Minggu, 23 Februari 2020, Yayasan Jurnal Perempuan dan Yayasan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan diskusi “Perempuan dan Keadilan di Indonesia” di kediaman Melli Darsa, Jakarta Selatan. Diskusi ini menghadirkan Bivitri Susanti (Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Said Zaidansyah (Deputy Country Director Asian Development Bank-Indonesia Resident Mission), Gandjar Laksmana (Dosen FH UI), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), dan Rocky Gerung (Pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme) sebagai pembicara. Diskusi yang dipandu oleh Melli Darsa selaku tuan rumah ini dihadiri oleh Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dan alumni FH UI. Melli Darsa yang adalah seorang advokat, dalam sambutannya menjelaskan bahwa masih banyak masalah yang dialami perempuan advokat. Ia menyebutkan bahwa representasi perempuan di bidang hukum baik sebagai akademisi maupun advokat profesional masih rendah. Kemudian, berdasarkan pengalamannya ia mengungkapkan bahwa masih ada kesenjangan upah dan karier antara perempuan dan laki-laki. “Mungkin sudah banyak perempuan yang bekerja di berbagai sektor, tapi coba kalau kita lihat lagi hanya sedikit perempuan yang ada di top level,” ungkap pendiri kantor firma hukum Melli Darsa & Co tersebut. Sejalan dengan Melli, salah satu alumni Fakultas Hukum UI, Said Zaidansyah dalam paparannya ia menyebutkan fakta-fakta seputar tingkat partisipasi perempuan di berbagai sektor. Deputy Country Director Asian Development Bank-Indonesia Resident Mission ini menyebutkan bahwa perempuan merupakan setengah dari populasi penduduk dunia tetapi kondisinya masih tertinggal, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam paparannya, ia menyebutkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah yakni 54.3% dibandingkan laki-laki yakni 83.9%. “Di Indonesia belum ada kebijakan yang eksplisit mengatur tentang equal pay for work. Negara-negara di ASEAN seperti Kamboja, Filipina, dan Vietnam telah menerapkan kebijakan equal pay untuk laki-laki dan perempuan,” jelasnya. Ia melanjutkan bahwa, berdasarkan indeks Gender Empowerment Measure (GEM), ketimpangan gender di Provinsi Papua Barat masih sangat tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Lebih jauh, Said menjelaskan tentang kebijakan progender yang dimiliki Asian Development Bank (ADB), salah satunya yakni adanya policy on gender and development sejak tahun 1998 dan telah diintegrasikan di dalam projek-projek ADB. “Di dalam organisasi ADB kita berusaha mendorong partisipasi dan karier perempuan di top level,” tuturnya. Kemudian, Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) menjelaskan bahwa bahwa di dunia internasional, kesetaraan gender dan inklusivitas telah menjadi norma dan kebijakan. Atnike melanjutkan bahwa di Indonesia jejak kesetaraan dan keadilan gender telah ada setidaknya sejak tahun 1908 ketika organisasi Budi Utomo didirikan, yang mana bersamaan dengan itu organisasi perempuan juga tumbuh. “Ide-ide tentang kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan terus tumbuh dan mewarnai gerakan pemuda 1928, gerakan kemerdekaan, bahkan hingga perlawanan di era orde baru,” jelas Atnike. Atnike melanjutkan bahwa setelah 21 tahun reformasi, gerakan perempuan sudah berhasil membuat kebaruan dalam norma-norma hukum. Pertama, UU Pemilu yang mengatur tentang kuota 30% caleg perempuan. Kedua, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berhasil melindungi perempuan dari kekerasan yang terjadi di ruang privat yakni rumah. “Dalam budaya kita penghapusan kekerasan itu bukan urusan publik. Kalau perempuan dipukuli bukan urusan tetangga, bukan urusan negara. Kedua UU adalah sebuah lompatan dalam hukum. Kuota 30% dalam UU Pemilu bukan hanya mendorong partisipasi tapi juga agenda politik yang lebih luas yang tujuannya keadilan gender,” jelas Atnike. Berangkat dari refleksi keberhasilan gerakan perempuan itu, Atnike juga menyangkan banyaknya kebijakan diskriminatif yang muncul baik di level nasional maupun daerah, salah satunya adalah munculnya RUU Ketahanan Keluarga. “Mereka yang mengusung RUU Ketahanan Keluarga tidak melihat perempuan sebagai orang yang memiliki subjektivitas. Adanya RUU Ketahanan Keluarga ini mengingkari apa-apa yg diperjuangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah didesakkan sejak 5 tahun lalu namun belum juga dibahas,” jelas Atnike. Lebih jauh, dalam tataran praktis, Atnike melihat bahwa ada upaya-upaya untuk mendelegitimasi gerakan perempuan melalui propaganda di media sosial. “Misalnya ada akun Indonesia Tanpa Feminis, Indonesia Tanpa Pacaran. Bukan tidak mungkin nanti ada akun Indonesia Tanpa Perempuan. Budaya semacam itu berusaha ditumbuhkan di Indonesia,” ungkap Atnike. Menurutnya, bahwa gerakan perempuan hari ini sedang mengalami tantangan serius di level kebijakan dan hukum yang berangkat dari akar budaya patriarki di dalam masyarakat. Selanjutnya, Bivitri Susanti bahwa keadilan dalam hukum bukan hanya diukur atau dilihat dari putusan pengadilan saja tetapi juga proses pembuatan hukum itu sendiri, yakni prosedur hukum dan perspektif gender pada pembuat hukum. “Dalam belajar hukum itu, justru orang-orang hukum perlu dibekali pemikiran bahwa peran hukum dalam mengatur. Hukum bisa mengubah perilaku, tetapi bukan satu-satunya cara atau jalan keluar untuk mengubah masyarakat,” jelas Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pemahaman gender pembuat hukum adalah hal yang sangat penting, sebab jika pembuat hukum bias gender maka hukum yang dihasilkan akan merugikan perempuan. Salah satu pembuat kebijakan yang dikritisi oleh Bivitri adalah DPR. Ia menyebutkan bahwa ada kenaikan keterwakilan perempuan di DPR RI pada pemilu 2019. Namun, ia juga mencatat bahwa banyak dari anggota DPR tidak memiliki perspektif adil gender sehingga kebijakan yang muncul merugikan perempuan seperti RUU Ketahanan Keluarga. Meski demikian, Bivitri mencatat bahwa ada dua kemungkinan di balik muncul RUU Ketahanan Keluarga, yakni kurangnya pemahaman gender dan adanya agenda-agenda politik yang sifatnya ideologis berbasis agama. Selain RUU Ketahanan Keluarga, Bivitri mencatat bahwa ada RUU lain yang sama berbahayanya masuk Prolegnas 2020-2024 yakni RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, RUU Kependudukan dan Keluarga Nasional, dan RUU Minuman Beralkohol. Menurut Bivitri, masih banyak orang yang beranggapan bahwa hukum bisa menyelesaikan masalah sosial di bumi. Menurutnya, tidak semua norma di dalam masyarakat harus menjadi norma hukum. “Dalam budaya patriarki, ketika ada masalah sosial, maka yang menanggung beban kesalahan itu adalah perempuan,” jelas Bivitri. Gandjar Laksmana, melanjutkan bahwa isu keadilan merupakan isu yang sangat tua, yakni sama tuanya dengan peradaban manusia—yang sampai saat ini belum juga sampai pada kesimpulan. Dalam konteks hukum pidana, Gandjar menjelaskan bahwa keadilan itu sendiri sulit tercapai. Ia mencontohkan bahwa banyak UU yang tuntutan pidananya tinggi, namun di sisi lain unsur tindak kriminalnya tidak ditemukan. “Hukum pidana hari ini kerap digunakan sebagai alat untuk menakuti publik,” tegas Gandjar. Rocky Gerung dalam acara ini menjelaskan bahwa salah satu problem peradaban adalah menganggap perempuan separuh manusia. Anggapan ini kemudian berevolusi menjadi cara pandang yang melihat bahwa sumber segala kejahatan adalah perempuan. “Peradaban membuat perempuan sebagai akar dari segala kejahatan, maka perempuan perlu diatur, maka ada RUU Ketahuan Keluarga, supaya perempuan dan keluarga tidak menjadi jahat. Bahkan hukum pidana mengatur sampai rahim perempuan,” jelas Rocky. Rocky menjelaskan bahwa hukum dalam sejarahnya hanya mengakui pengalaman laki-laki di ruang publik. “Sehingga tidak heran bila subjek hukum adalah laki-laki, heteroseksual, dan dewasa. Karena hanya laki-laki yang hanya bisa bersaksi tentang kejahatan,” pungkasnya. Rocky mencontohkan salah satu ketidakadilan yang kasat mata yakni akses dan kontrol perempuan terhadap aset. Ia menyebutkan sebesar 85% dari produk pertanian Afrika dihasilkan dari tangan perempuan, namun hak properti perempuan hanya 15%. “Peradaban kita dikuasai oleh cara pandang laki-laki bukan pada laki-laki. Jadi cara pandang itu ada di kepala perempuan juga,” jelas Rocky. Permainan patriarki dalam kebudayaan menurutnya telah masuk sampai ke wilayah agama, hukum, dan kebijakan. Menurutnya, bukan agama yang mengekploitasi perempuan, tetapi patriarki yang menggunakan agama untuk mengeksploitasi perempuan. Sebagai penutup, Melli Darsa sebagai moderator mengajak untuk melakukan perlawanan dan membuat perubahan atas ketidakadilan gender melalui kolaborasi lintas sektor. Sebab, menurutnya persoalan ketidakadilan ini adalah persoalan yang dialami hamper di semua lini kehidupan, budaya, politik, hukum, pendidikan. Melli Darsa dalam penutupnya mengucapkan terima kasih kepada para pihak, Sahabat Jurnal Perempuan (SJP), dan Alumni Fakultas Hukum UI, yang hadir dalam diskusi dan masih berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |