Kekerasan seksual menjadi isu krusial yang mengancam perempuan, baik di lingkungan domestik maupun publik. Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2022) menemukan adanya 4.660 lebih kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dari data tersebut, perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat perempuan mengembangkan diri justru menempati posisi puncak dengan menyumbang 27% laporan kasus. Data ini tentu saja adalah data gunung es, sebab hanya mendata penyintas yang melapor saja. Laporan WHO (2022) menyebutkan, bahwa 9 dari 10 korban kekerasan seksual tidak melapor. Hal ini mengindikasikan bahwa jika laporan WHO dipakai dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual bisa jadi sepuluh kali lipat dari laporan yang ada. Data ini juga tentu akan lebih kompleks dengan mempertimbangkan bahwa korban kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak hanya perempuan, tetapi juga dari gender lainnya. Dalam upaya untuk mewujudkan ruang aman di kampus tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI), serta berkolaborasi dengan Rahasia Gadis melangsungkan dialog interaktif dengan tajuk “Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas Kekerasan Seksual”. Diskusi ini menghadirkan secara langsung para narasumber di studio Pro 3 RRI, dengan menghadirkan audiens di Zoom Meeting dan ditayangkan secara langsung di kanal YouTube KemenPPPA RI juga berbagai saluran media Pro 3 RRI, pada Jumat (6/10/2023).
Narasumber yang dihadirkan adalah Dhika Himawan dan Adelle Odelia Tanuri selaku co-founders Rahasia Gadis; Ratna Susianawati, S.H., M.H. selaku Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; serta Antik Bintari, S.I.P, M.T. selaku dosen dan Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran. Dialog ini dipandu oleh Rudi Zein selaku presenter Pro 3 RRI. Antik Bintari, yang juga merupakan seorang Sahabat Jurnal Perempuan, membuka kegiatan dengan menjelaskan peran Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) dalam hal pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual. Antik menjelaskan, dengan adanya Satgas PPKS, kampus semakin bisa mengakomodasi keluhan dan laporan sivitas akademika terkait kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, tetap ada beberapa hambatan yang dialami, terutama terkait dengan prosedur. “Proses menangani kasus kekerasan seksual tidak semudah menangani kasus kejahatan lainnya. Kasus kekerasan seksual membutuhkan verifikasi dan konfirmasi dari semua pihak, ini menyulitkan terutama jika (pelapor dan terlapor–red) sama-sama sivitas akademika,” jelas Antik. Setelah adanya laporan, hambatan utama akan dihadapi pada aspek kehati-hatian. Satgas PPKS harus mengikuti klausul pertama pada penanganan kasus kekerasan seksual yang harus berpihak kepada korban, tetapi juga harus bersikap secara proporsional, sebab semua pihak yang terlibat harus diperlakukan dengan asas keadilan. Aspek kehati-hatian ini sangat perlu diterapkan karena biasanya, setelah adanya laporan, baik pelapor maupun terlapor akan mendapat guncangan mental. “Jika di lingkungan kampus, tidak jarang terlapor akan mendapat perundungan,” ungkap Antik. Sehingga jika kedua belah pihak membutuhkan pendampingan psikologis, maka pihak kampus harus memberikan akomodasi. Jika tidak ada aspek kehati-hatian, pihak terlapor juga bisa melaporkan balik pelapor dan pihak kampus sendiri. Namun, kesulitan utama yang sebenarnya dihadapi pada kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah bagaimana sivitas akademik tidak banyak yang berani untuk melapor jika menjadi korban kekerasan seksual. Antik berpendapat bahwa cukup sulit untuk mengubah kultur yang tidak berani menyampaikan sesuatu karena takut akan dicap sebagai aib. Dengan adanya Satgas PPKS, kultur ini berusaha diubah dengan penyediaan layanan hotline pelaporan melalui Whatsapp, email, dan bahkan pesan langsung pada aplikasi Instagram yang akan langsung direspon sehingga pelapor tidak merasa sendirian dan terabaikan. Pada akhirnya, eksistensi Satgas PPKS ini berusaha menciptakan ruang aman yang membuat kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus bisa terungkap dan terselesaikan dengan asas keadilan kepada semua pihak tanpa menciptakan masalah lain. “Kalau hanya terungkap dan tidak terselesaikan, itu juga sia-sia,” pungkas Antik. Selanjutkan, Rudi melanjutkan diskusi dengan Ratna Susiawati untuk pembahasan kedua. Pada sesi ini, yang dibahas adalah peran dua instrumen yang menjamin perlindungan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi (PPKSPT). Ratna menjelaskan bahwa UU TPKS berfungsi sebagai payung hukum yang komprehensif dan antisipatif sehingga bisa menjadi jawaban dari tuntutan pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual. “Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah memberikan yang terbaik bagi korban,” jelasnya. Langkah konkret dari KemenPPPA sendiri adalah menguatkan aspek pencegahan dengan bekerja sama dengan Satgas-Satgas PPKS yang tersebar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. “Kami menganggap bahwa sebelum terjadinya kasus-kasus ini, sebagai langkah untuk memastikan tidak terjadi adalah menguatkan pencegahan,” jelas Ratna. Aspek pencegahan ini dikuatkan melalui literasi, pemahaman dampak risiko dari tindak pidana kekerasan seksual, termasuk juga pemahaman hak-hak korban dan saksi-saksi selama proses penanganan kasus. Lebih lanjut, jika ada kasus dan dilakukan pengaduan pada layanan KemenPPPA atau lembaga pemberdayaan lainnya, maka langkah pertama yang dilakukan adalah asesmen kebutuhan korban dan pendampingan secara psikologis. “Betul sekali, karena mungkin korban mengalami depresi, trauma, hal-hal yang tidak menyenangkan, ini (pendampingan secara psikologis–red) lah yang kami lakukan,” jelas Ratna. Kemudian, Rudi melanjutkan pembahasan dengan dua co-founders Rahasia Gadis, Dhika dan Adelle. Rahasia Gadis sendiri merupakan komunitas pemberdayaan perempuan muda yang saling berempati, mempraktikkan self-love, dan mengapresiasi keberagaman. Salah satu ruang yang mereka ciptakan adalah Confession Room, merupakan tempat berbagi bagi para perempuan untuk mencurahkan cerita dan masalah mereka dalam platform online. Pada Confession Room tersebut, Rahasia Gadis menemukan berbagai masalah yang dialami oleh para perempuan muda di Indonesia, salah satunya adalah kasus kekerasan seksual. Melalui-melalui cerita tersebut, Rahasia Gadis menjadikannya sebagai edukasi dengan berkolaborasi dengan banyak pihak. Terkait dengan para korban kekerasan seksual yang lebih memilih untuk berbagi di forum online alih-alih melapor ke pihak berwajib, Adelle menyebut ada banyak faktor yang mempengaruhinya. “Dua hal pertama adalah mereka takut di-judge dan takut nggak ada solusinya,” sahutnya. Menurut Adelle, banyak perempuan yang takut tidak mendapat penanganan yang tepat dan justru akan mendapat stigma dan penghakiman dari orang lain. Selain itu, banyak perempuan juga mengalami kebingungan terkait kasus yang mereka alami, entah masuk kategori kekerasan seksual atau kekerasan lainnya sehingga edukasi memang sangat diperlukan. Mengenai hal tersebut, Adelle bersyukur dengan adanya gerakan-gerakan perempuan yang menggalakkan kesadaran tentang kekerasan seksual yang didukung dengan instrumen-instrumen hukum yang terus berpihak kepada korban. Di akhir diskusi, Adelle menjelaskan bahwa perlu sekali untuk mendengarkan tanpa judgement, dan membantu korban-korban kekerasan seksual dengan memberikan ruang aman. Namun, meskipun gerakan-gerakan sudah ada baik dari pihak internal dan eksternal yang bekerja dalam bagian penanganan kasus kekerasan seksual dalam kampus, Antik menjelaskan bahwa ada beberapa tantangan yang masih dihadapi. “Kami dibatasi oleh klausul sivitas akademika,” ungkapnya. Klausul ini membatasi penanganan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada pihak eksternal kampus, seperti Rahasia Gadis, sehingga diperlukan adanya kolaborasi. Kolaborasi ini menghasilkan ruang-ruang diskusi baik online ataupun offline di ruang intelektual sehingga kesadaran terkait kekerasan seksual semakin tinggi yang akan menciptakan kondisi ruang intelektual yang lebih inklusif dan aman bagi perempuan. “Kata kunci dari keberhasilan untuk memberantas tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah melalui sinergi dan kolaborasi multipihak. Semua komponen bergerak sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing,” tambah Ratna. Pada akhir kegiatan diskusi, masing-masing narasumber mengemukakan harapannya, terutama yang berkaitan dengan terwujudnya ruang aman bagi perempuan dari kekerasan seksual. “Mari kita bersama ciptakan kampus yang inklusi dan aman, bukan hanya dari kekerasan seksual, tetapi juga kekerasan secara umum dan perundungan,” tutup Antik. (Dian Agustini) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |