Pada Kamis (30/5/2024), Perempuan Mahardhika Jakarta melakukan Diskusi Publik bertajuk "Agenda Gerakan Perempuan Menyongsong Pemerintahan Baru: Belajar dari Perlawanan Perempuan di Masa Orba" melalui Zoom Meeting. Acara ini mengundang Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia; Yeni Rosa sebagai Direktur Perhimpunan Jiwa Sehat; Dhianita Kusuma P. sebagai penulis buku "Mengenal Orde Baru"; dan Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika sebagai pembicara. Acara ini dibuka oleh Mutiara Ika Pratiwi sebagai Ketua Perempuan Mahardhika. Dalam pembukaannya, Ika menyatakan keresahannya melihat merosotnya demokrasi yang ditandai dengan aktivitas seperti penangkapan aktivits HAM dan berbagai proyek yang merusak alam. "Melihat kita berada dalam bulan Mei, ini merupakan momentum yang tepat untuk melihat dan mengkaji ulang aktivisme 1998, utamanya peran perempuan dalam aktivisme tersebut," ujar Ika.
Moderator Yael Stefany dari Perempuan Mahardhika Jakarta juga menyatakan harapannya agar diskusi tidak berjalan satu arah, tapi akan muncul berbagai gagasan juga dari peserta untuk arah gerakan perempuan. "Para pembicara ini merupakan aktor utama dalam gerakan perempuan pada masa Orde Baru, tentunya kita bisa belajar dari kiprah mereka," pungkas Yael. Mike Verawati sebagai pembicara pertama berbicara mengenai situasi perlawanan pada masa Orde Baru. "Situasi yang kami perjuangkan dulu tentu berbeda dengan sekarang, saat ini ada ruang-ruang cair dimana kita bisa berdiskusi, dulu hal seperti itu rentan ditangkap dan di kriminaliasi," tutur Mike. Mike menyatakan saat itu perempuan hanya dibekukan pada peran-peran domestik. Namun, perempuan terus melawan, dimana perlawanan terebut merupakan hasil dari rentetan panjang perubahan yang telah dilakukan sebelumnya. "Saat itu perempuan kelompok rentan juga sangat berperan dalam demonstrasi, bahkan ibu-ibu menyiapkan minum dan menolong serta melawan para demonstran yang terkena gas air mata," tambah Mike. Menumbangkan otoritarianisme menjadi tujuan bersama gerakan perempuan maupun laki-laki. Hal ini terjadi di Jakarta maupun luar Jakarta, karena seluruh rakyat bersatu dalam melawan musuh bersama, yaitu Soeharto dan Orde Baru. Yeni Rosa, sebagai Direktur Perhimpunan Jiwa Sehat juga menyatakan bahwa tahun 1998 merupakan puncak dari gelombang perlawanan yang ada sejak tahun 60an akhir. Pada tahun 1978, kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) bahkan sempat dikepung oleh tank. Pada 1998 terdapat banyak korban jiwa, korban pemenjaraan, penghilangan, semua demi melengserkan Soeharto. Pada tahun 1989 demonstran melawan pemenjaraan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) karena mendiskusikan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Bahkan aktivis perempuan disebut "lonte Gerwani" oleh para tentara. Demonstran perempuan sangat didiskriminasi dalam perjuangannya. "Saat itu ada kebutuhan untuk membahas isu-isu khusus perempuan seperti gender-based oppression, kita membutuhkan teman ally dari pihak laki-laki dan pihak-pihak lainnya," ujar Yeni. "Gerakan sempat terbelah karena ada beberapa tokoh perjuangan yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, jika kita laporkan ditakutkan gerakan melawan Soeharto menjadi lemah, namun jika tidak dilaporkan maka tidak akan adil bagi perempuan," lanjutnya. Terlebih, berdasarkan pengalaman Yeni, kondisi zaman itu belum seperti sekarang, bahkan masih ada aktivis yang melakukan candaan seksis. Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika mengatakan ia aktif dalam aktivisme di Malang. Ia memiliki pengalaman mengorganisasi buruh perempuan melalui perekrutan. Melalui rekrutmen, ia memahami konteks politik yang diperjuangkan oleh mahasiswa kampus. "Saya melihat bahwa ada sangat banyak buruh perempuan, namun jumlah aktivis perempuan masih sangat sedikit, sehingga jumlahnya tidak terwakili," tuturnya. "Pendidikan politik bagi buruh sangat penting, untuk memberikan mereka keberanian untuk mogok, dan memperjuangkan hak-hak mereka," kata Vivi. Vivi juga memaparkan, pada waktu itu, para mahasiswa melakukan demonstrasi dengan ancaman penembak jitu atau sniper yang bisa menembak kerumunan kapan pun, tetapi para demonstran tetap tidak takut. "Kita harus menyadari apa hubungan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan isu-isu perempuan, agar isu yang dibahas tidak hanya militeristiknya Soeharto, tapi ada isu-isu perempuan yang menjadi sentral di dalamnya," tambah Vivi. Saat itu, isu-isu perempuan seperti kekerasan seksual dibahas hanya sebagai kisah sebelum tidur, tidak seperti sekarang yang sudah dibahas dengan lebih terbuka. Sementara Dhianita Kusuma P., sebagai penulis buku "Mengenal Orde Baru" mengatakan bahwa dirinya berasal dari keluarga tahanan politik (tapol), sehingga ia peduli pada isu ini. "Kakak saya tapol yang sempat diasingkan ke Pulau Buru, ibu saya juga sempat tidak diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena isu ini, karena itu saya sangat peduli," ujarnya. Dhianita juga memaparkan bahwa fakta-fakta sejarah Orde Baru di media sosial tidak ditampilkan secara komplit. Bahkan, biasanya Soeharto dibahas sebagai Bapak Pembangunan, tanpa pengetahuan bahwa terdapat banyak hal negatif di balik kepemimpinannya. Dhianita juga menyatakan bahwa ia ingin kisah dari kakaknya didengar oleh banyak pihak. "Saya juga pernah menerbitkan novel tentang kakak saya di masa kuliah," paparnya. "Saya sangat bersyukur saya memiliki sejarawan sebagai editor buku saya, karena saya sendiri memiliki latar belakang sastra, sehingga dukungan sejarawan menjadi sangat penting bagi buku saya," tambah Dhianita. Sebagai moderator, Yael kemudian menyimpulkan bahwa dari keempat narasumber, kita belajar bahwa gerakan perempuan sangat di represi di rezim Soeharto, dimana saat itu terjadi penundukan secara struktural. "Belum lagi saat itu perjuangan kelas belum seperti sekarang," ujarnya. Gerakan perempuan yang ada sekarang merupakan hasil dari gerakan yang ada sebelumnya. Perjuangan perempuan di masa Orde Baru melawan represi tidak bisa kita lupakan. Karena itu kita perlu melanjutkan perjuangan dengan tetap memperjuangkan isu-isu perempuan dan melawan penindasan-penindasan baru yang masih ada dalam demokrasi, walaupun Orde Baru telah berlalu. Jangan sampai Orde Baru lahir kembali dalam bentuk apapun. (Dian Aditya Ning Lestari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |