Seluruh bukti tentang efektivitas kebijakan publik dapat dilihat dari output-nya, misalnya kepekaan negara terhadap orientasi seksual manusia atau perhitungan upah minimum berdasarkan kebutuhan-kebutuhan manusia. Jika kita periksa secara cepat, intuisi kita mengatakan bahwa kebijakan publik kita defisit dalam dua hal, pertama ia tidak paham pada apa yang disebut sebagai ketidakadilan (injustice) dan kedua ia secara sengaja menggelapkan sejarah perempuan di dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pernyataan ini dilontarkan Rocky Gerung saat mengajar di kelas KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) yang pada bulan Agustus ini mengambil tema Kebijakan Publik, Etika Publik dan konsep Keadilan di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Kamis (4/8). Rocky melanjutkan bahwa persoalan yang kerap terjadi adalah kebijakan publik seringkali diselenggarakan tidak dengan posisi teori yang kritis. Sehingga ketidakadilan tumbuh dan kita baru bisa melihat akibatnya setelah satu atau dua periode ke depan. Selain itu kebijakan publik juga tidak bisa membedakan antara ketidakadilan pada laki-laki dan ketidakadilan pada perempuan. Jika seorang laki-laki mengalami ketidakadilan, dia mungkin hanya mengalami kemalangan (misfortune), tapi bagi perempuan, ketidakadilan adalah penderitaan (misery), satu konsep yang tidak mungkin dipahami oleh laki-laki. Penderitaan pada laki-laki adalah penderitaan karena kekurangan hak, sedang penderitaan pada perempuan adalah kulminasi dari semua jenis penderitaan, termasuk penderitaan terhadap harapan akan masa depan. Jadi dari awal kita bisa melihat bahwa distingsi antara ethic of rights dan ethic of care tidak dimasukkan sebagai pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik. Jadi kebijakan publik selalu hanya bertumpu pada satu konsep dalam teori keadilan yaitu ethic of rights. Dengan kata lain teori keadilan selalu bertumpu pada basis etika hak, transaksi hak, jumlah hak yang diperlukan, dan bukan pada ethic of care. Lebih jauh Rocky mengungkapkan terdapat beberapa posisi teori yang dominan dijadikan basis kebijakan publik. Prinsip-prinsip itu bisa ditemukan dalam dua gugus teori filosofi yakni utilitarianisme dan libertarianisme. Utilitarianisme digagas oleh Jeremy Bentham pada abad XVII untuk memperlihatkan bahwa kebahagiaan hanya bisa disebut adil bila memuaskan mayoritas. Atau dikenal dengan prinsip “the greatest happiness of the greatest number”, suatu masyarakat disebut adil bila sebagian besar mayoritas memperoleh kebahagiaan terbanyak dari produk nasional atau produk masyarakat. Masalahnya kemudian adalah keadilan bagi siapa? Ide tentang mayoritas menganggap semua manusia setara di dalam kebutuhannya. Feminisme memberi kritik bahwa sejatinya tidak setara. Kita bisa melihat misalnya pada masa Orde Baru ukuran untuk menghitung utilitas manusia untuk membuat formula kebutuhan pokok, disebutkan bahwa kebutuhan manusia diukur berdasarkan kebutuhan laki-laki, karena itu uang rokok dimasukkan sebagai kebutuhan pokok, sementara pembalut perempuan tidak dianggap sebagai kebutuhan pokok. Jadi gaji dialokasikan berdasarkan kebutuhan fisik laki-laki, karena dianggap buruh adalah laki-laki. Sehingga dari awal kita bisa melihat ada bias dalam teori keadilan dan bias itu menyelundup dalam kebijakan publik. Tetapi prinsip utilitarianisme cukup egaliter pada masanya karena pada masa itu keadilan hanya ditentukan berdasarkan belas kasihan seorang aristokrat atau ditentukan oleh hukum yang diatur dalam teologi. Pada masa itu hak hanya ada pada seorang raja, kaum feodal, atau para pendeta. Pada masa sekarang teori ini menjadi tidak demokratis karena tidak memerhatikan jenis ketidakadilan yang bekerja pada tubuh perempuan. Akan tetapi praktik-praktik kebijakan publik saat ini masih menggunakan prinsip-prinsip utilitarianisme sebagaimana terjadi dalam proses penyusunan APBN atau APBD. Sementara gugus teori lain yang juga mendominasi pembuatan kebijakan publik adalah libertarianisme. Jika utilitarianisme memandang keadilan berdasarkan jumlah kebahagiaan terbanyak yang bisa dinikmati oleh suatu masyarakat, pada libertarianisme keadilan didasarkan pada hak setiap individu untuk menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Libertarian memandang setiap orang memiliki preferensi sendiri tentang kebahagiaan, jadi tidak mungkin kebahagiaan diakumulasi dan dihitung secara agregat. Menurut Immanuel Kant manusia adalah subjek yang utuh, jadi ia harus dihormati termasuk jika ia memilih untuk miskin. Moralitas kita tidak bisa digunakan pada orang lain. Di luar kedua teori tersebut, feminisme muncul sebagai reaksi teoretis terhadap teori keadilan yang mainstream. Rocky menjelaskan seringkali istilah gender dan feminisme tidak kompatibel. Jika kita mengatakan gender equality, ini bisa terjadi karena praktik utilitarian, sehingga kesetaraan gender ada tetapi tidak ada pemutusan hubungan ideologis dengan patriarki. Patriarkisme masih dapat bekerja di dalam fasilitas gender equality karena ada kesalahan perspektif. Di dalam gender equality orang ingin menyetarakan hak melalui kebijakan, sedang pada feminisme kritiknya bukan sekadar kesetaraan hak tetapi perubahan logika di dalam kebijakan. Jadi feminisme lebih tajam karena ia menginginkan segala jenis patriarki berakhir. Karena itu dalil filosofinya lebih radikal dibandingkan gender equality. Rocky mengungkapkan Indonesia masih pada tahap gender equality. (Anita Dhewy)
Marjana
16/8/2016 08:00:34 pm
Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |