Senin (26/2/2024), Jakarta Center for Cultural Studies (JCCS) bersama Dr. Annisa R. Beta, seorang pengajar Cultural Studies di University of Melbourne, mengadakan diskusi buku “Pious Girls: Young Muslim Women in Indonesia” secara daring. Diskusi ini dipandu oleh Ellen Kusuma (JCCS), juga dihadiri oleh penanggap lainnya dari JCCS, yakni Nurbaity dan Aditya Adhiyatmaka. Buku karya Annisa, “Pious Girls: Young Muslim Women in Indonesia” merupakan hasil penelitian Annisa untuk disertasinya, yang membahas tentang kelompok perempuan muslim muda di Indonesia. Melalui buku Pious Girls, JCCS bersama Annisa mengkritisi kesalehan perempuan muslim Indonesia yang diukur dari aspek visualnya. Pertama-tama, Annisa membagikan pengalamannya terkait latar belakang dan proses penulisan buku Pious Girls. Selain buku ini adalah produk dari disertasinya, dalam proses menulis ada peristiwa jatuh-bangun yang Annisa alami. Hal ini terkait kontestasi politik di Jakarta (Indonesia) pada 2017 silam dan Pemilu 2019. Kejadian-kejadian tersebut mempengaruhi karya tulisnya, dimana ada upaya mengkritisi kembali keterlibatan perempuan Muslim dalam politik, seperti dalam kampanye dan elektoral politik. Ada usaha memahami informasi-informasi budaya dan ekspresi gender yang bisa terkait dengan urusan politik.
Setelah menjelaskan soal latar belakang dan proses penulisan buku, Ellen lalu bertanya kepada Annisa tentang proses-proses personal dalam penulisan buku Pious Girls bagi dirinya sebagai seorang perempuan Muslim. Menurut Annisa sendiri, penulisan buku Pious Girls banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa kecilnya, dimana melihat banyak perempuan di sekitarnya yang sebelumnya tidak memakai jilbab, kemudian mulai menggunakan jilbab. Banyak perempuan muda, teman-teman Annisa yang mulai memakai jilbab sekitar pada tahun 2005. Pergeseran ini merupakan sesuatu yang personal untuk Annisa. Melalui Pious Girls, Annisa memaknai perubahan ini. Hal ini turut memunculkan pertanyaan-pertanyaan, seperti Apa yang telah terjadi? Mengapa penggunaan jilbab dan makna kesolehan menjadi sangat penting sekarang? Di mana letak perubahannya? Serta, siapa yang memainkan peran penting dalam memainkan perubahan ini? Refleksi-refleksi ini coba Annisa tuliskan dalam bukunya. Pious Girls mencoba menangkap momen ketika perempuan muda menggunakan jilbab muncul sifat-sifat dan seolah menjadi penanda yang sangat lekat dengan keperempuanan Indonesia. Dalam proses menuliskan jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut, tentunya, tidak semudah yang dibayangkan. Annisa juga mengalami pergulatannya sendiri selama menulis. Bagi Annisa, letak perjuangan secara teknisnya, ada pada usaha mencari penerbit dan merelevansikan tulisannya dengan situasi terkini. Selain itu, secara personal, Annisa merasa ada pergumulan soal ekspektasi adanya perubahan sosial di Indonesia. Melalui penelitian ini, diharapkan bahwa ada konklusi, ada penyelesaian problem jilbab, seperti pemaksaan pemakaian jilbab. Namun kenyataannya, persoalan jilbab di Indonesia masih marak akhir-akhir ini. Ternyata, cerita penelitiannya masih harus berlanjut. Ellen kemudian beralih ke Baity atau Nurbaity yang dipersilakan untuk menanggapi Pious Girls. Menurut Baity, tulisan Annisa itu mengagumkan. Bagian yang paling menarik, yakni pada Bab Tiga, dimana membahas soal peran kelompok perempuan muda muslim serta tokoh-tokoh kuncinya dalam pembentukan subjektivitas perempuan muda muslim Indonesia secara lebih luas. Bagi Baity, bab ini mengajarkan bentuk-bentuk subjektivitas tertentu pada kelompok-kelompok ini menggunakan pendekatan neoliberalisme yang digerakkan oleh pasar. Bab ini membahas tentang posisi subjek perempuan muda muslim yang ditentukan oleh label “perempuan muslim yang soleh”. Selain itu bagi Baity, bab ini menarik karena mengungkapkan bahwa influencer dan desainer bisa menjadi tokoh-tokoh kunci yang terlibat dalam pembentukan situasi tersebut. Baity memiliki pertanyaan sebagai hasil dari pembacaan buku tersebut. Ia mempersoalkan tentang sejauh mana perempuan-perempuan yang pious atau “saleh” di Indonesia bisa menjadi aktor politik. Annisa menjawab, selama kita menyetujui bahwa politik merupakan proses perebutan kuasa secara umum yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, para “perempuan Muslim pious” bisa dianggap sebagai aktor politik. Hal ini karena kelompok perempuan dalam ranah ini berpolitik melalui tindakan yang dekat dengan keseharian kita, misal melalui sharing pengalaman sukses dan cerita keagamaan. Namun kenyataannya, tindakan-tindakan tersebut kerap tidak dinilai sebagai tindakan politik karena apa yang mereka lakukan berada di luar pemahaman publik soal keterlibatan kelompok dalam politik, seperti anggapan berpolitik itu urusan di pemerintahan dan demonstrasi saja. Padahal sebaliknya, tindakan sederhana seperti ajakan menggunakan jilbab bisa termasuk aktivitas politik karena mempengaruhi banyak orang. Lalu dengan memanfaatkan pengetahuan publik yang minim terhadap politik, mereka terus meyakinkan kepada orang banyak bahwa urusan politik adalah urusan di pemerintahan semata. Padahal sebenarnya, tindakan politik bisa dekat dengan keseharian, bahkan sekedar sharing ke teman. Aktor-aktor politik ada di dalam kamuflase influencer. Sesungguhnya, merekalah yang berpolitik. Selain Baity, tanggapan lainnya juga disampaikan oleh Aditya Adhiyatmaka atau Adit. Sebelumnya, Adit mengatakan bahwa Ia kesulitan memahami buku Pious Girls. Ini karena Ia tidak berasal dari latar belakang yang sama dengan situasi dalam buku tersebut. Ia juga tidak berelasi langsung dengan subjek maupun objek sesuai yang buku tersebut cantumkan. Meski demikian, Adit memiliki ketertarikan sendiri saat membaca Bab Dua dari buku Pious Girls, yang berbicara soal visualitas yang dijadikan arena bagi para perempuan. Adit juga memiliki pertanyaan terkait buku ini, “Berdasarkan studi kasus yang diangkat, apa yang sebenarnya dicari oleh Annisa soal perempuan Muslim di Indonesia dari visualitas ini?” tanyanya. Dalam menjawab pertanyaan Adit, Annisa menegaskan kembali bahwa buku Pious Girls dibuat untuk mencegah kita agar tidak kembali lagi ke pembagian biner perempuan muda Muslim sebagai korban dari patriarki ataupun pahlawan dari pihak yang opresif. Annisa menyadari pertama-tama, kelompok perempuan Muslim muncul sebagai kelompok fashion. Sehingga, situs visual menjadi hal yang dikedepankan. Dalam arena visual ini, Annisa melihat bahwa kita tidak bisa secara nyaman, menempatkan mereka dalam argumen bahwa mereka adalah korban ataupun pahlawan dari penindas. Kenyataannya, kelompok ini bahkan bisa hadir sebagai pihak yang memegang kekuasaan atau otoritatif, yang mengatur cara berpakaian “yang baik” seperti apa, dalam narasi sisterhood. “Saya akan jadi saudara perempuanmu, sister salehahmu untuk mengajarkanmu, harus seperti apa sih untuk jadi perempuan yang baik,” kata Annisa. Ini menunjukkan bahwa bagaimana kita terlihat adalah alat politik gender pertama, yang membentuk identitas dan posisi kita. Buku Pious Girls menyibak siasat yang dilakukan oleh kelompok tersebut dalam mengatur banyak perempuan muda melalui aspek visual, terkait komunikasi visual politik. Pembentukan perempuan muda muslim “saleh” dapat dilakukan secara halus oleh aktor-aktor politik, sesama perempuan itu sendiri. Dengan kata lain, kelompok-kelompok perempuan muda Muslim secara bersamaan bisa jadi pihak yang otoritatif, yang dapat memengaruhi masyarakat dan politik Indonesia secara luas. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |