Pada acara peluncuran novel The Crocodile Hole dan Indonesia Feminist Journal di Chasakhasa, Kemang (27/10/2015), Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People’s Tribunal 1965 angkat bicara mengenai kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965. “Tragedi 1965 adalah pelanggaran atas kemanusiaan”, ujar Nursyahbani. Menurut paparan Nursyahbani, Kejaksaan Agung menolak laporan dari Komnas HAM mengenai insiden pelanggaran HAM tahun 1965 sebanyak tiga kali pada tahun 2012. Akibatnya laporan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut ke tingkat DPR untuk menetapkan peristiwa tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM dan apakah harus ada pembentukan sebuah pengadilan HAM. Komnas HAM kemudian melaporkan penolakan Kejaksaan Agung tersebut pada Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia pada tahun 2013, dan akhirnya Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia di Jenewa memberikan rekomendasi untuk dibentuknya joined team investigation agar tidak ada lagi alasan dari Kejaksaan Agung untuk menolak dengan berbagai alasan teknis. Sayangnya saran tersebut belum terlaksana sampai sekarang. Hal lainnya yang dipaparkan oleh Nursyahbani adalah mengenai film Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing” atau “Jagal” yang memuat pengakuan dari para pelaku pembunuhan telah membuka mata dunia tentang peristiwa 1965. Kemudian pada tahun 2014 Joshua Oppenheimer, sang sutradara “The Act of Killing”, kembali meluncurkan film “The Look of Silence” atau “Senyap” yang juga memperlihatkan pada dunia dan masyarakat Indonesia mengenai kekejaman peristiwa pembantaian yang memakan korban hingga jutaan orang tersebut. Nursyahbani juga menerangkan bahwa proses pembuatan sinema tersebut memakan waktu 12 tahun dan menghasilkan lebih dari 1000 jam, berdasarkan pemaparan Joshua pada sebuah diskusi. “Joshua mengatakan bahwa ia sudah melakukan apa yang ia bisa sebagai seorang peneliti dan seorang pembuat film, kemudian mengenai apakah orang-orang Indonesia akan membela harga diri mereka itu kembali pada keputusan mereka”, Nursyahbani menceritakan. Nursyahbani juga menceritakan bahwa pengalamannya ketika turut berpartisipasi dalam International People’s Tribunal Tokyo terkait masalah jugun ianfu, ia pernah bertemu dengan para exiled yang berharap agar ia bersedia mengadvokasi permasalahan 1965 dalam forum internasional. Agenda ini juga merupakan momentum yang tepat karena keterbukaan informasi mengenai peristiwa 1965 semakin luas dan juga didukung oleh lahirnya narasi visualnya dalam bentuk film “The Act of Killing”. Akhirnya Nursyahbani menyanggupi untuk mengambil mandat tersebut dan penelitian serta upaya advokasi pun dimulai setelahnya. Dalam perjalanannya, Nursyahbani menyadari bahwa hingga sekarang diskusi atau acara yang berkaitan dengan tragedi 1965 seringkali dipersulit atau tidak diizinkan karena isu ini masih dipandang seakan-akan hanya merupakan isu ideologi semata bukan dipandang sebagai isu kemanusiaan. Dilatarbelakangi hal ini, Nursyahbani bersama para aktivis dan orang-orang yang peduli dari berbagai kalangan dan profesi memutuskan untuk membentuk International People’s Tribunal untuk peristiwa 1965. “Konsep People’s Tribunal sendiri sebenarnya sudah dipraktikkan sekitar tahun 1966 ketika Bertrand Russell dan Sartre menyelenggarakan People’s Tribunal untuk kasus perang Vietnam”, Nursyahbani menerangkan. International People’s Tribunal untuk kasus 1965 akan diadakan pada tanggal 10 hingga 13 November mendatang di Den Haag dan diharapkan agar rekomendasi yang disusun oleh Hakim bagi Indonesia pada akhirnya dapat mendorong negara untuk memberikan pertanggungjawaban bagi para korban atas tragedi tahun 1965. (Johanna Poerba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |