Rabu (6/12/2023) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar diskusi publik bertajuk “Pantang Menyerah Belajar dari Pengalaman Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia Palestina (PPHAM Palestina)”. Acara ini menghadirkan narasumber Dr. Kholoud Al-Ajarma (Dosen Antropologi Islam dan Globalisasi, Universitas Edinburgh) dan dimoderatori oleh Andy Yentriyani (Ketua Komisioner Komnas Perempuan). Berdasarkan laporan dari kantor koordinasi urusan kemanusiaan PBB (OCHA) hingga tanggal 28 November 2023, sebanyak 16.673 warga Palestina dan Israel dilaporkan meninggal dunia, dan 53.822 lainnya luka-luka. Lebih dari 92% korbannya adalah warga Palestina yang jumlahnya terus meningkat sejak konflik Israel-Palestina yang kembali meledak sejak 7 Oktober 2023 lalu. Dalam ketidakadilan konflik yang terjadi, Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia Palestina (PPHAM Palestina) terus melakukan inisiatif kerja kemanusiaan, membangun perdamaian, dan perlindungan HAM bagi rakyat Palestina jauh sebelum 7 Oktober 2023. Berbicara soal Palestina-Israel ada banyak konteks yang perlu dibahas, salah satunya adalah Nakba 1948. Pada Nakba 1948 lebih dari 700.000 warga Palestina diusir oleh milisi zionis. Ini membuat Tragedi Nakba menjadi awal mula perpecahan, perampasan dan pengusiran masyarakat Palestina dari tanah miliknya. Pada saat itu antara 400 sampai 600 desa Palestina hancur. “Hingga saat ini situasi Palestina masih diperbincangkan, walaupun jika kita lihat kilas balik, pada saat itu Palestina berada di bawah mandat Inggris, perempuan telah melakukan demonstrasi pada 1928 dibawah mandat Inggris. Perjuangan yang dilakukan oleh perempuan Palestina terus dilakukan walaupun kolonialisasi yang dilakukan Israel juga terus berlanjut,” tutur Khouloud. Menurut Khouloud selama ini media memotret situasi Palestina hanya sebatas pada konflik semata. Padahal dibalik konflik yang tidak berkesudahan juga banyak kisah tentang resistensi dari perempuan Palestina memperjuangkan penolakkan kolonialisme dari okupasi Israel. Perempuan Palestina sangat beragam, mereka telah berkontribusi dalam bidang pendidikan, pertanian, dan sebagainya. PPHAM Palestina juga memiliki keyakinan bahwa pendidikan adalah senjata terbaik untuk berpartisipasi dan menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun demikian, terdapat banyak tantangan dalam mengajarkan anak-anak tentang HAM. “Dalam tenda pengungsian tempat saya mengungsi, kami memberikan pelajaran tentang hak anak. Anak dapat berkontribusi untuk mendapatkan hak asasi manusianya. Namun menjadi sulit ketika mengajarkan HAM, namun ketika mereka bermain di luar tentara Israel bisa kapan saja menambak mereka,” Khouloud menjelaskan. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa perempuan Palestina telah lama berkontribusi besar pada resistensi kolonialisme, seperti Mouhiba Khorshid dan Shadia Abu Ghazalah yang berkontribusi pada perlawanan tentara Palestina. Selain itu, perempuan Palestina juga melakukan perlawanan lewat seni seperti graffiti, puisi, dan seni seperti yang dilakukan oleh Fadwa Tuqan dalam puisinya “This land, my sister, is a women”. Puisi tersebut sangat membuka mata dan pikiran yang membicarakan koneksi antara tanah dan perempuan
Menurut Khouloud, perempuan Palestina setelah 1948 adalah agen yang memastikan keluarganya aman dan tetap bersama. Perempuan Palestina juga adalah pihak yang melakukan pembangunan kembali pada momen pengungsian di tenda pengungsian Aida, Bethlehem. “Mereka melakukan banyak perjuangan membangun kembali kehidupan, memastikan sekolah untuk anak-anak, dan di sisi lain juga berjuang menyembuhkan diri sendiri dari trauma besar yang mereka alami,” tutur Khouloud. Sebagai penutup acara, Andy Yentriyani merespons penyampaian Khouloud dengan pernyataan bahwa menurutnya persoalan Palestina bukanlah persoalan HAM yang muluk-muluk. Namun soal hak keseharian yang tercerabut di depan mata. Palestina hidup di bawah okupasi Israel yang jelas merenggut hak-hak dasar mereka. Terlihat jelas bahwa pengakuan HAM dan pembebasan okupasi sangat bertaut. Menurut Andy PPHAM Palestina telah melakukan hal yang sangat luar biasa. “Negara Palestina adalah negara dengan buta huruf terendah dan itu membuktikan bahwa pendidikan sangat diusahakan dalam situasi konflik sekalipun. Tantangannya seringkali sampai kehilangan nyawa. Kekerasan adalah bagian dari hidup sehari-hari warga Palestina sebab KDRT, kekerasan dalam masyarakat, dan kekerasan perang bercampur menjadi satu,” Andy menjelaskan. Menurut Khouloud perjuangan yang telah dilakukan perempuan Palestina berlandaskan pada harapan bahwa suatu hari mereka akan memiliki kembali tanah mereka. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |