Riset Remotivi: Dianggapi Profesi yang Maskulin, Mahasiswi Jurnalistik Enggan Menjadi Jurnalis12/7/2021
Temuan-temuan ini adalah hasil penelitian ”Mengapa Banyak Mahasiswi Jurnalistik dan Sedikit Jurnalis Perempuan?” yang dilakukan Remotivi dengan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro. Penelitian ini melibatkan 222 responden yang terdiri dari 65 mahasiswa dan 157 mahasiswi di Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65% mahasiswa dan 63% mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik sebagai pilihan utama pekerjaan pasca lulus kuliah. Nurul Hasfi, peneliti dari Universitas Diponegoro mengatakan dalam diskusi daring Sabtu (10/7) bahwa mahasiswa percaya mereka mempunyai kemampuan dan ketrampilan untuk bekerja sebagai jurnalis. Namun adanya stereotip kultural dan psikologis membuat mereka tidak yakin dapat bertahan lama di profesi ini atau kurangnya rasa efikasi diri untuk bekerja sebagai jurnalis.
Hasil penelitian juga menemukan hanya 42% dari total responden mahasiswi yang percaya diri untuk menduduki posisi puncak sebagai pemimpin redaksi, sementara itu, 56,25% dari total responden mahasiswa mengatakan mereka memiliki kepercayaan diri dapat menjadi pemimpin redaksi. “Dalam sesi FGD, ditemukan bahwa penyebab mahasiswi cenderung kurang percaya diri dalam memproyeksikan jurnalistik adalah karena adanya pertimbangan peran domestik di masa depan,” ujar Lintang Ratri, pengajar jurnalistik di Universitas Diponegoro. Di dunia kerja, hal ini ditunjukkan ketika ada promosi kenaikan posisi di ruang redaksi sebuah media nasional beberapa saat lalu. Pemimpin Redaksi Project Multatuli, Evi Mariani, mengatakan di salah satu WhatsApp group-nya yang terdiri dari rekan-rekan sesama jurnalis, belum lama ini ada ucapan selamat atas promosi kenaikan jabatan bagi sejumlah rekan. “Dari tujuh rekan yang dapat promosi, semuanya adalah laki-laki,” ujarnya. Penelitian ini juga menemukan ada penugasan liputan yang cenderung seksis berdasarkan isu atau beat liputan, dengan 72,45% responden mahasiswi mengaku ketika mereka magang, sering ditugaskan meliput isu fesyen, hiburan, wisata, kuliner, dan keluarga, dan hanya 28,57 persen dari mereka yang mengaku mendapat tugas meliput isu politik, hukum, dan keamanan. Winona Amabel, peneliti Remotivi, mengatakan salah satu stereotip yang paling umum disematkan kepada jurnalis perempuan, dari berbagai stereotip yang ada, adalah anggapan bahwa perempuan dengan penampilan menarik lebih baik bekerja sebagai presenter televisi dibanding menjadi jurnalis lapangan. Hal ini diakui oleh 82,55% responden mahasiswi. Eriyanto, dosen komunikasi Universitas Indonesia, salah satu temuan penelitian ini adalah ternyata efikasi diri tidak sama dengan kompetensi. Selain itu, dalam sesi FGD, para peneliti menemukan bahwa responden mahasiswa dan mahasiswi mengakui adanya hambatan dan stereotip-stereotip gender yang dialami calon jurnalis perempuan baik di ruang kelas maupun tempat magang. Menurut Yovantra Arief, Direktur Eksekutif Remotivi, hasil riset ini bisa memantik urgensi bagi manajemen media untuk menciptakan ruang dan budaya kerja yang ramah gender perempuan, karena menurut survei Aliansi Jurnalis Independen, hanya empat media yang memiliki ruang menyusui, dan 5 dari 34 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual, baik di tempat kerja ataupun selama liputan. “Situasi ini harus berubah jika kita ingin lebih banyak perempuan di ruang redaksi,” ujar Yovantra. Namun Evi dari Project Multatuli mengatakan adanya pimpinan perempuan belum tentu menjadikan situasi dalam ruang redaksi menjadi lebih baik, ketika atasan tersebut memakai ukuran-ukuran nilai dalam dirinya kepada anak buah perempuannya, atau yang berhasil naik ke posisi atas dengan mengakomodir nilai-nilai yang maskulin. “Lebih parah lagi kalau sang atasan perempuan mempunyai sudut pandang paternalistik yang kuat. Yang penting adalah, atasan laki-laki atau perempuan harus mempunyai perspektif gender yang seimbang dan ada sistem pendukung yang lebih baik untuk kelompok-kelompok minoritas, seperti perempuan,” ujar Evi. (JP_12/07/2021) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |