti yang terjadi di Papua sesungguhnya bukan berpangkal pada moral melainkan pada power atau kekuasaan. UNICEF pernah mengadakan kampanye HIV/AIDS di Papua. UNICEF membuat riset mengenai seberapa jauh kampanye ini masuk ke masyarakat. Hasilnya cukup menakjubkan, hampir semua orang tahu mengenai adanya kampanye HIV/AIDS dan sebagian besar dari mereka memahami penyebab serta dampak dari HIV/AIDS. Menurut Hilmar, jelas persoalannya bukan karena kurangnya penyebaran informasi tetapi justru karena adanya ketimpangan power atau kekuasaan. Hilmar memberikan tiga solusi dasar untuk masalah HIV/AIDS di Papua. Pertama dan yang paling utama adalah HIV/AIDS harus dipandang sebagai masalah kesehatan seperti halnya penyakit pada umumnya (meskipun obat bagi HIV/AIDS belum ditemukan). Flu adalah penyakit mematikan pada tahun 1918 ketika orang-orang belum menemukan solusi bagi epidemik tersebut. Kedua, kita harus menyadari pentingnya bukti dan pengetahuan. Ketika masalah sudah jelas, baru dapat dipikirkan apa solusinya. Seperti yang telah ditekankan berulang kali oleh Hilmar, paradigma moral jelas tidak dan gagal menyelesaikan masalah HIV/AIDS di Papua. Terakhir adalah apa yang disebut dengan kategori care. Care dalam bahasa Indonesia sering diasosiasikan dengan perhatian, kasih sayang, dan sebagainya. Di masa seperti ini ketika manusia mudah gelisah dan takut akan banyak hal, kategori care adalah kategori yang penting namun justru sering diabaikan. Jika kategori ini menjadi dasar manusia untuk memahami masalah politik ekonomi maka kiranya manusia akan mendapatkan bayangan tentang masalah yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat menemukan solusi yang konkret, demikian menurut Hilmar. (Johanna Poerba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |