Pada tanggal Selasa (30/1/2024), dilaksanakan Diskusi Serial Esoterika Ke-46 dengan judul “Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara” yang dilakukan secara daring via Zoom. Judul diskusi ini sama dengan judul buku baru Prof. Dr. Musdah Mulia yang dibahas dalam diskusi ini. Diskusi Serial Esoterika sendiri merupakan forum diskusi bulanan tentang spiritualitas yang menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan. Kegiatan ini dibuka oleh Dr. Budhy Munawar Rachman, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, yang sekaligus menjadi moderator diskusi. Dalam pembukaannya, Budhy menyampaikan bahwa buku ini bukan hanya sekadar berbicara tentang perjalanan. Menurutnya, perkembangan Musdah Mulia sebagai seorang aktivis dan akademisi, selain dibentuk oleh keluarga dan lingkungan, juga dibentuk melalui perjalanannya. Oleh karena itu, perjalanan yang dituliskan dalam buku Perjalanan Lintas Batas ini bukan hanya sekadar kegiatan Musdah mengikuti konferensi atau seminar. Lebih dari itu, Musdah membahas konteks isu persoalan yang ia jumpai dalam perjalanannya, baik itu terkait dengan isu sosial, gender, hingga toleransi.
Buku Perjalanan Lintas Batas ini menceritakan kisah perjalanan Musdah ke 51 negara melalui lebih dari 160 perjalanan yang ia jalani dalam 20 tahun terakhir. Dalam penjelasannya, Musdah menyampaikan bahwa buku ini ia tulis saat pandemi COVID tahun 2020 silam. Sebagai seseorang yang terbiasa melakukan perjalanan, ia merasa terkekang karena tidak bisa melakukan aktivitas apapun di luar rumah. Akhirnya agar merasa tidak bosan, ia menulis. Cerita pertama yang ia mulai tulis adalah cerita kunjungannya ke Afghanistan. Ia memilih kisah tersebut karena saat itu sedang marak isu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan ekstremisme agama. Karena tulisannya itu mendapatkan respons positif, Musdah kemudian membongkar-bongkar catatan perjalanan sebelumnya, dan kemudian catatan perjalanan itu ia susun sebagai sebuah buku. Musdah mengilas balik awal ia sering melakukan perjalanan, yaitu di awal-awal era Reformasi. Ia mengemukakan bahwa setelah Orde Baru, Indonesia masuk era demokratisasi. Saat itu, Gus Dur masih menjabat sebagai seorang presiden dan beliau banyak melakukan pembaruan atas isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM). Dari sanalah Musdah mulai belajar tentang HAM. Selama satu tahun, ia mendapatkan kesempatan untuk belajar HAM dari negara-negara lain, seperti Thailand, Swedia, hingga Amerika Serikat. Buku Perjalanan Lintas Batas adalah buku penting yang memuat perjalanan intelektual dan spiritual Musdah. Perjalanan ini melahirkan interaksinya dengan beragam manusia dari beragam latar belakang, baik berdasarkan agama, gender, ras, etnisitas, kelas, orientasi seksual, dan latar belakang lainnya. Melalui perjalanan tersebut, Musdah melihat sisi lain tentang eksistensi dan keberagaman manusia. Dalam paparannya, Musdah menuturkan bahwa ada enam hal utama yang ingin ia sampaikan melalui buku ini: Pertama, kita perlu keberanian untuk melakukan terobosan dan hal-hal yang berbeda. “Negara-negara yang saya kunjungi itu bukanlah negara yang aman. Ketika saya pergi ke Afghanistan, misalnya, malam pertama saya di sana, ada bom meledak di samping hotel saya,” tuturnya. Namun menurutnya, ketika ia pergi ke negara-negara konflik, ia selalu bisa mengambil hikmahnya bahwa peperangan tidak pernah membawa kebaikan. Oleh karena itu, upaya membangun kedamaian adalah kewajiban seluruh umat manusia, bukan hanya negara. “Damai adalah sesuatu yang paling berarti dalam hidup manusia,” imbuhnya. Kedua, pentingnya kerja keras. Musdah bercerita bahwa ia pernah diundang oleh Princeton University di Amerika Serikat yang ingin lebih memahami tentang pandangan Islam terhadap perempuan. Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa hadir dan berbicara tentang teologi Islam saja, karena itu semua bisa didapatkan dari buku ataupun internet, sehingga Musdah berupaya untuk melakukan penelitian dan melakukan wawancara pada tiga perempuan yang memimpin pesantren dan perguruan tinggi. Menurutnya, jika ia tidak diundang dalam acara-acara serupa, ia tidak akan dipacu untuk menulis dan meneliti, sehingga undangan-undangan tersebut mendorongnya untuk terus bekerja keras. Ketiga, pentingnya mengembangkan sikap inklusif, terbuka, dan toleran. Musdah menyampaikan bahwa masih banyak orang yang menutup diri melalui sekat-sekat agama, gender, dan identitas sosial lainnya. Padahal, semua manusia semestinya setara. “Keberagaman itu sudah menjadi Sunatullah, kenapa tidak merasakan itu sebagai sebuah keberkahan?” tuturnya. Musdah juga berbagi cerita perjalanannya bertemu berbagai kelompok, seperti ia pernah bertemu dengan kelompok gay Muslim di Afrika Selatan ataupun kelompok Mormon di Amerika Serikat. Ternyata prasangka-prasangka buruk yang berkembang terhadap kelompok tersebut tidak sepenuhnya benar ketika ia berinteraksi langsung dengan mereka. Keempat, pentingnya rendah hati dan menjadi manusia yang mau belajar. Belajar dari isu kekerasan terhadap anak, Musdah menyadari bahwa isu ini bukanlah isu di tingkat individu atau negara saja, melainkan ini merupakan isu kemanusiaan global yang membutuhkan upaya penanganan bersama. Kelima, pentingnya kesehatan yang prima. Dari 80 persen perjalanannya, Musdah pergi sendirian dan tidak bersama rombongan. Oleh karena itu, kesehatan adalah hal penting yang juga turut dijaga. Keenam, hal yang tidak kalah penting lainnya adalah, Musdah bisa melakukan perjalanan karena ia memiliki lingkungan yang mendukung. Ia memiliki suami yang terus mendorongnya untuk berkembang. Ia juga memiliki Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bisa mengambil alih kerja-kerja rumah tangga. Hal ini berkaitan erat dengan kerja-kerja perawatan yang memiliki peranan penting dan turut menyumbang dalam kerja-kerja produktif. Musdah mengakui bahwa dulu ia dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dan masih sering menunjukkan stigma dan prasangka terhadap kelompok yang berbeda. Akan tetapi, proses ia menjadi seorang Musdah Mulia yang saat ini tidak datang dalam waktu yang cepat. Ia merefleksikan bahwa pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membuka pemikiran kritis dan rasional. Perjumpaan dengan buku-buku bacaan, bertemu dengan beragam orang melalui berbagai perjalanan, telah menjadikan pemikirannya dinamis dan selalu terbuka akan pandangan-pandangan baru. Pada akhirnya, Musdah merefleksikan bahwa sebagai seorang Muslim, hal pertama yang harus dilakukan adalah iqra (membaca), yaitu memperkuat literasi. “Agar apa? Agar salat kita, puasa kita, ibadah kita benar. Iqra penting agar kita bisa terbuka dalam menerima keberagaman, hingga kita menyadari bahwa hanya Tuhan-lah yang Maha Segalanya,” tutupnya. (Fadilla D. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |