Pada Kamis (30/6) lalu, telah dilaksanakan bincang-bincang "Hati-Hati di Pangan" secara luring di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Bersamaan dengan bincang-bincang, dilaksanakan pula pameran foto bertajuk "Menanam Investasi Memanen Korupsi". Acara tersebut diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang bergerak di bidang ketahanan pangan masyarakat akar rumput. Hadir pada bincang-bincang tersebut, Ning (Sekolah Perempuan DKI Jakarta), Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), Almas Ghaliya Putri Sjarafina (Public Service and Bureaucracy Reform-Indonesia Corruption Watch), serta Mia Siscawati (Kepala Prodi Kajian Gender UI), dipandu oleh Lily Batara (Koordinator Program KRKP). Acara dibuka dengan perkenalan kegiatan KRPK dan arahan untuk menikmati pameran foto.
Pemapar pertama, Ning dari Sekolah Perempuan DKI Jakarta, menceritakan pengalamannya saat mengelola Sekolah Perempuan di masa pandemi. Menurut ceritanya, pandemi menyulitkan perempuan anggota Sekolah Perempuan. Mereka mengeluhkan berbagai hal, seperti sulitnya membeli bahan makanan, suami yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), diberhentikan dari pekerjaannya, bahkan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Menanggapi hal tersebut, Sekolah Perempuan membantu anggotanya dengan mengelola Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). UMKM binaan Sekolah Perempuan menjual sembako, dimana penjual dan pembelinya mayoritas adalah anggota Sekolah Perempuan. Menurut Ning, naiknya harga bahan makanan menjadi masalah krusial bagi perempuan. Hal tersebut membuat perempuan harus memutar otak untuk menyiasati pendapatan dan pengeluaran. Terlebih dengan maraknya PHK, kesulitan mereka jadi bertambah. Selain kesulitan ekonomi, anggota Sekolah Perempuan juga mengalami beban ganda dalam perawatan anak. Anak yang harus belajar dari rumah merasa kesulitan belajar. Akibatnya, para ibu harus membimbing mereka, meskipun terkendala pemahaman teknologi. “Apalagi kalau sekolah anaknya harus pakai pulsa (untuk membeli data seluler–red). Mereka tidak punya uang untuk beli pulsa, belum lagi kalau tidak punya handphone. Itu kan jadi permasalahan,” tutur Ning. Pemaparan selanjutnya oleh Abby Gina dari Yayasan Jurnal Perempuan. Abby mengiyakan adanya beban ganda terhadap perempuan, selaras dengan paparan Ning. Ketika pandemi COVID-19 melanda, masyarakat berpikir bahwa pandemi berdampak ke seluruh orang. Namun, dampaknya pada setiap orang berbeda. Ada beberapa kelompok yang mengalami kerentanan berlapis, sementara ada pula kelompok yang hanya sedikit terdampak. Abby pun mengingatkan bahwa kategori perempuan itu sangat heterogen, sehingga ada kelompok perempuan yang berkali-kali lebih rentan dibanding kelompok perempuan lainnya. Dalam kondisi tersebut, pemerintah cenderung memberi bantuan yang seragam pada perempuan. Membicarakan krisis pangan, komunitas perempuan lebih rentan mengalami kerentanan pangan. Hal itu karena mayoritas perempuan masih harus mengelola urusan pangan keluarga. Beberapa kelompok perempuan yang tidak berprivilese mendapatkan kesulitan besar, seperti perempuan nelayan. Abby menuturkan, berdasarkan riset Jurnal Perempuan, pandemi membuat anak-anak nelayan menjadi stunting. Hal tersebut karena pandemi menurunkan harga ikan dengan drastis. Kondisi tersebut memengaruhi kemampuan konsumsi dan pembelian pangan perempuan nelayan. Abby juga menuturkan kisah transpuan yang tidak dapat mengakses bantuan dari pemerintah karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal, sektor pekerjaan mereka sangat terbatas dan sangat terdampak pandemi. Demikian, Abby berpendapat bahwa ketahanan pangan sejatinya dimulai dari masyarakat akar rumput, seperti perempuan nelayan dan transpuan misalnya. Dengan analisis interseksi, kita dapat melihat kelompok perempuan mana yang lebih rentan dan bantuan apa yang perlu diberikan pada mereka. "Dampak pandemi ini besar dan negatif, tapi dengan kacamata interseksionalitas memberikan jenis-jenis diskriminasi dan ketimpangan yang lebih berlipat lagi." Almas Ghaliya dari ICW melanjutkan paparan dengan data ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Berdasarkan riset ICW, ketahanan pangan membuat publik merasa kurang puas dengan pemerintah kini. Publik menilai, pemerintah tidak berhasil mengendalikan harga bahan pangan pokok. Sejatinya publik menaruh perhatian yang sangat besar pada masalah pangan. Mirisnya ketahanan pangan terkadang hanya menjadi wacana kampanye dan sukar diwujudkan. Almas menjelaskan beberapa persoalan ketahanan pangan, seperti masterplan pemerintah yang tidak tepat, adanya korupsi dalam pengelolaan pangan, hingga pelaku utama kunci (petani, peternak, nelayan) tidak diposisikan sebagai pelaku utama. Dalam konteks feminis, Almas juga menyoroti bagaimana organisasi atau kelompok perempuan jarang dilibatkan dalam perumusan peraturan selama pandemi. Padahal perempuan merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak pandemi. Mengenai hal tersebut, Almas menyatakan kita harus memberdayakan diri, “Yang perlu kita lakukan adalah saling memberdayakan diri, berjejaring, agar kita bisa meningkatkan posisi tawar kepada pemerintah.” Paparan terakhir dilakukan oleh Mia Siscawati selaku Ketua Prodi Kajian Gender UI. Mia berpendapat bahwa masalah pangan lebih condong pada perempuan. Sayangnya, di tengah pandemi, agensi perempuan rentan diolok-olok. Contohnya seperti pada krisis minyak goreng lalu, banyak perempuan–atau “emak-emak”--yang diolok-olok karena berebut minyak goreng. Padahal respons tersebut merupakan bentuk kekhawatiran perempuan akan ketahanan pangan keluarga. Masalah lain yang disoroti oleh Mia adalah Revolusi Hijau 1970 yang menghancurkan keberagaman pangan Indonesia. Agenda Revolusi Hijau, yaitu peningkatan produktivitas petani, memaksa petani menanam tanaman padi, menggunakan pestisida dan pupuk kimia, dan memberangus tanaman-tanaman kecil. Swasembada beras sebagai resolusi Revolusi Hijau pada akhirnya hanya berfokus pada skala besar, meminggirkan skala kecil seperti keluarga. Akhirnya hal tersebut melahirkan masalah homogenisasi pangan sebagai masalah kultural. Untuk menanggulanginya, Mia mengajak audiens untuk membenahi diri dan mengubah pola pikir soal pangan. “Mulai dari diri, mari kita mengorganisasikan diri dan komoditas, untuk memperbaiki hal itu,” tutupnya. Kekuatan komunitas merupakan basis kekuatan yang sangat penting dalam kedaulatan pangan. Namun, sering kali kita tidak memberi perhatian pada usaha rakyat dalam mempertahankan ketahanan pangan. Atas hal tersebut, kita dapat mengubah praktik budaya terkait pangan dimulai dari diri kita sendiri. Perempuan memiliki agensi penting dalam mengembalikan budaya dan pengetahuan mengenai pangan. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |