Rapat Pleno Penetapan Draf Awal RUU PKS: Baleg DPR RI Mengusulkan Perubahan Nama jadi RUU TPKS1/9/2021
Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) menyelenggarakan rapat pleno penyusunan RUU PKS pada Senin (30/8). Agenda utama kegiatan ini adalah mendengar paparan tim ahli terkait draf awal RUU PKS, yang terdiri dari 11 bab dan 40 pasal. Sebelumnya, DPR RI telah melakukan lima kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk membahas draf awal tersebut. Rapat tersebut terbuka untuk umum dan dapat diakses di kanal YouTube resmi DPR .
Rapat pleno dipimpin oleh Willy Aditya selaku Wakil Ketua Baleg DPR RI. Sementara paparan draf dilakukan oleh Sabari Barus selaku perwakilan tim ahli Baleg DPR RI. Barus menuturkan RUU PKS penting untuk segera disahkan alasannya karena kekerasan seksual mengganggu rasa aman serta menyebabkan penderitaan fisik dan psikis yang luar biasa bagi korban. Setelah dilakukan pengkajian mendalam, ia bersama tim ahli Baleg DPR RI mengajukan pergantian nama dari RUU PKS menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hal tersebut dilakukan karena penggunaan terminologi “penghapusan” dinilai terlalu abstrak dan mutlak. “Kata ‘penghapusan’ terkesan abstrak dan mutlak, karena penghapusan berarti hilang sama sekali—ini yang mustahil tercapai di dunia. Kami menggunakan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” jelas Barus. Barus melanjutkan, tim ahli DPR RI menggunakan pendekatan berperspektif korban dalam menyusun draf RUU PKS. Dia menjelaskan bahwa tindak kekerasan seksual dikelompokkan menjadi tindak pidana khusus. Atas dasar pertimbangan tersebut kemudian tim ahli Baleg DPR RI menyarankan pergantian nama. Selain pergantian nama, terdapat pula revisi atas beberapa pasal dalam draf. Contohnya, dalam Bab II yang berisikan bentuk-bentuk kekerasan seksual, hanya dicantumkan 5 jenis kekerasan seksual. Pada pada draf lama, terdapat 9 jenis kekerasan seksual. Penyortiran dilakukan untuk menghindari adanya tumpang tindih dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Rancangan KUHP. Bab II juga mengatur pemberian rehabilitasi pada terpidana, mencakup rehabilitasi medis, psikologis, psikiatris, dan sosial. Lebih lanjut Barus menyatakan ada penambahan pada Bab III yaitu penambahan mengenai pemberian hukuman terhadap pihak-pihak yang dianggap merintangi penyelidikan dan penyidikan dan pada Bab IV, diatur bahwa penyidikan harus berorientasi pada perspektif korban. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penegak hukum yang terlibat harus pernah mengikuti pelatihan mengenai penanganan kekerasan seksual. Pada bab-bab selanjutnya, revisi yang dilakukan tidak terlalu banyak. Pada sesi tanggapan, terdapat beberapa anggota dewan yang memberi pertanyaan maupun masukan. Penanggap pertama, Luluk Nur Hamidah dari Fraksi PKB, mempertanyakan soal pemaksaan perkawinan yang pada draf sebelumnya dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Ia menggarisbawahi perihal apakah pemaksaan perkawinan sudah diakomodasi oleh regulasi lainnya, atau tidak lagi dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Tanggapan lain datang dari Riezky Aprilia, anggota dari Fraksi PDI-P. Ia mempertegas agar draf RUU PKS ini tidak sampai tumpang tindih dengan aturan hukum lainnya yang sudah ada. Hal ini terkait juga dengan penghapusan dan penyesuaian pada beberapa terminologi dan pasal. “Munculnya undang-undang ini (diharapkan dapat—red) membuat batasan, memperjuangkan sesuatu yang mungkin selama ini tidak dianggap maksimal dalam melakukan penegakan hukumnya,” tambahnya. Sementara itu, Desy Ratnasari dari Fraksi PAN, mengulas soal rehabilitasi dalam draf terbaru ini. Ia melihat bahwa rehabilitasi pada draf RUU PKS baru terkesan fokus pada pelaku saja, sehingga ia belum melihat bagaimana rehabilitasi terhadap korban—di luar pendampingan bagi korban serta saksi saat pembuktian di pengadilan. Rapat pleno kemudian ditutup kembali oleh Willy Aditya, dengan catatan bahwa masukan dari para penanggap akan dicatat dan dipertimbangkan kembali. Proses pengawalan RUU PKS hingga disahkan masih panjang, karena hingga saat ini draf final RUU PKS belum mencapai kesepakatan. Pun begitu, masuknya RUU PKS ke dalam Prolegnas prioritas tahun 2021 merupakan sinyal baik bagi perlindungan korban. Dibutuhkan perhatian dari khalayak luas untuk terus mengawal pengesahan RUU ini (Nada Salsabila). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |