Jakarta (24/4) bertempat di Hotel Crowne Plaza Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Peran Kelembagaan Formal dan Nonformal dalam Pencegahan Kawin Anak. Acara ini berupaya untuk menyuarakan pencegahan kawin anak melalui beberapa strategi seperti mengedepankan perspektif orang tua dan remaja, juga menyatukan pemikiran dan ide dari sektor formal dan nonformal. Acara ini bukan hanya menggambarkan persoalan kawin anak secara umum, tetapi juga menjelaskan temuan-temuan dari penelitian tentang fakta kawin anak pada wilayah pedesaan. Menurut salah satu panelis, Dina Nurdinawati, dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA IPB) sekaligus konsultan Rumah KitaB dan UNICEF, penelitian yang ia lakukan berguna untuk melihat penerimaan suatu wilayah atas isu kawin anak. Menurut Dina, kawin anak dipengaruhi oleh faktor struktural dan kultural. Hanya saja Probolinggo dan Sumenep memiliki teorema yang berbeda pada hasil penelitian yang ia lakukan. Pada Probolinggo kawin anak sering terjadi antara laki-laki dewasa dengan perempuan anak, dari sini dapat terlihat bahwa yang sering menjadi penyebab kawin anak di Probolinggo adalah faktor ekonomi. Berbeda dengan Probolinggo, kawin anak yang terjadi di Sumenep dilakukan antara laki-laki anak dengan perempuan anak, pada hal ini dapat terlihat faktor kultural memengaruhi seorang anak dinikahkan dengan alasan agama misalnya. Sementara itu, Abu Jahid, Staf Ahli Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) menjelaskan bahwa kawin anak merupakan masalah yang terjadi akibat dari masalah lain seperti ekonomi, pendidikan dan juga ketidakpahaman masyarakat dalam memahami langkah administrasi. Jahid menyatakan bahwa banyak pasangan di daerah tertentu yang tidak mendaftarkan pernikahannya di pengadilan agama, sehingga saat pasangan tersebut memiliki anak akan berdampak pada akta kelahiran anak yang tidak dapat diurus. Dengan begitu terjadilah penuaan usia seorang anak yang kemudian dianggap telah cukup umur untuk menikah, padahal statusnya masih anak-anak. Bagi Jahid penting untuk melihat masalah kawin anak dari berbagai perspektif, karena kawin anak terjadi akibat adanya penumpukan masalah dari sektor lainnya. Sementara Maria Ulfah Anshor, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menjelaskan bahwa KUPI memiliki strategi yang berbeda dalam menyelesaikan masalah kawin anak. Berlandaskan pada pemahaman hak asasi manusia juga kesetaraan gender, KUPI terus memproduksi ulama perempuan yang kuat dalam mempromosikan kesetaraan gender. Promosi ulama perempuan dalam majelis taklim perlu diisi dengan pembicaraan perempuan dalam Islam yang berdaya bukan hanya sekadar pernikahan semata. Sering ditemukan bahwa pernikahan dilakukan ketika seseorang dianggap mampu, tetapi mampu dimaknai sebatas berhubungan seksual dan balig. Seharusnya mampu juga dimaknai sebagai mampu secara ekonomi, fisik, psikis dan emosional. Di sisi lain, Lia Anggiasih, Koalisi Perempuan Indonesia, memiliki upaya yang berbeda dalam menyelesaikan persoalan kawin anak. Baginya advokasi kebijakan penting untuk upaya pencegahan perkawinan anak. Akan tetapi, pernah ada penolakan dari mahkamah konstitusi untuk menaikkan batas usia perkawinan. “Mahkamah Konstitusi menolak pencegahan kawin anak dengan argumen dorongan berahi anak dapat disalurkan dengan menikah,” tutur Lia. Ia menambahkan perlu ada upaya advokasi kebijakan agar persoalan kawin anak dapat terselesaikan dengan cepat. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |