Minggu (14/08/2022), patjarmerah, komunitas yang melabeli diri sebagai “festival kecil literasi dan pasar buku keliling Nusantara”, mengadakan sebuah diskusi #obrolanpatjar bertajuk “Membicarakan Tubuhku, Menyoroti Keberdayaan Perempuan”. Acara tersebut bertujuan untuk membahas isu ketubuhan yang diangkat oleh Emily Ratajkowski dalam karyanya Tubuhku. Sebagai seorang model, Emily mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Tanpa seizinnya, acap kali tubuhnya dieksploitasi oleh pihak-pihak yang berada di sekelilingnya. Melalui Tubuhku, Emily berharap untuk memberikan perlawanan dan menghentikan eksploitasi dan kekerasan seksual yang dialami olehnya dan model-model lainnya. Buku yang diterbitkan oleh Shira Media tersebut dibedah oleh dua orang pembicara pada acara #obrolan patjar; Tunggal Pawestri (aktivis dan konsultan gender) dan Kalis Mardiasih (penulis dan pemerhati isu perempuan). Diskusi dimoderatori oleh Pradewi Tri Chatami (Marjin Kiri) dan dibawakan oleh Hutomo Yoga (patjarmerah).
Sebelum acara dimulai, Yoga sebagai pembawa acara mengantarakan audiens dengan mengingatkan pentingnya isu ketubuhan perempuan untuk dibahas demi tujuan yang baik. Tubuhku, yang diadaptasi dari My Body, merupakan curahan dan keluhan Emily Ratajkowski, tentang objektivikasi tubuh yang dia alami selama menjadi model di Amerika Serikat. Pradewi Tri Chatami memantik pengantar dari Yoga dengan mempertegas konsep konsensual ketubuhan yang juga diangkat pada Tubuhku. Tunggal Pawestri, sebagai pembicara pertama, menyampaikan opininya yang sedikit berharap Tubuhku membahas lebih banyak isu-isu ketubuhan perempuan. Emily Ratajkowski dengan baik menuliskan kisah masa kecil dan keluarga yang telah membentuk diri serta sikapnya dalam menghadapi masalah eksploitasi ketubuhannya sebagai seorang model. Hal yang kurang, menurut Tunggal, adalah paparan edukasi dan latar belakang yang dimiliki Emily. Pemahaman pembaca akan budaya di Amerika Serikat butuh diperkaya. Sedangkan plot yang dituangkan Emily pada bukunya belum membahas latar belakangnya secara penuh. Tunggal juga kehilangan informasi dari mana penulis mendapatkan pendidikan seksual yang mempengaruhinya dalam menghadapi masalah eksploitasi tubuh selama bekerja sebagai model. Hal lain yang ditekankan oleh Tunggal adalah betapa berprivilesenya Emily. Sebagai anggota dari keluarga kaya dan model, pembaca tidak mampu dengan mudah memahami pengalaman Emily, terutama ketika dia memodifikasi tubuhnya sendiri. Emily dianalogikan oleh Tunggal sebagai “seorang pengusaha kaya yang mengeksploitasi alam demi bisnisnya namun mengeluh karena dipaksa membayar pajak yang tinggi, namun tetap melakukan kegiatan usahanya”; dia paham betul bahwa model perempuan rentan eksploitasi sistem kapitalisme, tetapi tetap mempertahankan pekerjaannya. Hal ini membuat penderitaan Emily tidak mampu mewakili masalah perempuan-perempuan lain secara menyeluruh. Walaupun kontribusi penulis dianggap Tunggal kurang inklusif, upayanya dalam menulis pengalaman ketubuhan ke dalam sebuah buku patut diacungi jempol. Kontribusi Emily dapat ditingkatkan jika dia mampu menjadikan tulisannya sebagai dasar sebuah pergerakan seperti #MeToo movement yang dilakukan oleh aktris-aktris Hollywood. Sayangnya, Emily belum sevokal itu dalam menyuarakan kekerasan yang dialaminya. Opini Tunggal diamini oleh Kalis Mardiasih, pembicara kedua. Kalis merasa pengalamannya dengan Emily sangat berjarak. Hal tersebut diakibatkan latar belakang sosial dan ekonomi Kalis dengan penulis yang tentu sangat berbeda. Jarak tersebut diperlebar oleh pengalaman Kalis yang cenderung mempelajari figur-figur perempuan Timur Tengah dengan perjuangan yang sangat berbeda dari perempuan Barat. Ia juga mengakui bahwa ketika membaca Tubuhku, sudut pandang penulis kurang jelas; Emily Ratajkowski tidak menuliskan jawaban serta standpoint dari masalah ketubuhan yang dialaminya. Selain itu, dalam pandangan Kalis, Emily tidak mempertegas diri sebagai feminis di dalam karyanya. Upaya penulis dalam menceritakan kekerasan yang dialaminya seharusnya mampu membongkar konsep body and mind yang selalu diunggulkan oleh para pemikir pria. Akan tetapi, dengan gaya penulisan Emily, beautiful body yang dimiliki oleh perempuan seolah-olah masih berjarak dengan mind-nya. Kalis mengacungkan jempol untuk upaya bernalar yang dilakukan Emily. Sayangnya sebagai seorang model, Emily masih terjebak di dalam industri tempatnya bekerja tersebut. Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dimulai dengan pertanyaan dari Pradewi sebagai moderator. Pendidikan seks yang dipertanyakan oleh Tunggal dalam buku Emily mengantar pertanyaan tentang sulitnya menerapkan pendidikan seks di Indonesia. Keresahan Pradewi direspons oleh Tunggal dengan mengamini maraknya penolakan pendidikan seks akibat kesahapahaman mengenai tujuan edukasi. Masih banyak orang tua yang mengkhawatirkan pendidikan seks akan mengajarkan generasi muda melakukan seks di luar pernikahan. Sedangkan menurut Tunggal, yang perlu disosialisasikan adalah edukasi kesehatan reproduksi sebagai agenda utama pendidikan seks. Hambatan lainnya adalah label tabu setiap ditemukan gambar-gambar alat reproduksi di dalam buku-buku pelajaran. Pertentangan yang didasari oleh agama juga seringkali ditemui pada setiap sosialisasi pendidikan seks. Sebagai solusi, menurut Tunggal mereka yang religius seharusnya mampu memilih untuk belajar dari para pemuka agama yang progresif dalam mensosialisasikan edukasi reproduksi dan seksualitas. Keresahan yang sama ditimpali oleh Kalis dengan kesimpulan bahwa banyak orang tua yang seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan tidak percaya diri akan wawasan mereka sendiri dalam mendidik anak-anak. Apabila orang tua menginginkan anak-anak mereka untuk berpegang pada nilai-nilai agama sebagai alasan menjauhi hubungan seks di luar pernikahan, maka seharusnya mereka percaya diri bahwa landasan tersebut cukup kuat dalam menjaga generasi muda. Sehingga, wawasan ilmu pengetahuan, seperti kesehatan reproduksi dan seksualitas, hanya menjadi tambahan pengetahuan yang tidak menggoyahkan prinsip mereka. Tidak hanya orang tua, negara juga menunjukkan sikap tidak percaya bahwa generasi muda mampu mengambil keputusan sendiri di dalam pemahaman mereka mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas. Sayangnya, menurut Kalis, dengan tidak adanya pendidikan seks, maka negara sudah berbuat zalim dan dosa karena tidak memberikan ilmu kepada warganya. Hal kedua yang memantik diskusi adalah pemahaman Emily Ratajkowski mengenai seksualitas yang ternyata tidak seprogresif pendidikan serta kelas sosial keluarganya. Kalis kemudian merespons dengan adanya mental pembaca yang berharap bahwa mereka yang berasal dari negara maju berarti memiliki pola pikir yang juga maju. Padahal di negara asal Emily, Amerika Serikat, masih ada warganya yang tidak berpendidikan sehingga menimbulkan isu-isu yang tidak terlalu berbeda dari masalah di negara berkembang seperti Indonesia. Tunggal menambahkan dengan adanya kemungkinan trauma yang dialami Emily dalam pengalaman seksualitasnya. Kesadarannya akan inbalance power antara laki-laki dan perempuan menyebabkan trauma yang kemudian dikeluhkan di dalam Tubuhku. Menurut Tunggal, buku tersebut cukup baik dan tepat untuk pembaca yang memiliki pengalaman yang dekat dengan Emily, misalnya sepertimodel. Harapannya akan lebih banyak pihak-pihak yang berkenan untuk menguak eksploitasi ketubuhan hingga kekerasan seksual yang dialami oleh model-model perempuan lainnya. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |