Jakarta (26/7), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengadakan diskusi yang mengangkat tema “Bentuk Tanggung Jawab Negara terhadap Perlindungan Perempuan dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri telah masuk Prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Di tahun 2020, RUU PKS ini juga masuk dalam agenda Prolegnas periode ini. Diskusi ini adalah sebuah respons atas kebutuhan akan hadirnya regulasi hukum yang responsif terhadap persoalan isu kekerasan seksual, khsususnya bagi perempuan. Diharapkan agar pembahasan dan pengesahan RUU PKS dapat segera terlaksana. Dalam pidato kuncinya, Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA, per awal Januari 2020 hingga 19 Juni 2020 terdapat 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan maupun laki-laki. Sejalan dengan data SIMFONI PPA, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 memperlihatkan tingginya jumlah KS yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Menteri PPPA menyatakan keprihatinannya, sebab tingginya angka tersebut adalah fenomena gunung es, artinya angka actual kekerasan seksual terhadap perempuan dapat jauh lebih besar daripada yang terlaporkan. Menteri PPPA menyatakan bahwa korban Kekerasan Seksual (KS) masih sering mendapatkan stigma dan perlakuan tidak adil dari masyarakat sehingga banyak di antara mereka enggan melaporkan dan/atau menyelesaikan persoalannya tanpa melalui jalur hukum. Padahal dampak KS terhadap perempuan amatlah kompleks sehingga membutuhkan penanganan dan respons yang serius. “Kekerasan Seksual memiliki karakteristik dan kekhususan secara normatif sehingga tidak dapat disamakan dengan tindak pidana lainnya. Tidak hanya itu dari sisi penegakan hukum, perlu adanya mekanisme pendampingan khusus bagi korban KS mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, persidangan hingga pasca-persidangan agar tidak menimbulkan trauma bagi korban,” tutur I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Berdasarkan fakta dan data tersebut, menurut Menteri PPPA penting agar ada optimalisasi pencegahan dan penanganan terhadap KS perlu dilakukan. Ia menegaskan bahwa penting adanya sistem yang menjamin hak korban, mengedepankan kebenaran, keadilan dan pemulihan serta mencegah keberulangan kasus. Dalam pidato kuncinya, Menteri PPPA menyatakan komitmennya pada segala bentuk pencegahan dan penangan KS terhadap perempuan dan anak. Diksusi tersebut menghadirkan empat pembicara yaitu; Vennetia R Danes (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA), Taufik Basari (Anggota DPR RI Fraksi Nasdem), Valentina Sagala (Founder Institut Perempuan) dan Wiendy Hapsari (Kepala Litbang SINDO Media Moderator: Rizka Antika (INFID). Vennetia Danes menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan terobosan hukum dalam mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban. Menurut dia, hukum acara pidana yang ada saat ini hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP masih terbatas. Sehingga banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum. “Konstruksi sosial masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan sering kali tidak didengar yang berimplikasi bagi perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi masyarakat,” tutur Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA. Vennetia menyatakan bahwa kekerasan seksual yang selalu dikaitkan dengan wacana moralitas menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka persoalan ini, karena dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Oleh sebab itu, perlu adanya pembaruan hukum. Vennetia menambahkan bahwa diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan. Taufik Basari, anggota DPR RI Fraksi Nasdem juga menyampaikan bahwa RUU PKS merupakan produk hukum yang sangat dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual. Sayangnya, pengusulan RUU ini memang menghadapi banyak tantangan. Pasalnya tidak banyak partai yang mau mengusung RUU PKS saat ini. Taufik menungungkapkan bahwa pada periode sebelumnya, RUU PKS menjadi komoditias politik sehingga ia tergeser dan gagal diundangkan pada periode tersebut. Pada periode ini ia mendorong agar RUU ini menjadi inisiatif dari DPR dan menjadikan RUU ini sebagai isu Prolegnas prioritas. Saat ini, Menurut Taufik, RUU P-KS masih menggantung, karena Komisi VIII yang semula menjadikan RUU P-KS sebagai usulan komisi, menyatakan keberatan. Ia menyatakan harapannya agar pembahasan RUU ini dapat dilakukan di Baleg atau di PANSUS, karena menurutnya RUU ini merupakan lintas isu yang berbicara tentang perempuan, hukum dan kesehatan. Dalam kesempatan tersebut, Valentina Sagala, Pendiri Institut Perempuan memberikan refleksi dan menyoroti tantangan proses pembahasan RUU PKS. Valentina menyampaikan, bahwa tahun lalu sempat terjadi kompleksitas isu pada substansi RUU PKS, dimana ada beberapa terminologi yang sengaja dipolitisir oleh pihak kontra. Menurut Valentina, pada substansi RUU PKS seringkali isu gender dikaitkan dengan muatan luar negeri yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Padahal sejak 24 Juli 1984, Indonesia telah mengadopsi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW. Valentina juga menjelaskan, bahwa kehadiran negara dalam pencegahan kekerasan seksual terlihat melalui pasal-pasal pemidanaan yang terdapat dalam RUU PKS. Sebagai penutup Valentina menegaskan, bahwa tantangan untuk pengesahan RUU PKS juga datang dari kasus-kasus kekerasan seksual yang berasal dari adat budaya masyarakat serta kasus online. Pembicara terakhir pada diskusi ini adalah Wiendy Hapsari, Kepala Litbang SINDO Media. Wiendy menyampaikan bahwa media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat lewat informasi dan edukasi. Menurut Wiendy, Media juga dapat berperan dalam pencegahan kekerasan seksual dengan memberikan porsi besar bagi pemberitaan yang mengangkat tentang isu pencegahan kekerasan seksual. Diskusi ini dengan demikian mendorong untuk segera diundangkannya RUU PKS sebagai wujud tanggung jawab negara terhadap Perlindungan Perempuan. RUU ini menjadi amat penting sebab diharapkan mampu melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |