Bertepatan dengan diperingatinya Hari Internasional Orang Hilang atau Hari Penghilangan Paksa, telah diadakan Diskusi Publik Penghilangan Paksa dan Dampaknya pada Perempuan di hari Selasa (30/8). Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk membahas dan mengingat pengalaman, serta melihat perkembangan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan bantuan kepada korban dan keluarga korban penghilangan paksa. Diskusi publik dibuka dengan sambutan dari Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan, dan juga dihadiri oleh empat narasumber; Fitri Nganthi Wani (putri sulung Wiji Thukul), Galuh Wandita (Direktur Asia Justice and Rights – AJAR), Betni H. Purba (Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Kemenkumham), Theresia Iswarini (Komisiner Komnas Perempuan), dan dimoderatori oleh Anton Prajasto Hardojo. Bagi Fitri Nganthi Wani, biasa dipanggil Wani, dan keluarganya, sampai sekarang masih menjadi hal yang sensitif untuk membicarakan permasalahan Wiji Thukul. Kasus ini sangat berdampak bagi kesehatan mental dan fisik Wani beserta keluarganya. Bahkan, ia menjadi narasumber di diskusi dmini ini tanpa diketahui oleh ibu dan adiknya. Dengan kasus Wiji Thukul yang sudah memasuki puluhan tahun, Wani merasa semakin sulit untuk menghabiskan energi dan berharap agar kasus ini mendapat penyelesaian. Menurut Wani dan keluarganya, kasus Wiji Thukul sebenarnya sangat transparan, semua orang tahu. Mereka juga mencurigai adanya benang merah antara kasus Wiji Thukul dan Munir, karena beban dan karakteristik pelaku yang sama. Tidak hanya pelaku yang masih berkeliaran, Wani dan keluarga juga menerima banyak stigma dari masyarakat, dan harus berusaha menyelamatkan diri sendiri serta satu sama lain. Terdapat juga perjuangan Wani menghadapi permasalahan administratif yang menghalanginya untuk menikah, karena tidak adanya surat resmi korban penghilangan paksa yang membuat tidak ada ayah. Meski begitu, dengan kesigapan dan bantuan Komisi Nasional Has Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya Wani bisa menikah.
Galuh Wandita dari Asia Justice and Rights (AJAR) memulai pemaparan tentang sejarah perjuangan panjang ibu-ibu Argentina yang kehilangan anak-anaknya dan memulai protes sejak tahun 1977. Sejak saat itu, mulai muncul hak-hak seperti the right to know and the right to truth. Di Indonesia sendiri, terdapat janji untuk adanya komisi kebenaran yang telah diusung sejak masa reformasi. Namun, kenyataannya janji ini belum ditepati. Selain itu, harusnya ada Keputusan Presiden (Keppres) Non-Judisial untuk memberikan bantuan pada korban. Sayangnya, prosesnya sangat tidak transparan dan tidak ada korban yang dilibatkan. Birokrasi Indonesia pada dasarnya belum mengakui status orang hilang. Ini berbeda dengan Sri Lanka yang sudah memiliki sertifikat orang hilang. Indonesia juga sebenarnya memiliki ‘hutang’ untuk Timor Leste. Militer, polisi, dan pembantu pasukan Indonesia pernah mengambil paksa anak-anak Timor Leste, dan Timor Leste telah melakukan pencarian sejak 2013. Selain itu, perempuan-perempuan yang diambil paksa banyak dijadikan budak dan mengalami kekerasan seksual. Betni H. Purba hadir menggantikan Direktur Jenderal HAM Kemenkumham untuk memaparkan angkah pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for The Protection of All Person from Enforced Disappearance – CPED). Betni mengatakan bahwa Indonesia telah menjadi negara yang mendukung konvensi tersebut dan Indonesia sebagai negara wajib memberi tahu nasib korban, memenuhi hak para korban, serta memberi hak bagi korban untuk mengetahui kebenaran, mendapat keadilan, dan pemulihan. Negara juga harus mengkriminalisasi tindakan yang diatur dalam CPED, menyelesaikan kasus penghilangan paksa, dan menjamin perlindungan hukum terhadap korban. Perkembangan upaya pemerintah dibatasi oleh beberapa hal, seperti sempatnya terhenti rapat karena butuh memilih kembali Kementerian yang menjadi pemrakarsa. Kemudian, Betni juga menyampaikan kabar paling baru, yaitu Fraksi Partai Nasional Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (NasDem DPR RI) pada hari Selasa, 29 Agustus 2022 telah mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bersama para pakar untuk mendorong pembahasan ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang dimandatkan oleh Badan Musyawarah (BAMUS) DPR RI kepada Komisi 1 DPR RI. Semua fraksi sepakat akan segera dibahas. Narasumber terakhir, Theresia Iswarini, menyampaikan apa saja yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan sangat fokus dalam memberikan perhatian kepada korban dan keluarga penghilangan paksa. Melalui pendokumentasian, pelaporan nasional dan internasional, advokasi kebijakan, pendidikan publik untuk perdamaian dan bebas kekerasan, dan pengembangan konsep serta pengetahuan untuk pencegahan penghilangan paksa. Menurut Theresia, ketidakpastian tentang situasi penghilangan paksa berdampak jangka panjang hingga saat ini. Konsekuensinya termasuk sulit mengakses kependudukan, lebih lanjut ada pada bantuan sosial, pemiskinan, dan persoalan kekerasan. Kerentanan perempuan juga disebabkan oleh faktor kebijakan yang tidak ramah perempuan, internalisasi budaya kekerasan, yang mana kekerasan dianggap sebagai penyelesaian masalah, dan juga faktor budaya. Menurutnya, meski menurut Betni sudah ada progress, negara harus menjamin alokasi anggaran dalam melakukan analisis berperspektif gender. Negara juga perlu memberikan pemulihan mendesak, tanpa menunggu prosedur hukum atau administrasi yang berpotensi untuk membatasinya. Akhir kata, kita semua harus terus mendorong komitmen negara Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk jenis diskriminasi, termasuk penghilangan paksa, ratifikasi konvensi penghilangan paksa, dan juga agar negara dapat membuat kebijakan-kebijakan yang berperspektif dan berintegrasi gender. (Bianca Swasono) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |