Suara-Suara yang Dibungkam: Menyibak RUU Penyiaran dan Ancamannya Bagi Pers dan Kelompok Rentan30/5/2024
Jakarta Feminist, sebuah komunitas feminis berbasis wilayah Jabodetabek yang bergerak dalam mempromosikan nilai-nilai keadilan gender, menginisiasi sesi live Instagram pada Senin (27/5/2024). Kegiatan yang juga diselenggarakan secara offline melalui undangan tersebut berupaya menyibak isu yang sedang hangat di Indonesia, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Dengan mengadopsi perspektif gender dalam diskusinya, Jakarta Feminist mengundang Echa Wao’de (Arus Pelangi), Ian Hugen (Content Creator), Bhenageerushtia (Remotivi), dan Eni Puji Utami (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual—KOMPAKS) guna menyelidiki pengaruh penciptaan regulasi baru ini oleh lembaga legislatif dalam membatasi masyarakat sipil untuk mengaktualisasikan diri mereka sebagai manusia yang utuh dan memiliki hak-hak dasar kemanusiaan. RUU Penyiaran merupakan produk hukum yang awalnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan perkembangan ranah digital di Indonesia. Diberlakukan sejak tahun 2002 melalui UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, regulasi baru yang rencananya dirampungkan tahun 2024 ini dianggap akan memutakhirkan dan memperkuat pedoman-pedoman sebelumnya mengenai penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Perkembangan ranah digital dan teknologi pada konteks terkini menjadi legitimasi dalam mengkonstruksi regulasi terbaru ini. Peralihan dari media konvensional seperti televisi analog ke media digital menjadi kekhususan yang dianggap mendorong terciptanya RUU ini. Kendati demikian, perspektif yang digunakan oleh lembaga legislatif dalam merumuskan norma-norma pada RUU tersebut membuat masyarakat sipil mempertanyakan keberpihakan pemerintah—antara perusahaan penyiaran atau rakyat.
Realitanya, RUU Penyiaran yang sedang dirumuskan saat ini mengadopsi nilai-nilai patriarkis yang sarat akan diskriminasi. Echa Wao’de (Arus Pelangi) menyatakan bahwa pengusul yang didominasi oleh laki-laki membuat hasil dari kebijakan ini menjadi insensitif gender. Dirinya mengemukakan contoh dari salah satu pasal di RUU Penyiaran, yakni pasal 28 ayat 1 yang melarang penayangan substansi siaran dengan menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender. Eksistensi dari pasal yang diskriminatif terhadap minoritas seksual sebagai kelompok rentan dalam konteks ini dapat mengabadikan stereotipe negatif pada pandangan masyarakat. Regulasi baru yang akan dirilis ini dapat memperketat reproduksi pandangan-pandangan yang membatasi ruang gerak kelompok minoritas seksual. Disamping itu, bagi Echa, pasal yang dirumuskan tersebut juga sangat kontradiktif dengan deklarasi HAM yang selama ini menjadi pedoman kehidupan warga negara. Bhenageerushtia (Remotivi) melalui sisi lainnya memandang draft RUU Penyiaran layaknya cerminan bagaimana suatu regulasi yang dirumuskan oleh lembaga legislatif bukan hanya tidak senapas dengan tujuan awalnya, tetapi juga regulasi terdahulu yang telah diterapkan. Tujuan dari terciptanya RUU ini sendiri ialah memperbarui regulasi lama yang sudah tidak relevan. Namun, dalam realitanya ia justru mengatur hal-hal privat yang seharusnya tidak menjadi urusan negara. Disamping itu, eksistensi pasal 50B ayat 2 yang melarang penayangan substansi siaran dengan muatan pencemaran nama baik, sarat akan interpretasi ganda. Terminologi ‘Pencemaran Nama Baik’ pada konteks ini sangat kontekstual, artinya tidak ada pakem khusus yang mampu mendefinisikan dan membatasinya secara tegas. Berkaca melalui implementasi Undang-Undang ITE, pasal-pasal karet semacam ini dapat menjadi jeratan bagi masyarakat sipil yang vokal menyuarakan kritikannya pada pemerintah. Ian Hugen sebagai pekerja kreatif dalam ranah digital turut vokal menyampaikan pandangannya terkait isu ini. Selain melihat bahwa creator yang transgender akan mendapatkan implikasi berlapis karena tidak berekspresi sesuai norma heteronormatif, baginya RUU Penyiaran juga akan mencerminkan kemunduran luar biasa dari negara. Bukan hanya mengintervensi ranah yang privat, pengesahan RUU Penyiaran juga akan mengekang suara-suara rakyat. Senapas dengan hal ini, Eni Puji Utami (KOMPAKS) turut mengemukakan bahwa pers pun akan terdampak dengan adanya RUU Penyiaran utamanya dengan aturan yang melarang jurnalisme investigasi. Dalam sejarahnya, selama ini investigasi yang dilakukan oleh para jurnalis sarat akan keberhasilannya dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender online, pelanggaran hak kesehatan reproduksi, dan lain sebagainya. Peran investigasi pada konteks ini membantu penyelidikan kasus dari teman-teman korban yang berada pada kedudukan marginal. Sebelum adanya RUU Penyiaran, telah ada banyak upaya untuk mengintervensi investigasi yang dilakukan oleh para jurnalis itu mulai dari penyerangan hingga peretasan. Lantas, apabila RUU Penyiaran secara sah diaplikasikan di Indonesia, bagaimana nasib para jurnalis dan kelompok rentan tersebut? (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |