Krisis iklim dan ekologi mendorong dunia untuk melakukan percepatan transisi energi menuju energi terbarukan. Namun, di manakah peran perempuan dalam transisi ini? Membahas hal tersebut, ACCESS Project dari United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia menggandeng Prodi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan diskusi “Perempuan dan Energi Terbarukan: Sejauh Mana Kita Melangkah?” pada Rabu (23/10/2023) lalu di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat. Diskusi ini menekankan keterkaitan antara sektor energi, sektor ekonomi, dan pembangunan masyarakat khususnya kelompok perempuan. Dalam upaya transisi menuju energi yang baru, bersih, dan terbarukan, kontribusinya pada peningkatan kesetaraan gender menjadi penting. Keterlibatan perempuan dibutuhkan untuk mendorong akses dan pengakuan terhadap peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.
Penyelenggara mengundang para narasumber, yaitu Sahid Junaidi (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral - ESDM), Mathilde Sari (ACCESS Project), Mike Verawati (Koalisi Perempuan Indonesia), serta Mia Siscawati (Ketua Prodi Kajian Gender UI), untuk berdiskusi dengan difasilitasi Hariati Sinaga (Dosen Kajian Gender UI) selaku moderator. Sahid Junaidi menjadi pemapar perdana yang menjabarkan beberapa upaya transisi energi skala kecil, menengah, dan besar oleh Kementerian ESDM. Salah satu programnya menggunakan energi surya sebagai sumber energi rumah tangga. Kementerian ESDM memfasilitasi masyarakat di tempat terpencil dengan panel surya. Diharapkan panel surya tersebut dapat memproduksi sendiri listrik untuk kebutuhan harian mereka. Sayangnya, program ini masih jauh dari target keikutsertaan gender. Hal ini menjadi catatan penting bagi Sahid dan rekan-rekannya di kementerian. Sementara program lainnya didorong untuk menjadi responsif gender dan memperhatikan infrastruktur sehingga ramah pada perempuan. Kurangnya perhatian pada pembangunan yang ramah gender menjadi salah satu tantangan dari program transisi energi yang dilakukan oleh ACCESS Project, ujar Mathilde. Project Manager ACCESS ini juga menyatakan pentingnya pengupayaan akses energi yang inklusif. Salah satunya seperti pemberian subsidi energi pada masyarakat rentan, contohnya pada janda dan perempuan kepala keluarga. Untuk mendukung hal ini, pembekalan sains, teknologi, dan matematika pada perempuan menjadi penting. Krisis energi kerap menekan kondisi psikologis perempuan. Sebab, mayoritas kerja-kerja perawatan rumah tangga dilakukan oleh perempuan. Ketika bicara mengenai beban ini, banyak perempuan yang didiskreditkan karena dianggap terlalu banyak curhat, jelas Mike Verawati. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia ini juga menyoroti banyaknya kebutuhan perempuan yang gagal tersuarakan. Menurut Mike, salah satu penyebab mengapa posisi perempuan tidak dipertimbangkan dalam upaya transisi energi adalah karena perempuan ditempatkan sebagai konsumen. Sementara untuk menguatkan peran di bidang energi terbarukan, perempuan perlu ditempatkan sebagai pengambil keputusan. “Kebutuhan perempuan akan energi juga belum masuk dalam strategi tata kelola energi,” tambah Mike. Peran dan keterlibatan perempuan yang kerap dinomorsekiankan dalam diskusi energi terbarukan. Padahal, perempuan dapat menjadi pihak yang sangat diuntungkan maupun sangat dirugikan dalam pengelolaan energi. “Transisi energi itu isu feminis,” jelas Mia Siscawati kala mengawali paparannya. Karena itu pula, perspektif feminis sangat dibutuhkan dalam untuk melihat isu-isu antara perempuan dan energi. Mia juga menekankan bahwa proses transisi energi ini membawa peluang untuk mengembangkan cara hidup yang lebih berkeadilan sosial, setara, dan adil bagi kelompok rentan lainnya. Untuk mencapainya, pemerintah perlu menggandeng komunitas perempuan, kelompok adat, dan kelompok disabilitas sehingga pembangunan berorientasi pada prinsip inklusivitas. Politik energi terbarukan yang tidak inklusif dan dikuasai oligarki hanya akan menghasilkan ketidakadilan dan masalah baru. Contohnya seperti kendaraan listrik yang justru lebih dipasarkan sebagai kendaraan privat. Alih-alih mendorong transportasi publik berbasis listrik yang murah dan terintegrasi dengan baik. Dalam hal ini juga, kita perlu mengingat bahwa teknologi tidak pernah netral secara politik, ujar Mia. Masyarakat sipil perlu menggugat transparansi pengembangan energi terbarukan. Hal ini penting agar sumber daya terbarukan tidak dikuasai oleh pemodal besar yang tidak peduli pada Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mempedulikan keadilan gender, dan memicu eksklusivitas pada kelompok-kelompok tertentu saja. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |