Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Warta Feminis

Peraturan Menteri Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual: Langkah Progresif Menuju Perguruan Tinggi yang Bebas Kekerasan Seksual

3/11/2021

 
PictureDok. Jurnal Perempuan

     Setelah menunggu bertahun-tahun, akhirnya pada 3 September lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meresmikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS). Permen ini baru terpublikasi secara luas pada akhir Oktober 2021. Peraturan ini terbilang cukup komprehensif, karena mencakup upaya pencegahan, pelindungan, hingga penanganan kekerasan seksual. Selain itu, definisi kekerasan seksual dijabarkan dengan luas dan menyeluruh.

     Permen PPKS sudah diadvokasikan oleh berbagai lapisan masyarakat; mulai dari mahasiswa, dosen, hingga aktivis perempuan. Pada Februari 2020 tahun lalu, aliansi sipil Gerakan Perempuan Anti Kekerasan atau GERAK Perempuan, menggelar aksi menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim agar segera membuat peraturan penanganan kekerasan seksual di kampus. Hal tersebut menindaklanjuti berbagai kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang tidak terselesaikan karena absennya regulasi seperti pada kasus Agni di Universitas Gadjah Mada.

     Pada Pasal 1 Permen PPKS, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Prinsip Pencegahan dan Penangan Pekerasan Seksual termaktub dalam Pasal 3, yang mencakup prinsip kepentingan terbaik bagi korban; keadilan dan kesetaraan gender; kesetaraan hak dan aksesibilitas penyandang disabilitas; akuntabilitas; independen; kehati-hatian; konsisten; dan jaminan ketidakberulangan.  Pasal 4 menerangkan sasaran pencegahan dan penangan kekerasan seksual, yang meliputi Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Pependidikan, Warga Kampus, dan Masyarakat Umum yang berinteraksi dengan unsur-unsur sebelumnya.

     Definisi kekerasan seksual dijabarkan secara lebih mendalam pada Pasal 5 ayat (1), meliputi:
  1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
  2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
  3. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
  4. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
  5. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
  6. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  7. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  8. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  9. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
  10. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
  11. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
  12. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
  13. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
  14. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  15. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
  16. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
  17. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
  18. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
  19. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
  20. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
  21. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Selain cakupannya yang luas, Permen PPKS juga mewajibkan perguruan tinggi untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual, melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Salah satu implementasi dari penguatan tata kelola adalah pembentukan satuan tugas (Satgas) dan menyediakan Layanan Pelaporan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi.

     Pada Pasal 12 ayat (1), dijelaskan mengenai asas pelindungan. Pelindungan diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus. Menjelaskan ayat sebelumnya, Pasal 12 ayat (2) selanjutnya merinci bentuk pelindungan, di antaranya berupa jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa; pelindungan atas kerahasiaan identitas; dan pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap korban.

     Permen PPKS juga mengatur pemulihan bagi korban, berupa tindakan medis; terapi fisik; terapi psikologis; dan/atau bimbingan sosial dan rohani. Saksi pelapor juga berhak mendapatkan pemulihan serupa. Langkah pemulihan dilaksanakan berdasarkan persetujuan korban dan saksi.

     Untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, akan dibentuk Satgas yang terdiri dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) dan (4), anggota Satgas berjumlah gasal paling sedikit lima orang. Satgas juga harus memperhatikan keterwakilan keanggotaan perempuan, paling sedikit dua per tiga dari jumlah anggota. Masa tugas Satgas adalah selama dua tahun dan dapat diperpanjang selama satu periode berikutnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Satgas diikat oleh kode etik yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.

     Salah satu pasal yang cukup progresif adalah Pasal 49, yang mencakup tindakan pencegahan keberulangan. Selain itu, pada Pasal 53 ayat (1) dan (2), korban dan saksi berhak mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas diri; meminta pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan dari perguruan tinggi melalui satuan tugas; dan, khusus untuk korban, meminta informasi perkembangan penanganan laporan kekerasan seksual dari satuan tugas

     Diundangkannya Permen PPKS ini merupakan angin segar dalam upaya penanganan dan penghapusan kekerasan seksual di lingkungan akademik. Terlebih, dengan adanya sanksi administratif bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, sesuai pada Pasal 19. Permen ini dapat mewujudkan impian akan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman. Tentunya, implementasi dari Peraturan ini harus diwujudkan secara bersama-sama dan berkelanjutan. Dibutuhkan pengawalan pada setiap perguruan tinggi agar benar-benar melaksanakan tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan sebaik-baiknya. (Nada Salsabila).

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa