Jumat (26/11) komunitas Kalyanamitra mengadakan konferensi pers yang menyatakan dukungannya terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Konferensi pers tersebut turut mengundang Sulistyowati Irianto (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan para pendamping advokasi kekerasan seksual (KS); Lusi Peilouw (Ambon), Nurhasanah (Sulawesi), Ditta Wisnu (Kalimantan), Arnita Ernauli Marbun (Jawa), Lely Zailani (Sumatra), dan Nur Aida Duwita (Papua). Pembicara pertama, Sulistyowati Irianto membuka diskusi dengan memaparkan teori ilmu hukum yang seharusnya menjadi acuan para pengambil keputusan dalam mengesahkan RUU PKS. Kebutuhan akan acuan tersebut diperburuk dengan terbatasnya diskusi terbuka antara pihak-pihak yang membela korban dengan para penegak hukum. Diadakannya ruang dialog tersebut diharapkan menjadi ruang yang mampu meningkatkan hati nurani untuk mendengarkan suara korban yang diwakili oleh berbagai laporan salah satunya dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sulistyowati menekankan bahwa dialog sebaiknya berada di ruang akademik untuk mengembalikan proses pembentukan aturan hukum ke dasar teori dan filosofisnya. Pembicara kedua, Lusi Peilouw, dari Ambon memaparkan pengalamannya dalam mengadvokasi korban KS. Hingga saat ini, Lusi sering sekali menghadapi KS yang ditangani secara hukum adat. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Salah satu tantangan yang dialaminya adalah korban yang tidak menyadari adanya perkosaan akibat pelaku dianggap orang yang terhormat secara adat. Tuntutan hukum pun tidak dapat dilakukan karena adanya kesepakatan yang tidak disadari korban. Sehingga sangat sulit bagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk membela korban. Kesulitan lain adalah sikap keberatan dari hakim dalam menyepakati hukum pencabulan dalam kasus yang didampingi oleh Lusi. Sehingga seringkali kasus KS yang terjadi hanya diselesaikan secara adat dengan membayar korban dengan tuak.
Nurhasanah, pendamping advokasi korban KS dari Sulawesi menambahkan dengan memaparkan pengalamannya dalam menghadapi minimnya aturan-aturan yang mendukung korban. Nurhasanah memberikan contoh kasus Lidya di Luwu Timur dan tiga orang anaknya yang diperkosa oleh ayah kandung mereka sendiri. Kasus tersebut dihentikan oleh polisi begitu saja dan justru memberatkan ibu ketiga korban dengan stigma. Selain itu Nurhasanah mendampingi korban KS yang mengalami pelecehan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Profesi pelaku membuat saksi tidak berani mendampingi korban. Aparat penegak hukum yang tidak mendukung korban justru memaksa ditunjukkan adanya bukti dari korban yang sudah diperkosa sebanyak 16 kali. Selain itu, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) oleh pacar korban juga sempat didampingi oleh Nurhasanah. Tanpa adanya jeratan hukum yang mampu membuat pelaku jera, kasus tersebut justru berakhir dengan pemerasan terhadap korban. Nurhasanah menekankan bahwa Undang-undang yang pro korban dan menjelaskan sembilan macam KS sangat dibutuhkan. Selain itu, sumber daya manusia yang mampu mendampingi korban penyandang disabilitas juga sangat dibutuhkan. Terdapat kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas berusia 12 tahun tanpa pendampingan dari petugas yang memahami kondisi anak tersebut. Sehingga sangat sulit untuk mendapatkan informasi dari korban mengenai pelaku yang memperkosanya. Pembicara berikutnya adalah Ditta Wisnu, seorang pendamping advokasi korban KS dari Kalimantan. Dari ratusan kasus yang didampinginya, Ditta memaparkan bahwa kasus KS seringkali diselesaikan secara adat. Hal tersebut karena kasus-kasus KS dianggap perdata dan bukan pidana. Maka, pada umumnya korban akan dikawinkan dengan pelaku atau dibayar sejumlah uang denda secara adat. Hal ini diperburuk dengan tidak adanya SDM yang memiliki perspektif korban dan minimnya lembaga-lembaga yang mampu mendukung korban di daerah terpencil. Selain itu, dengan infrastruktur (jalanan hingga sinyal telepon) yang tidak memadai membuat korban sulit untuk mencari pertolongan dan lebih memilih untuk diam. Tidak hanya karena akses yang buruk, bungkamnya korban turut disebabkan adanya intimidasi dari pihak dalam dan luar keluarga. Akibat dianggap menimbulkan kegaduhan, laporan korban akan KS yang dialaminya justru ditanggapi dengan pilihan damai atau mediasi. Dengan adanya rencana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan, Ditta menganggap hal seperti ini harus segera ditangani dengan peraturan hukum yang layak. Pemaparan dari para pendamping direspon oleh Arnita Ernauli Marbun, asal Jawa Tengah, yang memaparkan kekecewaannya terhadap reaksi para penegak hukum yang sulit untuk menerima data. Selain itu, Lely Zailani, pendamping asal Sumatera, turut menyampaikan kekecewaannya terhadap hambatan dari polisi yang memperlambat proses pendampingan korban KS dalam menuntut keadilan. Hal ini diperburuk dengan konsep yang hanya memahami bahwa KS terjadi jika ada penetrasi ke dalam vagina saja disertai dengan adanya saksi. Selain itu, Lely menekankan bahwa pendampingan yang selama ini diberikan juga mengalami hambatan biaya. Sehingga dibutuhkan bantuan finansial agar proses advokasi dan bantuan untuk korban KS dapat terus diberikan. Pendamping terakhir asal Papua, Nur Aida Duwita, menambahkan pernyataan-pernyataan sebelumnya dengan mengedepankan pentingnya pemulihan korban. Hal tersebut dikarenakan korban yang merugi karena KS adalah korban dari kejahatan kemanusiaan. Pada forum tanya jawab, Ditta merespon bahwa penyusunan dan pengesahan perundang-undangan tidak boleh ‘Jakartasentris’. Hal tersebut menyebabkan penerapan peraturan di luar Jakarta tidak dapat membantu korban dengan latar belakang yang berbeda dari orang-orang di kota besar. Sulistyowati Irianto turut menambahkan bahwa sulitnya penegakkan hukum dapat ditangani dengan pengadaan ruang yang terbuka bagi penafsiran yang berperspektif korban. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak boleh takut akan birokrasi dan harus berani membela korban. Selain itu, kurikulum di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan pendidikan yang pro kemanusiaan. Sehingga, hukum tidak lagi hanya mendelegasikan kekuasaan mereka yang ditunjuk menjadi pengambil keputusan namun mampu membela korban yang membutuhkan keadilan. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |