Dalam rangka peringatan Hari Bumi Sedunia, pada Selasa (20/4/2024), Girl Up Jakarta berkolaborasi dengan Ashoka Indonesia, mengadakan Webinar Spesial Earth’s Day dengan topik menarik mengenai “Ecofeminism: Peran Wanita dalam Isu Lingkungan”. Girl Up Jakarta merupakan sebuah komunitas yang dibawahi oleh PBB, yang berfokus pada isu kesetaraan gender. Sedangkan Ashoka Indonesia merupakan organisasi yang berkelut pada kewirausahaan global. Kegiatan diselenggarakan secara daring via platform Zoom dan diikuti oleh partisipan dengan berbagai macam latar belakang Pada momentum perayaan Hari Bumi, Girl Up Jakarta memantik diskusi dengan menghadirkan para pelaku dalam isu lingkungan, berasal dari komunitas petani dan sahabat lingkungan perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT), Jenete Melianti dan Esi Tasekes. Pada sesinya masing-masing, Jenete dan Esi menceritakan keterlibatan perempuan dalam menjaga alam dan lingkungan melalui pengalaman mereka sebagai petani muda milenial. Keterlibatan perempuan di berbagai sektor di kehidupan sangatlah penting. Apalagi perempuan juga dituntut untuk berperan aktif dan bisa mengeksplorasikan minat dan bakat yang mereka miliki.
Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Namun untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki butuh waktu yang panjang. Hal ini disebabkan oleh patriarki dan kurangnya representasi perempuan dalam berbagai sektor, juga diperparah dengan stigma. Perempuan petani NTT ingin menunjukkan bahwa stigma-stigma yang ada bisa diubah. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Dengan identitas tersebut, para petani seringkali dianggap sebagai kaum miskin. Perempuan petani menjadi garda terdepan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor. Mereka bekerja berhubungan langsung dengan tanah, air dan alam. Menjaga lingkungan, menjadi peneliti dan mempelajari tanaman, mengelola lahan untuk konsumsi keluarga, dan membuat pupuk menggunakan limbah sayuran. Perlu kita ketahui juga bahwa perubahan iklim seringkali menyebabkan gagal panen, sawah dan kebun mengalami kekeringan, muncul hama penyakit, tanah yang kurang subur, hingga ketersediaan pupuk yang sulit didapatkan. Masalah lainnya adalah minimnya pengetahuan dan keterpinggiran sosial yang dialami petani perempuan. Di saat yang sama banyak perempuan seusia mereka merantau keluar negeri atau keluar kota untuk mengejar sekolah tinggi dan profesi yang lebih memadai dan tak mau bekerja sebagai petani, karena dianggap kurang bisa menunjang kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi ironis ketika petani perempuan NTT masih juga bergelut dengan beban ganda. Bagi petani laki-laki, setelah selesai menunaikan pekerjaan, mereka dapat beristirahat di rumah sembari menunggu makanan disajikan oleh ibu atau istri mereka. Lain cerita dengan petani perempuan yang setelah bekerja seharian di kebun masih harus juga mendedikasikan dirinya untuk tugas-tugas domestik dan melayani keluarga. Sebagai solusi untuk masalah tersebut, petani milenial diperkenalkan dengan pertanian ramah lingkungan. Pertanian ramah lingkungan adalah sistem pertanian yang mengandalkan bahan-bahan organik dengan mengadopsi alat-alat pertanian modern sehingga memudahkan petani muda dalam mengolah lahan. Solusi yang ditawarkan dalam pertanian ramah lingkungan yaitu dengan irigasi tetes, panel surya, kultivator, dan penggunaan pupuk organik cair. Alat-alat tersebut dapat secara efektif mengurangi kerja-kerja praktis yang membutuhkan banyak waktu dan tenaga para petani. Dengan bantuan teknologi, perempuan dapat dimudahkan dalam menghadapi beban ganda yang dipikulnya. Ketertindasan yang dialami Jenete dan Esi dan gagal panen yang mereka alami merupakan contoh konkrit dari masalah yang diperjuangkan ekofeminisme. Dalam sesinya, Abby selaku Direktur Eksekutif dari Yayasan Jurnal Perempuan menjelaskan, “Ekofeminisme merupakan jenis pemikiran ekologi baru yang melihat bahwa masalah eksploitasi lingkungan tidak hanya disebabkan oleh antroposentrisme, namun juga androsentrisme atau model-model pemikiran dengan kerangka patriarki.” Melalui perspektif feminis dan sensitivitas gender, perempuan punya kerentanan yang khusus. Selain beban ganda dari lingkup kerja, ternyata budaya patriarki dan ekspektasi sosial, membuat perempuan mendapatkan dampak kerusakan iklim secara tidak proporsional. Ekofeminisme menawarkan cara pandang yang non-linear untuk menghormati proses organik. Ketika perspektif antroposentris dan androsentris memandang alam hanya sebagai objek, ekofeminisme memandang alam sebagai subjek, sebagai entitas yang juga memiliki hak untuk dihargai. Secara garis besar, ekofeminisme memiliki kerangka konseptual bahwa penindasan terhadap perempuan dan dominasi atas alam pada dasarnya saling berkaitan. Kita tidak akan mungkin mencapai keadilan iklim ketika ketimpangan gender dan kekerasan di dalam komunitas tetap dibiarkan dan perempuan tetap disingkirkan dari pengelolaan lingkungan. Keterlibatan perempuan mengantarkan kita pada sejumlah solusi inovatif dan pengetahuan-pengetahuan konkrit yang begitu penting untuk menjadi basis untuk pelestarian lingkungan dan keberlanjutan. Pengetahuan dan inisiatif macam itulah yang menjadi sangat penting dalam mendorong keadilan iklim dan kesetaraan gender. Partisipasi perempuan dalam keberlanjutan lingkungan ini juga dicontohkan oleh Biyung, sebuah organisasi yang berfokus pada edukasi kesehatan lingkungan dan perempuan. Westiani selaku perwakilan dari Biyung mengungkapkan, “Biyung memilih pembalut kain sebagai media edukasi utama, dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya kontribusi perempuan pada lingkungan dan sesama perempuan.” Konsumsi pembalut sekali pakai digunakan rata-rata perempuan sebanyak 20 pembalut per bulan, dengan angka populasi 70 juta perempuan indonesia per bulan, berarti terakumulasi sekitar 16,8 miliar pembalut per tahun. Jumlah tersebut jika dijabarkan luasnya bisa mencapai 378 km² atau setara dengan separuh luas kota Jakarta. Sebanyak 16,8 miliar pembalut memiliki berat sekitar 252 juta kilogram per tahun, setara dengan berat kosong 11 ribu pesawat Boeing 737. Dalam pengalamannya, perempuan cukup kesulitan dalam menghadapi menstruasi dan segala stigma buruknya. Mulai dari menstruasi yang dianggap tabu, sampai dianggap sebagai hal yang menjijikan. Stigma menstruasi tersebut beririsan dengan period poverty. Period poverty merupakan suatu kondisi dimana perempuan dan anak perempuan mengalami kesulitan dan bahkan tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak atas menstruasi sehat. Perempuan yang berada dalam situasi period poverty mengalami ketakutan, kebingungan, kesakitan dan sebagian mengalami kekerasan yang berdampak trauma berkepanjangan. Hal ini termasuk dalam kekerasa berbasis gender. Period poverty terjadi karena, menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari ketubuhan dan kesehatan perempuan. Individu yang memiliki rahim dan menjalani menstruasi seharusnya memiliki hak menstruasi sehat, yang mana mencakup kebutuhan dasar seperti asupan bergizi, pembalut yang sehat, perawatan diri, olahraga, istirahat dan rasa aman, hingga air, udara, dan lingkungan yang bersih. Biyung melihat ada solusi yang harus dikerjakan seperti edukasi, dengan menormalisasi menstruasi sebagai bagian dari HAM, dimulai dari keluarga, sekolah, kampus, tempat kerja, dan ruang publik. Menempatkan menstruasi sama seperti kemampuan dasar yang lain seperti membaca, menulis, berhitung, sehingga tiap individu yang menstruasi harus mendapat edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komperhensif dan inklusif. Kabar baiknya, berkat perjuangan para aktivis dari global south, akhirnya pada Juni 2022, World Health Organization (WHO) memberi pengakuan dan memasukkan menstruasi menjadi bagian dari kesehatan dan HAM, bukan masalah kebersihan. Pemenuhan hak menstruasi hijau tidak hanya memberi dampak positif bagi perempuan tetapi juga bagi pelestarian lingkungan. “Keputusan mempersembahkan pembalut kain ini, adalah simbol komitmen cinta kasih, bentuk perhatian terhadap kebutuhan intim perempuan yang ditabukan, dihindari diungkapkan dalam ruang-ruang publik. Dianggaplah menstruasi sebagai kelemahan yang kodrati, padahal bila darah, lara, dan luka adalah pertanda kegagahan dan kejantanan, maka adalah suratan perempuan, hidup didalamnya, ditempa olehnya,” tukas Biyung. (Dwi Rizky A. N.) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |