“Agama dan perempuan tidak pernah bersahabat meskipun perempuan adalah pihak yang seringkali paling menjaga kemurnian dan perintah agama”. Kalimat ini membuka paparan Siti Musdah Mulia dalam Konferensi “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” yang diadakan Jurnal Perempuan dan Kedutaan Kanada pada Kamis, 5 Maret 2015 di Jakarta. Musdah yang merupakan ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menambahkan Islam membawa perubahan dalam masyarakat yaitu memperkenalkan perayaan kelahiran bagi anak perempuan. Tradisi ini yang dikenal dengan hukum Akikah (perayaan sebagai bentuk ungkapan syukur dan kebahagiaan atas lahirnya hidup baru di dunia), awalnya hanya dijalankan untuk anak lelaki pada masa pra-Islam (jahiliyah). Ketika Islam masuk, tradisi Akikah kemudian dilaksanakan bagi bayi-bayi perempuan yang awalnya dianggap sebagai beban bagi sebuah keluarga. Sayangnya patriarki bertumbuh dengan sangat kuat. Anggapan bahwa perempuan adalah beban masih sering melekat dalam keluarga-keluarga yang melestarikan nilai-nilai tradisi yang salah. Oleh karena itulah pernikahan anak, salah satu akibat dari anggapan tersebut, banyak dilaksanakan untuk “membebaskan” keluarga yang bersangkutan dari anak perempuannya. Padahal perkawinan anak ini yang menyebabkan traffiking, AKI, HIV/AIDS, dan sebagainya. Musdah menceritakan bahwa salah satu anak didiknya pernah dinikahkan oleh orang tuanya walaupun saat ijab kabul dilakukan, yang bersangkutan tidak berada di lokasi ijab kabul. Ketika ia pulang ke kampung, ia mendapati ada lelaki asing di dalam kamarnya yang dinyatakan oleh ayahnya sebagai suami dari mahasisiwi tersebut. Di sinilah ijab kabul dimaknai secara keliru. Dalam prosesnya, ijab kabul biasanya dilaksanakan oleh penghulu dan wali sebagai partisipan aktif. Kedua posisi ini diisi oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Di sisi lain, perempuan hanyalah berperan pasif. Padahal ijab kabul sebenarnya adalah sebuah kontrak yang seharusnya diikuti dan disepakati oleh hanya kedua pihak yang akan mengikatkan diri pada satu sama lain yakni mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Sayangnya persoalan ini tak diatur dalam agama Islam. Posisi perempuan dalam pernikahan bahkan diatur dalam undang-undang sebagai posisi subordinat. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang seringkali diartikan sebagai penguasa ataupun yang memiliki hak untuk memerintah sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal lain dalam prosesi pernikahan yang timpang secara gender adalah ketika perempuan seringkali di-setting terlihat “mengenaskan”, bersimbah air mata sembari memohon ampun pada orang tua sementara pihak mempelai lelaki hanya berperan seadanya, tidak turut dalam adegan dramatis semacam itu. Jadi, seharusnya kita mulai memisahkan antara agama dan tradisi dalam suatu prosesi pernikahan meskipun pada kenyataannya nilai-nilai tradisi masih lebih kuat ketimbang agama. Menurut perempuan yang menjadi dosen pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, selama ia mendalami Alquran, ia tidak pernah menemukan ayat yang memerintahkan perempuan untuk taat kepada suami mereka. Kata “taat” dilanggengkan oleh masyarakat dalam prosesi pernikahan yang pada akhirnya dimaksudkan untuk menanamkan pada pihak istri bahwa istri harus patuh sepenuhnya pada suami mereka. Musdah menyatakan bahwa ia hanya menemukan perintah bagi lelaki dan perempuan untuk menaati Allah dalam Alquran. Dengan menaati Allah berarti sudah sepantasnya seorang istri menghormati suaminya dan begitu pula sebaliknya. Lembaga pernikahan di Indonesia yang sarat akan nilai-nilai patriarki dapat terlihat melalui contoh sederhana. Para perempuan yang sudah menikah umumnya disibukkan dengan tanggung jawab akan segala kebutuhan suami dan anak-anak mereka sementara seringkali kebutuhannya sebagai perempuan sekaligus manusia terlupakan. Tekanan pada perempuan tak hanya berhenti dalam lingkup keluarga. Masyarakat seolah turut berperan aktif menekan perempuan. Seringkali perempuan harus bertahan dalam suatu pernikahan meskipun pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan baginya. Persepsi masyarakatlah yang membuat mereka harus mengambil keputusan tersebut. Kita semua sebagai manusia dilimpahi sebuah tanggung jawab untuk bertransformasi, memeriksa diri, tidak statis dan memanusiakan manusia. Dalam Islam, visi dan misi kita seharusnya sudah jelas. Ketidakadilan adalah hal yang harus dilawan. Inilah jihad. (Johanna G.S.D. Poerba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |