Saskia Wieringa adalah seorang antropolog dan profesor di fakultas Social and Behavioural Sciences Universiteit Van Amsterdam, Belanda. Ia juga mengajar studi gender dan seksualitas di berbagai perguruan tinggi, baik di Belanda dan luar negeri. Dia telah terlibat dalam membangun studi gender di universitas di berbagai negara. Saskia Wieringa telah melakukan penelitian hubungan gender, kebijakan seksual, dan hubungan lesbian di Indonesia, Jepang dan Afrika Selatan. Ia fokus dalam kegiatan pengajaran, penelitian dan konsultasi di bidang hak asasi manusia, seksualitas dan budaya, hubungan lesbian lintas budaya, epistemologi dan metodologi feminis, seksologi dan HIV/AIDS. Ia telah menerbitkan banyak buku tentang politik seksual di Indonesia, pemberdayaan perempuan dan hubungan sesama jenis perempuan secara global. Pada tahun 2014 ia menerbitkan buku berjudul Heteronormativity, Passionate Aesthetics and symbolic subversion in Asia. Eastbourne: Sussex Academic Publishers. Dia telah menerbitkan lebih dari 30 buku non fiksi, kebanyakan isu yang diangkat soal gender dan seksualitas. Selain menerbitkan buku, ia juga telah menerbitkan novel. Novel keduanya yang baru saja diterbitkan oleh YJP Press pada bulan Agustus 2015 berjudul The Crocodile Hole. Publikasinya yang lain diantaranya “Discursive Contestations On Female Masculinity And Intersex In Indonesia”, dalam Sharyn Davies & Linda Bennett, Sexuality in post-Reformasi Indonesia, diterbitkan Routledge: 2014; “Sexual politics as a justification for mass murder in The Act Of Killing”, dalam Critical Asian Studies, Vol. 46 nr 1, 2014, pp. 195-200; “Symbolic subversion”, dalam TSQ transgender Studies Quarterly, vol. 1 nrs 1-2, May 2014, pp. 210-213; “Persisting silence: Sexual Slander, Mass Murder and The Act Of Killing”, dalam Asian Journal of Women’s Studies. Vol. 20 no. 3, 2014, pp. 50-77. Pada tahun 2011 “Sexual slander and the 1965/66 mass killings in Indonesia: political and methodological considerations” dalam Journal of Contemporary Asia, pp. 544-565, mendapatkan penghargaan sebagai Best Paper of the JCAS. Saskia Wieringa juga aktif didalam perjuangan gerakan perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada tahun 2009 ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kartini Asia Network for women’s and Gender Studies. Pada 6 Juli 2012 ia diundang sebagai pembicara dan membawakan materi mengenai The imagined community: nation building and sexual politics in Asia, dalam acara Open Forum on Asian Feminism and Transnational Activity, EWHA women's university, Seoul. Saat ini Saskia menjadi koordinator peneliti Internasional People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), sebuah pengadilan rakyat internasional bagi peristiwa 1965 yang diinisiasi oleh para aktivis Hak asasi Manusia (HAM). Pengadilan Rakyat Internasional ini akan dilaksanakan pada November 2015 di Den Haag, Belanda. IPT 1965 juga dimaksudkan untuk mengonsolidasikan semua bahan-bahan penelitian. Baik penelitian pro justitia yang dilakukan Komnas HAM maupun penyelidikan para peneliti, seperti Robert Cribb yang pertama kali menyebutkan jumlah korban pembantaian sebesar 500.000 orang, juga penelitian-penelitian awal (1971) yang dilakukan oleh Ben Anderson dan Ruth Mc Vey yang memberikan analisis awal tentang peristiwa 1965. Bahan-bahan ini nantinya akan menjadi laporan lengkap dan terkonsolidasi tentang peristiwa genosida dan kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi setelah percobaan kudeta sekelompok perwira militer yang gagal dan menyebabkan terbunuhnya 6 jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat. Bahan-bahan itu sudah mencapai 1500 halaman lebih dan sebagian sudah dituliskan kembali oleh Saskia Wieringa sebagai koordinator peneliti IPT 1965 (dalam “Nursyahbani Katjasungkana: IPT 1965, Kekerasan Seksual dan Upaya Memberikan Suara Pada Korban” oleh Anita Dhewy, Jurnal Perempuan Ed. 86 hal: 180). The Crocodile Hole: Narasi Fiksi bukan Fiktif The Crocodile Hole adalah sebuah novel yang didasarkan dari disertasi Saskia Wieringa. Novel ini bercerita tentang peristiwa tahun 1965, fitnah seksual terhadap organisasi perempuan terbesar pada masa itu, Gerwani. Selain itu tahun 1965 juga menyisakan sejarah terburuk Indonesia tentang genosida yang dilakukan bangsa sendiri terhadap rakyatnya. Saskia Wieringa melalui novel ini membungkus fakta kisah tersebut dalam nuansa fiksi, dengan harapan masyarakat Indonesia dapat membacanya dengan luwes. Fakta-fakta itu sebelumnya telah ia dokumentasikan juga dalam bentuk naskah akademik berupa buku, jurnal hingga film. Menurutnya, tesis, buku, hingga film yang telah ia buat tentang peristiwa 1965 belum cukup untuk memberikan keadilan dan kebenaran belum terungkap juga di Indonesia. Sehingga ia membuat novel ini sebagai salah satu cara advokasi, selain karena kegemarannya menulis novel. Novel ini juga terkait erat dengan program IPT 1965 yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Joost Cote dalam pengantarnya untuk novel ini mengatakan bahwa seringkali fakta dapat lebih kuat daripada fiksi. Tetapi “fakta” yang dilaporkan mengenai peristiwa Lubang Buaya di tempat latihan militer angkatan udara pada malam 30 september 1965 adalah fakta yang fiktif; dan hal luar biasa tersebut memberikan pengalaman fisik dan eksistensial yang mengerikan bagi jutaan rakyat Indonesia setiap malam pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya. Seperti beberapa potongan fiksi yang dramatis, gambaran fantastis yang dibuat oleh kata-kata (kebohongan) memperoleh realitas fisiknya melalui ilustrasi, patung dan representasi sinema yang menghantui sekolah, kota dan media cetak sepanjang Orde Baru. Sama banyaknya dengan ragam kekejaman dalam persitiwa tersebut, analisis dan diskusi mengenai zaman orde baru telah banyak dimunculkan melalui naskah-naskah akademik, namun kengerian atas kekerasan tersebut hanya dapat dibayangkan, untuk menjadikan hal tersebut sebagai rasa atas pengalaman sendiri hanya mungkin dengan melakukan pendekatan terhadap realitas melalui fiksi. Dalam sebuah kesempatan wawancara Jurnal Perempuan dengan Saskia Wieringa, ia mengatakan bahwa menulis adalah sebuah aktivitas yang sudah melekat pada dirinya, ia senang menulis, bukan hanya naskah akademik namun ia juga senang menulis novel. Dalam proses menulis novel ia mengungkapkan bahwa ada sesuatu hal yang jauh berbeda dari menulis naskah akademik, ada tantangan tersendiri. Lebih jauh dia mengatakan bahwa dalam menulis novel dia bisa menciptakan suasana-suasana, latar-latar, dan tokoh-tokoh, novel adalah proses kreatif yang jauh berbeda dengan disertasinya. Kegemarannya untuk meneliti membawa ia kepada misteri bawah tanah tentang fitnah Gerwani yang harus ia pecahkan. Ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa seperti detektif ketika meneliti sesuatu. Penelitiannya terhadap Gerwani pada akhirnya menelurkan sebuah disertasi yang didokumentasikan dalam buku yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, sementara The Crocodile Hole adalah sebuah novel yang didasarkan dari disertasi Saskia Wieringa tersebut. Dalam novel The Crocodile Hole Saskia menerangkan bahwa ia juga menciptakan tokoh-tokoh fiksi seperti tokoh jurnalis Tommy dan Tante Sri yang merupakan fantasinya. Tokoh-tokoh tersebut sengaja yang ia ciptakan karena banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa ia ketahui secara jelas. Seperti kecurigaannya terhadap keterlibatan tokoh agama yang dekat dengan Soeharto untuk memunculkan ide fitnah seksual terhadap Gerwani. Disertasi: Sebuah Perjalanan Panjang Mencari Kebenaran Saskia Wieringa adalah seorang aktivis feminis sosialis. Dalam wawancara ia juga menceritakan tentang perjalanan panjang sebuah perjuangan, bukan hanya perjuangan untuk mendapatkan gelar akademik PhD, namun juga perjalanan panjang membongkar ketidakadilan. Pada tahun 1977 hingga 1978 Saskia melakukan riset dan aktif membantu persoalan buruh-buruh batik di Solo, hasil risetnya ia berikan kepada LSM lokal agar bisa dijadikan rekomendasi untuk memberikan bantuan terhadap buruh-buruh tersebut. Atas kegiatannya tersebut nama Saskia mulai didengar oleh masyarakat, khususnya aktivis perempuan pada saat itu. Saskia juga mengatakan bahwa pada tahun 1977-1978 ketika ia ingin melakukan kerjasama dengan LSM lokal ternyata tidak ada yang bersedia. Ia juga mengetahui bahwa sebelumnya, Ibu-ibu GERWANI juga pernah membantu persoalan buruh-buruh perempuan. Saskia juga membuat film dari hasil risetnya tersebut, film tersebut telah diputar di Belanda, namun di Indonesia dilarang diputar sehingga ia harus menyembunyikan film tersebut. Gairah gerakan perempuan yang hilang tersebut membuat Saskia bertanya-tanya apa yang telah terjadi dan bagaimana mungkin gerakan perempuan begitu lemah pada tahun 1980. Setelah itu namanya mulai dikenal di Indonesia. Lebih jauh Saskia bercerita ketika tahun 1981 saat rezim Orde Baru berkuasa, ia sedang mencari topik penelitian mengenai gerakan perempuan di Indonesia. Hal itu didasari atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tentang melemahnya gerakan perempuan. Dalam perjalanannya ia sempat merasa ragu karena tentu akan sulit untuk bertemu dengan ibu-ibu Gerwani karena sebagian dari mereka masih di penjara, menjadi tahanan kota, dan masih harus wajib lapor. Suatu hari di Guest (house?) Saskia ada seorang ibu tua yang datang dan mengenalkan diri, namanya adalah Sujinah. Ibu Sujinah sengaja menemuinya karena telah mendengar nama Saskia, seorang peneliti dan aktivis perempuan dari Belanda. Setelah itu Ibu Sujinah mulai bercerita panjang mengenai apa yang terjadi dan kebohongan yang difitnahkan kepada Gerwani. Pada saat itu ternyata Saskia masih belum menyangka tentang adanya fitnah tersebut, karena Gerwani sendiri masih tidak tahu persis bagaimana dan siapa yang menyebarkan fitnah tersebut, setelah bertemu dan mendapat keterangan dari Ibu Sulami. Kemudian dalam pertemuan selanjutnya Saskia dengan Gerwani, Ibu Sulami mengatakan padanya bahwa mereka juga tidak tahu pasti tentang fitnah tersebut. Ibu Sulami mengatakan bahwa ada gadis-gadis (yang bukan anggota Gerwani) dari Pemuda Rakyat yang datang dan bercerita kepada mereka tentang tarian telanjang yang dituduhkan kepada mereka sehingga mereka dianggap sebagai pelacur. Gerwani adalah organisasi perempuan Indonesia yang berjuang untuk hak-hak perempuan . Ibu Sulami kemudian menawarkan pada dirinya untuk meneliti hal tersebut dan akan membantu dengan memberikan nama-nama dan nomor telepon ibu-ibu Gerwani di kota. Menurut mereka tidak memungkinkan bagi Saskia ke desa dan kampung-kampung, karena kulitnya yang putih akan menimbulkan kecurigaan. Pada pertemuan selanjutnya antara Saskia dengan ibu-ibu Gerwani, ia menyetujui untuk melakukan penelitian mengenani gerakan perempuan Indonesia dan membahas kesepakatan tentang hasil penelitian terhadap Gerwani nantinya. Setelah persetujuan tersebut ia dan ibu-ibu Gerwani merundingkan beberapa hal yang peru disepakati lebih lanjut, mengingat penelitian ini akan berisiko terhadap dirinya dan juga ibu-ibu Gerwani dikemudian hari. Ia mengusulkan agar Ibu Sulami dan Ibu Sujinah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan orang-orang yang ia wawancarai, kemudian ia akan bertanggung jawab terhadap analisis dan naskah akademik dari hasil riset tersebut. Ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah orang PKI, ia juga bukan seorang komunis, sehingga ia akan menuliskan sebenar-benarnya apa yang terjadi dan menulis berdasarkan analisis akademisnya dengan jujur. Kesepakatan atas penelitian tersebut telah dirundingkan, mulailah Saskia melakukan riset dengan melakukan studi literatur, dokumen sejarah, dan wawancara. Saskia bercerita bahwa ia harus melakukan wawancara di dalam ruangan tertutup, di gereja-gereja, di hotel-hotel, bahkan di taksi agar tidak terlihat sedang bersama mereka, karena para saksi terbut masih diawasi oleh kepala desa, ketua RT, dan intel pemerintah. Saksi tersebut tdak boleh bertemu dengan peneliti apalagi bercerita mengenai pengalaman kekerasan yang dihadapinya di penjara. Namun pada akhirnya penelitian Saskia diketahui oleh intel pemerintah, dan langsung pemerintah Indonesia mendaftarhitamkan dirinya sehingga ia tidak boleh masuk ke Indonesia. Naskah akademik penelitiannya telah selesai, namun ia belum bisa menerima gelar S3 karena ia harus mendapatkan persetujuan dari narasumbernya. Pada tahun 1994, 15 tahun kemudian, akhirnya Saskia dapat kembali ke Indonesia. Ia bersembunyi di rumah kecil dan selama 3 minggu narasumbernya membaca, mengecek dan mengoreksi naskah tersebut. Ada beberapa yang harus dihilangkan seperti nama orang, alamat rumah, dan nama kota-kota, karena mereka bisa dibunuh atau dipenjarakan lagi jika intel mengetahuinya. Setelah itu, pada tahun 1995 ia bisa mendapatkan gelar PhD-nya. Saskia menyadari sejak awal bahwa penelitian S3-nya itu tentu bukan penelitian yang biasa, itu akan mengubah hidupnya. Baginya itu adalah sebuah cerita bawah tanah yang besar, sejarah yang penting, dan bukan suatu topik yang bisa ia drop kemudian pindah ke topik lainnya, ini adalah sebuah perjuangan yang kontinu. Disertasi tersebut didokumentasikan menjadi sebuah buku dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Pada terbitan pertama buku tersebut beberapa fakta-fakta peristiwa 1965 dihilangkan sesuai permintaan informan. Baru pada terbitan yang kedua ia bisa menyebutkan semua nama-nama kota, alamat, dengan lebih jelas karena terbit setelah reformasi. Menurutnya, tidak banyak yang diubah karena hanya sekitar 8 nama yang harus dihilangkan. Setelah pengecekan naskah tersebut, Ibu Sulami mengiriminya surat yang berbunyi, “Saskia aku sangat senang hati karena aku tahu sekarang kita sudah tidak bisa dibohongi lagi, kebenaran sudah ada, dan aku bisa mati dengan tenang, naskah mu adalah golden ring dalam hidup saya, jika aku mati maka aku tidak hidup sia-sia”. Baginya sebagai seorang peneliti, itu adalah hal yang paling indah untuk didengar, bahwa penelitiannya dapat bermanfaat bagi orang lain. Ada banyak kesulitan dalam meneliti hal ini, Saskia bercerita kembali. Ia menjelaskan bahwa pada awal penelitiannya dia harus mengetahui tentang Gerwani lebih dalam, bentuk organisasinya, dan gerakan-gerakannya. Pada saat ia mewawancarai narasumber, kisah mengenai penjara dan penyiksaan selalu muncul. Mereka sangat sulit untuk mengatakan apa yang mereka lakukan sebelum itu, karena di dalam penjara mereka disiksa dan didoktrin bahwa apa yang telah mereka lakukan (memperjuangkan hak-hak perempuan) adalah sesuatu kejahatan. Cerita-cerita itu sesungguhnya tidak cukup untuk membongkar apa yang terjadi jauh sebelum itu. Sehingga Saskia juga banyak melakukan penelitian terhadap arsip sejarah. Ia menemukan bahwa sebenarnya sebelum tahun 1965 ibu-ibu tersebut bangga menjadi Gerwani, bangga bisa membantu perempuan lain yang diperkosa, dipukul suami, dan buta huruf. Mereka, ibu-ibu Gerwani hancur setelah 15-20 tahun dipenjara, jiwa dan tubuh mereka hancur. Hal tersulit lainnya adalah ketika ia mendengar penyiksaan yang begitu kejam terhadap mereka. Kemudian ia juga harus melakukan penelitian terhadap organisasi perempuan katolik, Perwari, Dharma Wanita, yang kesemuanya menyatakan bahwa Gerwani jahat. Hal itu sangat sulit baginya. Penelitian ini menurutnya sangat berbahaya pada zaman itu. Setiap 3 bulan sekali ia harus pergi dari Indonesia sebab intel sudah mencurigai aktivitasnya bersama ibu-ibu Gerwani. Ibu-ibu Gerwani mengatakan jangan datang lagi, sangat berbahaya karena intel sudah tahu, dll. Saskia sangat sadar akan hal itu, bahwa penelitiannya sangat berbahaya. Menurutnya orang Indonesia tidak bisa melakukan penelitian itu dan orang asing bisa jadi akan hilang tanpa jejak (dibunuh) oleh kekejaman Orde Baru. Pada zaman itu Saskia berpendapat bahwa belum memungkinkan untuk orang Indonesia meneliti hal itu, karena pasti akan ditolak di universitas dan tidak punya karier. Pada waktu itu Saskia bercerita bahwa untuk melakukan riset, peneliti harus memiliki visa penelitian. Univeristas Leiden sangat khawatir karena penelitiannya akan berpengaruh pada semua peneliti Belanda jika ingin dilanjutkan. Namun baginya, sumpah academic freedom adalah yang terpenting dan universitas harus menjamin itu, jangan sampai universitas sendiri yang menyingkirkan peneliti-peneliti karena mereka takut. Soal Indonesia, Saskia mengerti karena ada tekanan dari pemerintah pada saat itu, namun di Belanda, universitas tidak boleh takut dan menyulitkan kariernya. Ia melanjutkan ceritanya tentang penelitiannya di Padang. Pada saat itu ia diberikan alamat dari seseorang di Jakarta untuk menemui seorang pastur yang mungkin dapat memberikan petunjuk untuk bertemu narasumber lainnya. Ketika sampai di Gereja tersebut, munculah seorang pastur muda, dan setelah berbicang lebih jauh tentang tujuannya datang, ternyata pastur yang ia cari telah pindah, padahal ia sudah bercerita banyak. Lalu pastur muda yang tidak tahu persoalan tersebut menghubungi temannya (dari militer) yang dia rasa tahu banyak tentang Gerwani untuk datang ke gereja. Seketika rombongan tentara datang dengan senjata lengkap, hal itu membuat Saskia sedikit takut. Ketika kepala pasukan tersebut melihatnya, ia pun berkata “Mengapa Belanda mengirim peneliti muda yang bodoh ini? Siapa yang berani-berani mencari tahu tentang Gerwani, jika ingin tahu tentang mereka mari ikut kami, kami yang urus semua program kerja dan pidato-pidato mereka”. Tentu mendengar pernyataan tersebut, bagi Saskia langkah terbaik yang harus diambil adalah lari, Saskia melanjutkan ceritanya sambil tertawa. Setelah kejadian itu, ia berpikir untuk juga meneliti sejauh mana peran militer dalam gerakan perempuan pada zaman itu. IPT 1965: Mengembalikan Keadilan Pada Pemiliknya Mengenai keselarasan advokasi antara novel dan IPT 1965, Saskia mengatakan bahwa keuntungan penjualan novel ini akan langsung masuk ke kas IPT 1965, begitu juga penjualan novel The Crocodile Hole yang berbahasa Belanda. Selain itu, ia juga merasa bahwa buku ini harus beredar di masyarakat karena mereka wajib mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dan dengan bentuk novel tentu akan lebih mudah dibaca dibandingkan dalam bentuk laporan penelitian. Dari segi konten, ia juga menjelaskan bahwa masyarakat luas harus tahu bagaimana mungkin fitnah dan kekejaman bisa terjadi atau dalam istilah Saskia disebutnya sebagai “tetangga membunuh tetangga”. Kejadian di Kupang misalnya, orang PKI dan gereja dulu pernah bekerjasama, namun setelah 1965 pemuda gereja dan militer masuk ke desa-desa dengan cerita bohong tentang kejadian di Lubang Buaya. Masyarakat setempat sebenarnya tidak tahu sama sekali tentang hal itu sebelumnya, yang diketahui adalah PKI organisasi yang modern karena mereka aktif memberikan bantuan ke desa-desa dan memiliki daftar penerima bantuan versi PKI. Kemudian ada seorang ibu anggota Gerwani dituduh ikut menari telanjang. Lebih kejamnya lagi ada perempuan yang memberikan kursus membaca bagi kelompok buta huruf diberikan label Gerwani dalam konotasi negatif, kemudian dia dipenjaradan diperkosa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Menurut Saskia ada propaganda militer tehadap Gerwani dan PKI yaitu mereka dituduh ateis dan anti Pancasila. Saskia menjelaskan bahwa PKI tidak anti dengan Pancasila, PKI mengutamakan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila selanjutnya juga mereka ikuti. Kita juga tahu bahwa mereka ikut andil mendorong dan membantu Soekarno memperjuangkan Pancasila. Golongan fundamentalis dan tentara terus menerus mengatakan PKI anti Pancasila, kemudian dibentuk sebuah framing terhadap PKI. Di Kupang anggota PKI ada yang ikut ke gereja dan di Jawa timur orang NU dan PKI ada yang sama-sama “Abangan”. Pada tahun 1921 ada juga kiai yang ikut bersama-sama berjuang dalam pemberontakan PKI yang anti kolonial. Sebelumnya PKI dan kiai-kiai bisa bekerjasama, namun di tahun 69-an mereka saling memusuhi hingga pada tingkat politik nasional. Lebih jauh, Saskia mengatakan, jika orang Indonesia tidak bisa belajar apa sebenarnya PKI, maka orang Indonesia tidak akan bisa mengerti sejarah Indonesia seutuhnya. “Tetangga membunuh tetangga” seperti apa yang dikatakannya sebelumnya adalah sebuah propaganda. Hingga kini propaganda masih tetap ada karena FPI meneriakkan tentang PKI baru. Baginya tidak ada PKI baru, yang ada hanya korban tragedi 1965. FPI masih meneriakkan “hancurkan dan bunuh PKI”. Mereka para korban sudah tua, sakit, dan miskin, mereka hanya ingin hidup tenang dimasa tuanya. Saskia masih tidak menyangka bagaimana mungkin kebencian yang begitu besar masih mengakar selama ini. Fitnah yang diciptakan Soeharto tentang G30S/PKI yang hingga kini kita belum tahu siapa dalangnya. Memang saat itu Aidit ikut, tapi Soeharto dan Omar Dani juga ada dalam benang merah penculikan jenderal tersebut. Memang PKI adalah partai besar pada saat itu, namun PKI tidak mempunyai senjata, bagaimana mungkin bisa memberontak kepada tentara yang bersenjata lengkap dan kuat. Kebenarannya adalah peristiwa G30S/PKI merupakan skenario besar penculikan dan pembunuhan jenderal, fitnah PKI sebagai dalang, dan pemberangusan PKI seluruhnya. Sekitar 2 hingga 3 juta orang dibunuh. Saskia mengatakan bahwa memang Aidit yang melakukan pembunuhan terhadap jenderal harus diadili, tapi bagaimana dengan 3 juta orang yang dibunuh tanpa tahu apa-apa. Mereka hanya ikut partai yang pada saat itu sangat umum dan publik, tidak ada pelarangan atas PKI sebelumnya, mereka sah. Pelarangan terhadap PKI terjadi pada tanggal 12 Maret, satu hari setelah Supersemar dikeluarkan. Hingga kini, didalam kurikulum sekolah terus-menerus diceritakan bahwa PKI dan Gerwani jahat. Padahal Gerwani tidak jahat, mereka organisasi yang membantu kesejahteraan masyarakat bawah, ibu-ibu miskin. Ketika ia melakukan kajian arsip, ia menemukan surat dari India yang berisi tentang kekaguman terhadap Gerwani atas gerakan dan sumbangsih mereka terhadap masyarakat. Dunia internasional tentu melihat anggota Gerwani bisa jalan kaki ke desa-desa dan bertemu dengan ibu-ibu untuk menanyakan serta memberikan solusi atas persoalan yang tengah dihadapi, seperti kemiskinan janda-janda. Gerwani dan Pemuda Rakyat bekerjasama membangun rumah, membangun TK Melati yang kemudian semuanya diambil alih oleh Aisyiyah pasca 1965. Program kerja PKK juga mencontoh dari aktivitas Gerwani. Bagi Gerwani kalau mau membangun desa, kegiatan yang harus dijalankan adalah hal yang praktis sehingga bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Gerwani juga memberikan pelajaran memasak sekaligus dengan pengetahuan akan gizi makanan. Selain itu, mereka juga memberikan pelajaran sosial-ekonomi, seperti analisis mengapa harga beras bisa mahal, sehingga mereka mengerti mengenai harga pasar. Saat proses penelitian, Saskia juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan Dharma Wanita dan PKK. Mereka memberikan pelajaran memasak juga kepada ibu-ibu namun tidak diiringi dengan pengetahun gizi, mereka memberikan cara agar tampilan masakan menjadi cantik saja. Pengetahun sosial-ekonomi dan bantuan terhadap perempuan miskin juga tidak ada. Sama halnya dengan Bhayangkari yang pada awalnya adalah organisasi Polwan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Setelah 1965 Bhayangkari bukan organisasi Polwan lagi namun diisi oleh istri-istri pejabat Polri. Sehingga Bhayangkari membentuk organisasi yang hierarkis, mecontoh hierarki fujinkai dari Jepang. Mereka adalah ibu-ibu yang suaminya berada di suatu jabatan tertentu. Jadi ibu-ibu cerdas dan giat tidak bisa berada di posisi puncak hanya karena suami mereka tidak memiliki jabatan tinggi. Saskia mengungkapkan bahwa hal itu dapat kita pahami ketika kita belajar sejarah dengan baik. Gerakan perempuan di tahun 90-an cukup banyak memunculkan nama-nama organisasi, seperti kalyanamitra dan LBH Apik misalnya. Mereka harus berkerja keras dan sangat hati-hati karena fakta feminis mempunyai stigma besar, stigma Gerwani. Misalnya Nursyahbani Katjasungkana (Koordinator LBH APIK), sering dipanggil atau disebut-sebut sebagai “Gerwani baru”, tentu stigma tersebut masih mengakar. Kemudian Contoh lain yaitu ketika setelah tahun 1998 Saskia dan Ibu Sulami hadir dalam acara pembentukan Koalisi Perempuan Indonesia, disana untuk pertama kalinya ia membuka cerita tentang Lubang Buaya. Ibu-ibu Aisyiyah langsung keluar ruangan karena tidak ingin mendengar cerita tersebut. Ada juga diantara tamu yang bingung, dan bertanya-tanya, mengapa bisa perempuan Indonesia dibohongi begitu lama. Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu Saskia menerangkan dengan bukti-bukti yang bisa dirasionalitaskan. Ia menawarkan untuk memberikan mereka fotokopi hasil autopsi yang ditandatangani oleh Soeharto dimana hasil autopsi tersebut jelas menerangkan bahwa penis jenderal tidak dipotong. Jenderal-jenderal tersebut meninggal karena luka tembakan dan luka akibat pukulan. Tidak ada penyiletan di mata, jika memang mata jenderal rusak itu dikarenakan pembusukan selama 3 hari di Lubang Buaya. Hasil autopsi tersebut diambil dari rumah sakit tentara dan tidak palsu. Kemudian Saskia melanjutkan, jika ibu-ibu belum percaya, mereka bisa mengunjungi museum Pancasila Sakti, disana ada seragam para Jenderal yang asli dan bisa dilihat bercak darah di bagian tubuh yang tertembak. Bercak darah tersebut tidak ditemukan dibagian kemaluan, jika memang penis jenderal dimutilasi tentu akan menimbulkan tanda yang sangat jelas di pakaian jenderal. Selain itu juga terdapat foto-foto saat pengangkatan jenazah dan terlihat bahwa tidak ada proses mutilasi. Bukan hanya perempuan-perempuan tersebut yang tidak percaya dan masih mengatakan Gerwani jahat. Saskia menceritakan pengalamannya lebih jauh ketika ia di Amsterdam dan bertemu mahasiswa Indonesia dalam acara seminar “The Act of Killing” yang dibawakannya. Mahasiswa S3 tersebut masih mengatakatan Gerwani jahat dan yang terjadi di Lubang Buaya adalah kebenaran, dan itu adalah pernyataan yang diucapkan oleh seorang yang berpendidikan sekalipun. Itu membuktikan bahwa sampai sekarang kebenaran belum terbongkar. Warisan orde baru mempunyai pengaruh sangat besar karena orang-orang dididik untuk memikirkan diri sendiri, tidak memikirkan keadilan sosial, hanya memikirkan harta sehingga terus-menerus korupsi. Sebelum 1965 masyarakat masih memikirkan kesejahteraan sosial. Orde baru telah mewariskan kebodohan yang mengukur segala sesuatu dengan harta bukan dengan intelektualitas. Pemikiran liberal masih dianggap bahaya sehingga universitas tertindas. Di dunia internasional kualitas perguruan tinggi Indonesia sangat rendah, karena orang cerdas tidak dihargai. Indonesia harus mencari kebenaran. IPT 1965 nantinya akan membuka dialog di dalam masyarakat mengenai persitiwa 1965, apa yang terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Proses yang sama juga terjadi di Afrika Selatan dan Jerman. IPT 1965 ingin mengadvokasi mereka yang tidak bersalah, Orba yang salah. Masyarakat yang tidak belajar sejarahnya sendiri tidak akan bisa maju. Saskia mengatakan bahwa ia sebagai warga dunia mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan agar genosida tidak terjadi lagi, hal ini juga merupakan kewajiban negara. Indonesia adalah negara Islam terbesar sehingga harus bisa menjadi contoh bagi negara lain bahwa hak asasi manusia bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai agama. Tanpa menciptakan dunia yang lebih adil tidak akan terwujud kemakmuran, sehingga keadilan perlu diperjuangkan, itulah janji Saskia pada Ibu Sulami dan Ibu Sujinah. Di akhir wawancara Saskia dan Jurnal Perempuan, Saskia mengatakan tentu akan ada novel yang ia akan tulis kembali. Ia akan menuliskan apa yang terjadi di IPT, kemudian novel tentang kuburan massal di kebun raya Purwodadi Jawa Timur. Ia sudah mulai menulis, namun tugasnya sebagai organisator IPT masih cukup berat. Sejauh ini Saskia mengatakan masih sangat senang menulis novel. (Andi Misbahul Pratiwi)
Nadyazura
31/8/2015 03:22:11 pm
apakah kita harus menuliskan sejarah selalu dalam dualitas hitam-putih? saya menerima jika kita harus memperbaiki citra dan nama baik Gewani tetapi apakah kita harus terjebak dalam oposisi dalam menceritakan sejarah seperti membingkai bahwa Orde Baru sebagai antagonis dan lawannya adalah protagonis? Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |