Sabtu (27/11) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) mengadakan Serial Edukasi melalui Zoom dengan judul “Diskusi Publik Urgensi Permendikbud No. 30 Tahun 2021” yang dimoderatori oleh Iva Kasuma, S.H., M.Si. Acara ini dihadiri oleh empat panelis yakni Irene Ryana Cuang (Tim Anti Kekerasan Berbasis Gender di Satuan Pendidikan, Pusat Penguatan Karakter, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknolgi), Dr. Pinky Saptandari (Universitas Airlangga), Dr. Flora Dianti (Fakultas Hukum UI), dan Dewi Wulandari (Direktur Lokal, HopeHelps UI). Acara ini dimulai dengan pemaparan data dari Irene Ryana Cuang tentang fenomena gunung es pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Irene memaparkan hasil survei kementerian bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus tempat mereka mengajar dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut kepada pihak kampus. Dalam merespons hal tersebut Peraturan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknolgi (Permendikbudristek) memiliki target dalam pembentukan satuan tugas (satgas) pencegahan kekerasan seksual. Dalam jangka waktu November 2021 – Februari 2022, 30% dari total perguruan tinggi negeri sudah harus memiliki satgas, 60% pada Maret – Juni 2022, dan 100% pada Oktober 2022. Selain itu, menurut Irene, Permendikbudristek sangat diperlukan dalam upaya menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saja tidak mampu menangani kasus kekerasan seksual terutama kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Menanggapi hal tersebut, Dr. Pinky Saptandari menjelaskan tentang perlunya mengkaji Permendikbudristek no. 30 tahun 2021 di lingkungan perguruan tinggi. Sebab terdapat pro kontra dengan pola yang sama dengan penolakan atas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurut Pinky terdapat enam pro kontra yang mewarnai kebijakan Permendikbudristek yakni 1) Problema paradigma, pemahaman dan penafsiran yang bias gender, dan logika sesat. 2) Permasalahan seks, seksualitas diwarnai tabu dan mitos, tidak untuk dibicarakan secara terbuka. 3) kepentingan politik kekuasaan dan keagamaan dalam kebijakan. 4) Tekanan publik, positif dan negatif. 5) Perkembangan IT, penyadaran publik, berita fakta dan, hoaks. 6) Ujian bagi kampus sebagai wadah pengembangan etika keilmuan dan watak intelektual. Menurut Pinky, dalam upaya mengawal Permendikbudristek perlunya penataan pikiran bahwa hak korban adalah asas kemanusiaan demi mewujudkan lingkungan kampus yang aman. Sementara itu, dari perspektif hukum acara Dr. Flora Dianti menjelaskan bahwa pasalnya korban kekerasan seksual sering terbentur pada tidak adanya bukti. Sehingga dalam proses hukum acara sulit untuk membuktikan seorang pelaku kekerasan seksual bersalah. Dalam rangka membuktikan pelaku bersalah, satgas pencegahan kekerasan seksual yang dibuat nanti perlu membantu korban dalam mengumpulkan bukti. Selain itu perlu ada semacam pelatihan bagi mahasiswa dan dosen untuk memberdayakan dirinya dengan ‘berteriak’ atau langsung bercerita kepada orang lain agar dapat membantu mereka dalam proses pembuktian. Dewi Wulandari sebagai panelis penutup menjelaskan bahwa pada dasarnya korban tidak langsung bercerita karena banyak pihak tidak berperspektif korban. Sehingga korban kerap kali mengalami reviktimisasi. Dalam rangka mengakomodasi kepentingan korban, HopeHelps UI menjadi wadah kepentingan korban dengan melakukan pendampingan dari segi psikologis, hukum, dan lain-lain. Menurut Dewi Wulandari, perguruan tinggi wajib memberikan pencegahan, penanganan, dan resolusi agak tidak adanya kasus kekerasan seksual dan mencegah terjadinya keberulangan. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |