Selama melewati perjalanannya yang panjang, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi topik perbincangan yang tidak ada habisnya. Senin (28/02/2022) lalu RUU TPKS kembali menjadi pembahasan yang dipilih oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dengan fokus pada Victim Trust Fund (VTF) atau dana yang khusus dikumpulkan untuk membantu proses peradilan korban kekerasan seksual (KS). Webinar yang berjudul “Menghadirkan Mekanisme Victim Trust Fund dalam RUU TPKS” ini menghadirkan empat orang narasumber; Susilaningtias (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK]), Maidina Rahmawati (ICJR), Willy Aditya (Fraksi Partai NasDem), dan Christina Aryani (Fraksi Partai Golkar). Diskusi dibuka oleh Erasmus Napitupulu (ICJR) dan dimoderatori oleh Wahyu Wagiman (ICJR).
Erasmus Napitupulu membuka diskusi dengan mempertegas pentingnya pengesahan RUU TPKS untuk membela hak-hak korban. Sayangnya, tujuan tersebut tidak dapat didukung penuh akibat dana yang diterima oleh LPSK dari negara tidak pernah lebih dari 2%. Jumlah tersebut tentu tidak mampu menutupi biaya yang dibutuhkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan mewujudkan inisiatif kerja sama dengan pihak ketiga atau swasta untuk melindungiKS. Sehingga mekanisme VTF dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. VTF harus dijalani dengan bantuan LPSK sebagai garda terdepan perlindungan korban KS. Wahyu Wagiman melanjutkan diskusi dan memberikan contoh trust fund atau dana amanah di negara-negara maju. Dana yang didedikasikan untuk korban konflik, penyiksaan, dan trafficking menjadi beberapa contoh. Adanya trust fund menurut Wahyu bukanlah hal yang baru. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pernah mengeluarkan Pakta Roma yang menjanjikan perlindungan bagi korban perang. Para korban diberdayakan oleh PBB dengan dana yang telah dikumpulkan dan disepakati melalui perjanjian tersebut. Indonesia belum sepenuhnya mengaplikasikan sistem trust fund. Sistem yang kita miliki selama ini adalah restitusi yang dapat diterapkan dalam membela hak-hak korban. Akan tetapi, di dalam membayarkan restitusi kepada korban, LPSK kesulitan untuk mengetahui dan mengakses harta yang dimiliki oleh pelaku. Selain itu, pelaku juga belum tentu sanggup membayarkan restitusi yang menjadi kewajibannya. Ketiadaan VTF direspons oleh Susilaningtias melalui presentasi yang menekankan pentingnya pendanaan tersebut sebagai alternatif pembiayaan bagi korban KS. Gagasan pengadaan VTF sebenarnya sudah diusulkan sejak lama. VTF dianggap sebagai salah satu solusi untuk membantu korban pelanggaran hukum pidana. Dana yang dibutuhkan akan digunakan untuk pendampingan dari LPSK kepada korban KS. Di dalam melakukan pendampingan, LPSK menemukan adanya lima ragam penderitaan yang biasa dialami oleh korbanKS; fisik, psikis, materiil, ekonomi, dan sosial. Tentu biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Selain itu, dalam membantu korban melalui proses hukum untuk menuntut hal-haknya, LPSK seringkali mengalami berbagai hambatan. Pendataan korban yang tidak efektif, anggaran yang tidak memadai, penghapusan pembiayaan pemulihan medis bagi korban KS oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), keterbatasan kewenangan lembaga, pelaksanaan restitusi, dan program pemulihan yang kurang sistematis menjadi enam masalah yang membatasi pergerakan LPSK dalam membantu korban. Dengan adanya VTF, keenam hambatan tersebut diharapkan dapat diminimalisir. Maidina Rahmawati menambahkan pentingnya VTF dengan pemaparan mengenai sulitnya menangani kasus KS. Maidina sepakat bahwa KS diakibatkan oleh relasi kuasa yang seringkali terjadi di ruang tertutup. Sehingga, tidak hanya efeknya sangat berat, penggunaan proses hukum juga masih sangat jarang. Kesepakatan yang dihasilkan dari musyawarah seringkali dijadikan jalan keluar yang diambil oleh pelaku dan diterima dengan terpaksa oleh korban. Hal ini mengakibatkan besarnya potensi berulangnya interaksi di antara korban dengan pelaku. Repetisi trauma seperti ini menghambat proses pemulihan korban yang seharusnya komprehensif dengan biaya yang tidak sedikit. Maidina tidak memperkecil potensi restitusi sebagai ganjaran yang harus dibayarkan oleh pelaku. Akan tetapi, RUU TPKS perlu menegaskan bahwa restitusi bukan hukuman melayankan pembayaran kerugian korban. Putusan pidana yang memberatkan pelaku KS tetap harus diberikan dan dijalani hingga tuntas. Bagi Maidina, selain sistem-sistem yang sudah diterapkan, VTF perlu untuk terus didorong sebagai solusi alternatif. Karena beberapa prosedur, seperti visum, masih diberatkan kepada korban. Sehingga, sebagai pendamping, LPSK sudah seharusnya mulai menerapkan VTF untuk membantu para dampingannya. Setelah pemaparan dari para pakar hukum, perwakilan dari partai politik turut menyampaikan opini mereka tentang dukungan terhadap sistem VTF. Willy Aditya dari Partai Nasdem menyatakan keinginannya untuk membentuk Reksa Dana Pasar Uang (RDPU) sebagai dukungan terhadap pengadaan VTF. Menurut Willy, RDPU tersebut bisa digabungkan di dalam kinerja LPSK. Sehingga, tidak hanya mendapatkan dana untuk pendampingan korban, tetapi kebijakan LPSK turut bertambah. Walaupun dana yang akan terkumpul belum tentu mencukupi, political will menjadi perjuangan utama yang harus dilakukan bersama-sama. Selain rencana RDPU, Willy mengusulkan agar LPSK mengadakan diskusi sebelum diadakan paripurna pada tanggal 14 Maret 2022. Diskusi tersebut dapat meningkatkan kapasitas SDM partai politik dalam memahami pendampingan korban KS. Hingga saat ini,dua rencana utama pemerintah yang sedang diperjuangkan adalah isu kawin paksa dan relasi kuasa. Karena itu, usulan mengenai penanganan korban KS, seperti pengadaan VTF, perlu disuarakan dan dipahami kembali. Usulan diskusi disetujui oleh perwakilan Partai Golkar, Christina Aryani. Christina paham betul sulitnya mendirikan lembaga baru untuk menangani VTF. Sehingga LPSK diharapkan mampu menangani pengelolaan dana tersebut dan siap menjelaskan segala prosedur pengadaan VTF dalam diskusi yang diusulkan. Beberapa sistem yang memberikan ganjaran pada pelaku mungkin sudah mulai diimplementasikan. Sayangnya masih ada kesulitan bagi pendamping dari LPSK untuk mengakses harta kekayaan pelaku sebagai ganti rugi bagi korban. Hal ini disebabkan banyaknya pihak-pihak yang tidak melaporkan kekayaan yang mereka miliki, termasuk pelaku kejahatan KS. Sehingga, pendanaan yang layak seperti VTF sangat dibutuhkan,agar korban dapat didampingi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Karena, menurut Erasmus sebagai penutup diskusi, kasus KS sudah tidak bisa dianggap sebagai perlawanan antara negara dan pelaku saja melainkan peluang untuk membela dan memperhatikan kebutuhan korban. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |