Melacak jejak sesosok SK Trimurti secara detail adalah sama sulitnya dengan memecahkan teka-teki peristiwa 1965, kiranya demikian karena sedikitnya (jika bukan hampir tidak ada) yang menuliskan intelektualisme dan aktivisme si perempuan “nekat” ini. Profesor Wieringalah yang justru dengan segala asketisme intelektualnya rela menghabiskan waktu untuk menyelidiki tentang peristiwa 1965 beserta organisasi yang diperjuangkannya. Sebuah ironi, mengingat justru sejarah Indonesia beserta tokoh-tokoh revolusionernya ditulis dengan sepenuh hati oleh orang-orang yang dalam konseputalisasi “nasionalisme” ala nation-state bukan merupakan bagian dari kontinen ini apalagi bukan seorang pribumi. Tan Malaka oleh Harry A. Poeze misalnya, dan Gerwani oleh Saskia Wieringa. Pada Senin (31/8/2015) Yayasan Satunama dan LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Ekspresi menggelar diskusi di Universitas Negeri Yogyakarta. Acara ini merupakan sebuah upaya bijak dalam menyegarkan kembali ingatan kita yang telah habis-habisan dibasuh oleh warisan “sesat” Orde Baru. Diskusi ini mengambil tema “SK Trimurti dan Jurnalisme Masa Kini” dengan pemantik Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan), Shinta Maharani (AJI, Jurnalis Tempo), dan Winna Wijayanti (Divisi Kaderisasi LPM Ekspresi). Seperti biasa, yang menarik dari gaya memantik Dewi, yakni ia menyampaikan sebuah informasi pengetahuan melalui narasi visual, verbal maupun literal. Melalui lukisan portraiture SK Trimurti, Dewi membuka narasi tentang sosok perempuan keras kepala di masa Orde Lama tersebut. Selanjutnya Dewi berkisah tentang kehidupan Soerastri Karma Trimurti yang merupakan anak seorang Camat di sebuah wilayah yang konon masih disebut Hindia Belanda, daerah Solo. Lahir pada 11 Mei 1912 dimana kolonialisme masih berlangsung dan gagasan tentang sebuah organisasi mulai berkembang. Terlahir dalam sebuah kondisi keluarga yang lebih beruntung daripada pribumi lainnya tak lantas membuat Trimurti acuh terhadap realitas sesungguhnya dan bertenang diri dalam kenyamanan keluarga. Ia justru mengikuti sekolah kader Partindo dan bergabung disana hingga pada akhirnya terlibat dalam menginisiasi lahirnya Gerwis (yang kemudian berubah nama menjadi Gerwani). Organisasi yang sempat dipimpin SK Trimurti (kelak menjadi organisasi perempuan paling progresif sepanjang sejarah gerakan perempuan Indonesia) tersebut begitu giat mewacanakan hak-hak perempuan khususnya penentangan terhadap poligami yang masih subur kala itu sebagai warisan feodal. Gerwani juga mengorganisir perempuan di desa-desa dengan mensosialisasikan resep masakan, harga-harga pangan dan selangkah lebih maju dari gerakan perempuan lainnya kala itu, Gerwani berani lantang berbicara tentang suffrage. Perlu diingat juga bahwa pertama kali dalam sejarahnya Indonesia yang mengangkat perempuan untuk menduduki pos kabinet adalah Menteri Perburuhan yang diisi oleh SK Trimurti pada masa kabinet Amir Sjarifuddin. Trimurti laksana representasi dari sosok idealitas perempuan yang relevan dengan konteks sosial zamannya. Ia adalah seorang politisi, aktivis, jurnalis dan juga seorang guru. Dimana semua gagasannya tersebut banyak dituangkan secara literal melalui tulisan di kolom-kolom majalah. Bedug yang kemudian diganti namanya menjadi Terompet, sebuah majalah yang ia rintis untuk menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme. Ia juga pernah menjadi Pemred Persatoean Suara Marheni ketika sempat pindah ke Yogyakarta. Sebagai seorang jurnalis yang memperjuangkan hak perempuan, kita dapat melacak satire-satire jenius dan opini-opini berani yang ia serukan lewat Api Kartini ataupun Harian Rakyat, dua media yang layaknya sesosok pasangan suami-istri kala wacana komunisme begitu hangat di perjuangkan. Api Kartini dirawat oleh SK Trimurti langsung sebagai tim redaksinya. Kensekuensi dari aktivitas menulisnya, ia sering keluar masuknya dari penjara, bahkan diceritakan ia melahirkan anak pertamanya di lorong jeruji sel. Itulah mengapa sejak awal menulis ia telah sering menggunakan nama pena seperti Karma di Fikiran Rakjat, dan Mak Ompreng di majalah Api Katini, hal ini untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ia ditangkap, keluarganya tidak akan mengetahui. Suatu ketika ia yang akrab dengan Soekarno itu sempat di “jothaki” (didiamkan) karena kritiknya atas poligami Soekarno melalui media-media pengusung gagasan komunis tersebut. Di tahun 1970-an, SK Trimurti melepaskan kerinduannya terhadap dunia jurnalisme melalui penerbitan sebuah majalah yang dinamainya Mawas Diri, di dalamnya memuat tentang aliran-aliran kepercayaan, etika dan moral. Perjuangan literasi oleh SK Trimurti yang melintasi setidaknya tiga zaman (kolonial, orde lama dan orde baru) membuat AJI Indonesia mengagendakan sebuah program penghargaan berjudul “SK Trimurti Award” sebagai wujud apresiasi terhadap perjuangan-perjuangan SK Trimurti sekaligus apresiasi terhadapt perempuan-perempuan masa kini yang masih konsisten dalam aktivismenya mengawal agenda perjuangan perempuan. Shinta peraih penghargaan "SEJUK Award" lalu menuturkan pengalaman-pengalaman jurnalismenya yang kenyang akan fenomena bias gender dalam penulisan media massa terutama dalam judul berita di media daring. Menurutnya hal ini karena berita daring hanya beriorientasi pada “klik” yang akan meningkatkan pathview. “Sebenarnya mudah untuk mengatasi hal ini, apapun judul yang mengindikasikan stigmatisasi terhadap salah satu jenis gender tidak terlalu berarti jika pada konten berita diberi sebuah penguatan dalam kontekstualisasi makna kata”, Dewi menjelaskan. Selain itu, Shinta Maharani juga sempat mengatakan bahwa Tempo akan ada kolom khusus yang akan membahas tentang segala peristiwa 1965 dan tidak menutup kemungkinan untuk membincangkan Gerwani. Dipaparkan oleh Dewi bahwa hari ini Indonesia sedang mengalami jumlah AKI (Angka Kematian Ibu) tertinggi, perkawinan anak tertinggi kedua, peningkatan korban trafficking yang korbannya kebanyakan anak perempuan, dan berbagai persoalan yang terlampau melibatkan banyak perempuan. Ditambah suramnya citra perempuan di hadapan publik melalui highlight berita yang bias, tentunya juga menjadi isu penting dalam agenda perjuangan perempuan secara khusus. “Apa hubungannya warna ungu dan janda, apa hubungannya perempuan cantik dan doyan narkoba?”, Ujar Shinta saat menampilkan contoh-contoh berita dengan judul menstigmatisasi perempuan. Hal ini menurut Dewi karena wacana seksualitas sedemikian seksi dan dapat digunakan untuk mengalihkan isu-isu perpolitikan nasional, misalnya korupsi partai. Maka, membangkitkan arwah sosok-sosok revolusioner seperti SK Trimurti adalah sebuah tawaran yang wajib dipenuhi hari ini. Budaya literasi yang telah dibangun olehnya adalah sebuah alternatif cerdas untuk dipraktekkan dalam agenda perlawanan (atau perjuangan) perempuan. Tentu agar kolom-kolom majalah perempuan tidak lagi dihegemoni resep masakan tanpa tahu kandungan gizinya apalagi harga-harga bahannya, atau oleh katalog mode busana, make up dan perabot rumah tangga tanpa menyertakan informasi sebuah relasi yang melibatkan buruh perempuan dibalik seluruh komoditasnya. Sudah saatnya perempuan merebut ruang-ruang literasi yang dirampas oleh Orba tersebut untuk mewacanakan perekonomian, politik, budaya, agama (dalam sebuah pandangan inklusif), pendidikan dan khazanah ilmu lainnya. Setidaknya iklim di alam demokrasi kita hari ini cukup mendukung untuk mengagendakan perlawanan melalui saluran-saluran teks. “kita telah diberi kebebasan tapi kita justru menyia-nyiakannya”, kurang lebih demikian yang disampaikan Dewi di sela-sela diskusi. Mahasiswa kiranya melalui LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bisa berkontribusi besar dalam memproduksi gagasan-gagasan revolusioner agar agenda perlawanan kita senantiasa terawat. Karena LPM sangat menunjang untuk menjadi sebuah media alternatif dalam rangka melawan arus media-media mainstream yang kerap menyajikan berita “sampah” dan hanya memperkeruh suasana, selain itu LPM dalam aktivitas jurnalismenya tidak hanya sebagai wadah publikasi teks tanpa ‘keberpihakan’ namun bisa juga menjadi sarana kaderisasi bagi para anggotanya. Seperti yang dilakukan oleh LPM Ekspresi, “LPM Ekspresi secara rutin paling tidak seminggu sekali mengadakan kajian tentang isu-isu gender dalam programnya.” Ujar Winna, selaku divisi kaderisasi Ekspresi. Jelaslah bahwa mewarisi kegigihan aktivisme SK Trimurti di masa kini adalah hal yang bukan mustahil dengan begitu luasnya sarana dan peluang kita. (Dewi Setiyaningsih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |