Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berdiri tanggal 15 Oktober 1998. Setelah seperempat abad perjuangan dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, di tahun 2023 ini Komnas Perempuan merayakan ulang tahun ke-25 dengan tema “Satu Suara, Wujudkan Cita-Cita”. Perayaan ini diisi oleh pameran, seminar, serta konsultasi publik yang dilaksanakan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada 13-15 November 2023 lalu. Pada gelaran seminar internasional yang juga menjadi pembuka perayaan ini, Andy Yentriyani selaku Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan terima kasihnya kepada seluruh rakyat Indonesia yang sudah membersamai perjuangan Komnas Perempuan. Meskipun perjuangan sudah dilakukan sangat lama, tapi kasus kekerasan terhadap perempuan tetap datang dengan bertubi-tubi. Diharapkan, adanya diskusi dan pendidikan publik dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman tersebut.
Menyambung pembuka dari Andy, sesi dilanjutkan dengan paparan materi dari narasumber seminar, yaitu Eunice Borges (Director of Programming, Association for Women's Rights in Development—AWID), Misun Woo (Regional Coordinator, Asia Pacific Forum on Women, Law and Development—APWLD), Sylvia Tiwon (Akademisi dari University of Berkeley), serta Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan). Eunice Borges berkesempatan mempresentasikan perjuangan komite perempuan nasional di Brazil, yang sedikit banyak memiliki kesamaan hambatan dengan Komnas Perempuan. Eunice menyampaikan, salah satunya adalah gerakan anti perempuan. Gerakan ini regresif terhadap advokasi hak-hak perempuan, utamanya pada hak atas tubuh. Solidaritas feminis akar rumput akan sangat berguna sebagai gerakan resistensi atas paham-paham anti perempuan. Dalam masyarakat yang sudah masuk dalam jejaring global, gerakan-gerakan anti perempuan dan anti HAM semakin terstruktur secara internasional. Disampaikan oleh Misun Woo, bahwa kerangka dari sistem penindasan terhadap perempuan adalah berakar dari kolonialisme, kapitalisme global, dan eksploitasi. Kondisi ini memperkuat patriarki, mendorong perempuan keluar dari ruang publik, sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang rentan secara terus-menerus. Semua negara tidak terlepas dari struktur penindasan tersebut. Di beberapa negara, adanya militerisme menambah pekat jaringan penindasan terhadap perempuan. Hasilnya, subordinasi perempuan terus terjadi. Kebijakan ekonomi yang tidak ideal dalam mendorong pemerataan gender, seperti tidak adanya kebijakan redistribusi kerja perawatan, makin menyudutkan posisi perempuan. Indonesia tidak terlepas dari hal ini. Jalan keluarnya, ujar Misun, adalah memperkuat solidaritas feminis terutama di kawasan Selatan atau Asia Pasifik—yang masih menghadapi tantangan ini secara masif. Di luar sistem ekonomi yang mengekslusikan perempuan, ketidakadilan budaya juga menjadi tantangan dalam mencapai keadilan gender. Disampaikan oleh Sylvia Tiwon, kebijakan pembangunan bangsa yang berfokus pada investasi asing turut merombak struktur masyarakat Indonesia. Budaya yang ada dikomersialisasikan, sehingga hanya tari-tarian atau pakaian adatlah yang dianggap sebagai budaya. Bukan pola pikir atau pola bermasyarakat. “Komersialisasi budaya dan cara melihat budaya sekarang itu sudah merupakan pemiskinan pada proses budaya,” ujarnya. Kemiskinan budaya berimbas pada ketidakadilan budaya. Hasilnya, kebudayaan jarang dijadikan perangkat dalam menganalisis kerentanan perempuan. Kerentanan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang sudah ada, bukan sebagai masalah sosial yang perlu diselesaikan. Masalah-masalah terkait hak perempuan di Indonesia sangat beragam. Di antaranya ada kriminalisasi korban, peraturan dan kebijakan yang diskriminatif atas tubuh perempuan, trafficking, hingga ketidakadilan di tempat kerja, ujar Theresia Sri Endras Iswarini. Sebenarnya, isu kekerasan terhadap perempuan sudah ditempatkan di pusat agenda Reformasi. Namun dalam pelaksanaannya belum maksimal. “Terdapat banyak konteks yang harus diperkuat (perlindungan perempuan—red), karena dia memengaruhi kebijakan dan juga program,” ujar Theresia. Oleh karena itu, penguatan terhadap payung hukum perlindungan perempuan sangat penting. Meskipun hal tersebut saja tidak cukup untuk memulihkan kondisi ketidakadilan gender sekarang ini. Dibutuhkan pula perspektif yang interseksional dalam upaya ini. Kini, pembuat kebijakan di Indonesia masih kurang melibatkan perspektif minoritas, marginal, dan disabilitas dalam penyusunan undang-undang. Komnas Perempuan adalah buah perjuangan reformasi yang sangat berharga bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya. Ulang tahun ke-25 ini hendaknya dapat memperkuat posisi dan kerja-kerja Komnas Perempuan, bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil serta pembela HAM lain, dalam mengupayakan keadilan gender di Indonesia. Selamat ulang tahun, Komnas Perempuan! (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |