Minggu, 13 Mei 2018, digelar peringatan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan,LBH Jakarta, KontraS, Kalyanamitra, IKOHI, Jurnal Perempuan, STH Indonesia Jentera, PINTI dan Paguyuban Mei 98-FKM. Peringatan tersebut dihadiri oleh korban dan keluarga korban Tragedi Mei 1998 serta para aktivis Hak Asasi Manusia. Peringatan Tragedi Mei 1998 yang dilakukan di depan prasasti Mei 1998 di Pemakaman Massal korban Mei 1998 tahun ini juga sekaligus refleksi atas #20TahunReformasi. Sandyawan Sumardi dalam refleksinya mengungkapkan bahwa makna kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam pancasila seharusnya membuat bangsa Indonesia menjadi beradab dan menjunjung tinggi HaK Asasi Manusia (HAM). Bagi Sandyawan, pengingkaran dan sanggahan terhadap tragedi 65 dan 98 adalah bentuk dari pengingkaran terhadap kemanusiaan. Lebih jauh ia secara tegas menolak segala akumulasi nyawa dalam setiap tragedi, menurutnya satu nyawa yang hilang pun adalah kematian untuk kemanusiaan kita semua. “Kalu dulu Tim Gabungan Pencari Fakta setelah melakukan verifkasi berbagai fakta dari bebagai sumber, tiba-tiba ada sanggahan dari polisi bahwa hanya 550 jiwa yang dibunuh, begitu kejam cara berhuitungnya, bahkan satu nyawa yang hilang itu kematian untuk kita semua, sama seperti kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih dianggap sebagai bentuk pelecehan saja, padahal semua jenis sexual attack adalah perkosaan terhadap harga diri kita semua”, tutur Sandyawan dalam refleksinya. Selanjutnya Sandyawan menceritakan hal yang ia lihat di Jerman. “Ketika saya melihat makam-makan terhampar sunyi, saya teringat apa yang saya lihat seperti di Holocaust, itu adalah salah satu cara suatu bangsa mengakui kedurjanaan bangsanya sendiri yaitu pengakuan bahwa Nazi membunuh Yahudi, arsitekturnya begitu rendah hati, kontemplatif, penuh doa, membangkitkan kesadaranbahwa pembunuhan yang demikian jangan sampai terjadi lagi”, tutur Sandyawan. Menurut Sandyawan, sejak awal keluarga korban telah bersama-sama memperjuangkan agar ada pengakuan, penyelidikan, dan penyidikan kasus Mei 1998, namun sayangnya hingga kini belum ada titik terang. Refleksi selanjutnya datang dari seorang aktivis perempuan, Ruth Indiah Rahayu. “Kita tidak boleh lupa bahwa demokrasi ini lahir dari tangis dan semangat para ibu, ibu sebagai metafora, baik ibu para korban, perempuan korban, dan aktivis perempuan, apa yang dilakukan ibu Sumarsih adalah bukti bahwa perempuan lah yang tegak berdiri untuk demokrasi”, ungkap Ruth. Ia menyayangkan bahwa setelah #20TahunReformasi krisis kemanusiaan masih terjadi, cita-cita demokrasi tidak kunjung terwujud. Menurutnya, bangsa Indonesia perlu berangkulan agar tidak terpecah belah karena sedang dihadapkan pada sesuatu yang tidak pasti dan darurat seperti 20 tahun lalu. Ia menjelaskan bahwa peringatan #20TahunReformasi adalah momentum untuk mendeklarasikan kembali tekad wujudkan kemanusiaan dan tekad agar pada 20 tahun kedepan pelanggaran kemanusiaan tidak terjadi lagi. Dalam refleksinya tersebut, Ruth juga mengapresiasi anak muda yang telah menuangkan kesaksiannya atas Mei 1998 dalam berbagai bentuk karya seni, ia juga mengajak generasi muda untuk terus merawat ingatan kolektif tersebut dalam berbagai bentuk dokumentasi. Setelah mendengarkan kesaksian korban dan refleksi Tragedi Mei 1998, acara dilanjutkan dengan pernyataan sikap panitia bersama #20TahunReformasi yang dibacakan oleh Feri dari LBH Jakarta. Kemudian acara dilanjutkan dengan doa bersama untuk para korban Tragedi Mei 1998, Bom Surabaya dan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, acara ditutup dengan menaburkan bunga dan doa di makam korban Mei 1998. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |